scentivaid mycapturer thelightindonesia

Buya H. Sirajuddin Abbas: Meninjau Universitas al-Azhar dari Dekat

Buya H. Sirajuddin Abbas Meninjau Universitas al-Azhar dari Dekat

Sirajuddin Abbas

Catatan Redaksi: tarbiyahislamiyah.id “Meninjau Universitas ‘Al-Azhar’ dari Dekat” ditulis Buya H. Sirajuddin Abbas (Inyiak Siraj) sebagai laporan lawatan beliau ke luar negeri. Tulisan ini dimuat dalam Madjalah Madrasah Rakjat, No. 4. Th. I, Okt. 1957, hlm. 8-10. Ia merupakan sambungan dari  tulisan beliau yang telah dimuat Madjalah Madrasah Rakjat nomor sebelumnya (No.3, Th. I 1957). tarbiyahislamiyah.id memuat ulang tulisan ini hanya dan semata-mata demi kepentingan ilmu pengetahuan. Selain itu juga dalam rangka memeriahkan tema Halaqah Online Anak Siak #3 dengan Tema “Menggelisahkan Peran Anak Siak Al-Azhar Mesir di Masyarakat” pada Sabtu, 29 Agustus 2020, jam 21:00 WIB di kanal youtube Kaji Surau TV.

Meninjau Universitas “Al Azhar” dari Dekat

(Sambungan Madrasah Rakyat No. 3)

_____________________

Maklumat

Artikel ini adalah satu pasal dari buku “Perlawatan ke Luar Negeri” yang ditulis oleh Buya H. Sirajuddin Abbas dalam perjalanannya mengidari dunia Islam.

Di dalam buku itu (yang belum dicetak) ditulis catatan-catatan peninjauan di daerah Islam Singkiang di Tiongkok Timur Laut, peninjauan di daerah Central Asia Kazakstan, Usbekistan, Tadjikstan dan Turkmenistan di daerah Soviet Uni, Peninjauan di negara-negara Arab seumpama di Palestina, Jordania, Irak, Hijaz, Syria dan Mesir.

Dan juga terdapat dalam buku itu peninjauan ke pusat Agama Katolik yaitu di Vatikan. Peninjauan pusat agama Katolik akan dimuat dalam nomor yang akan datang, insyaallah.

Red. MR.

______________________

Tadi saya katakan bahwa al-Azhar itu sudah lebih seribu tahun umurnya. Ini benar, karena al-Azhar didirikan pada bulan Jumadil Ula tahun 359 H (970 M). Jadi  kalau dengan hitungan tahun hijriah maka umur al-Azhar sudah lebih 1000 tahun.

Yang mula-mula mendirikan Universitas ini ialah Jauhar as Shigli, seorang Jendral dari kerajaan Fatimiah yang berkuasa di Mesir ketika itu. Ia maksudkan agar al-Azhar menjadi simbol bagi kebesaran agama Islam dan ketinggian ilmu agama, dan menjadi benteng pertahanan bagi agama Islam dan kebudayaannya.

Perguruan tinggi al-Azhar ini mempunyai dua ruang besar, yang satu didirikan oleh Jauhar as Shigli, pendiri yang pertama seribu tahun yang lalu, dan yang kedua didirikan oleh Abdurrahman Ktichdai 200 tahun yang lalu.

Pada ketika Kerajaan Ayyubiyah (Sulthan Silahuddin al Ayyubi) berkuasa di Mesir, pada tahun 1171 M, ilmu-ilmu agama yang diajarkan di al-Azhar adalah berdasarkan Mazhab Syafi’i, karena kerajaan ketika itu menganut paham Syafi’iah, tetapi untuk pengatahuan umum diajarkan juga dasar-dasar mazhab lain pada bahagian kelas yang tingginya.

Kebesaran al-Azhar dan kemuliaannya sudah sampai ke puncaknya.

Diceritakan oleh orang-orang pengantar kami bahwa ketika Syekh Mhd. Al Mahdi al Abbasi menjadi Lektor al-Azhar 100 tahun yang lalu, beliau tidak berdiri ketika Abbas Pasha I masuk ke kamarnya, karena perasaan umum ketika itu bahwa Lektor al-Azhar lebih mulia dari Raja Mesir, tersebab kedudukan ketinggian ilmunya.

Ketika menuliskan ini saya teringat kepada suatu peristiwa antara seorang ulama besar, Syekh Hassan Krueng Kalee di Kota Raja, Aceh, diundang ke kantornya oleh Teuku Nyak Arif, seorang Hulubalang yang berkuasa ketika itu. Syekh Hasan hanya berkata kepada pesuruh Teuku Nyak Arif bahwa kalau Teuku hendak perlu saya, maka beliau harus datang ke tempat saya, karena “al-‘ilmu yuzaar, wala yazur”(ilmu pengetahuan didatangi, bukan mendatangi).

Kembali saya kepada al-Azhar.

Al-Azhar dikunjungi oleh pelajar-pelajar yang datang dari berbagai negeri, umpama dari Tunisia, Tripoli, Aljazair, Libia, Maroko, Sudan, Etiopia, Somaliland, Afrika Selatan, Indonesia dan juga oleh studen-studen dari Tiongkok dan Jepang.

Bukan saja studen-student dari Timur, tapi juga dari Barat. Banyak kami lihat studen-student dari Anatdhuli (Anatolia –Red TI), Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Yanania (Yunani –Red TI) dan lain-lain. Pelajar-pelajar dari Bukhara (daerah Soviet Uni), dari Afganistan, dari Iran dan dari Singkiang (Derah RRC) juga ada belajar di al-Azhar.

Pada tahun 1948 jumlah studen di al Azhar sebanyak 17.000 orang, akan tetapi pada zaman Republik sekarang di bawah pemerintahan Gamal Abdul Nasser maka murid-murid al-Azhar sudah meningkat 40.000 orang.

Inilah satu kemajuan yang mengagumkan.

Studen-studen keluaran al-Azhar sudah bertebaran ke seluruh dunia untuk mengembangkan agama Islam dan Bahasa Arab. Di Tiongkok (Peking) saya berjumpa dengan orang keluaran Al-Azhar yang mengajar agama Islam, namanya Syekh Muhammad Mahmud Abdul Lathif dan Dr. Bahiyuddin Zaki. Beliau yang berdua ini mengajarkan agama Islam dan Bahasa Arab, di samping guru-guru bangsa Tiongkok yang juga keluaran al-Azhar, pada sebuah akademi yang bernama Akademi Islam di Peking.

Keluaran al-Azhar bertebar mengajarkan agama, bukan saja di banyak tempat di desa-desa dan kota-kota di Mesir, tapi juga ke Persia, Agfanistan, India, Malaya dan juga di Perguruan Tinggi Agama Islam di Yogyakarta.

Al-Azhar mempunyai sebuah majalah yang dulunya bernama “Nurul Islam”, tapi sekarang sudah ditukar namanya dengan “al-Azhar.” Majalah ini selain menyebarkan ilmu-ilmu agama, juga menjawab pertanyaan-pertanyaan soal agama yang dimajukan kepada Syeik Al-Azhar.

Baik sekali kalau kita umat Islam Indonesia berlangganan dengan majalah “al-Azhar” ini. (Mudah-mudahan majalah “Madrasah” ini setaraf dengan majalah “al-Azhar”).

Al-Azhar mempunya perpustakaan yang terdiri dari segala macam buku. Tidak saja buku agama Islam tetapi buku dari pelbagai macam bagian dari ilmu kepandaian. Pada saat ini menurut keterangan yang kami perdapat jumlah buku yang terkumpul dalam perpustakaan Universitas Al-Azhar adalah sebanyak 100.000 buah banyaknya, di antaranya ada yang ditulis dengan tangan pada zaman-zaman yang lalu.

Sesungguhnya kebanggan bagi Rakyat Mesir yang sudah memiliki Perguruan Tinggi Agama Islam yang paling tertua di dunia ini.

Dengan merasa puas, saya dan kawan saya Salim Rasjidi meninggalkan Perguruan Tinggi Al-Azhar sambil bertanya-tanya dalam hati: “Dapatkah di Indonesia didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam serupa al-Azhar ini?”

*Tulisan ini diketik ulang oleh Inyiak Ridwan Muzir

Baca Juga: 1080 Tahun Al-Azhar dan Hubungan Ilmiahnya dengan Nusantara

Baca Juga: Buya Siradjuddin Abbas