Buya Hamka
Beliau lahir dari keturunan ulama Minangkabau. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim Amrullah, salah seorang ulama berpengaruh, pendiri Sumatera Thawalib Padang Panjang dan murid senior Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Sedangkan kakeknya Syekh Muhammad Amrullah merupakan ulama karismatik dan tokoh tarekat Naqsyabandiyah di Sungai Batang Maninjau. Syekh Muhammad Amrullah juga teman seperguruan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau ketika sama-sama belajar di Makkah kepada Syekh Sayyid Bakhri Syatta Pengarang Hasyiah I’anatuththalibin ulasan lengkap untuk Kitab Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al Malibari.
Hamka adalah Singkatan dari nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dimana beliau dalam usia mudanya 19 tahun dengan kemampuan yang pas-pasan telah mampu melaksanakan ibadah haji dan menetap di Makkah setahun untuk memperdalam khazanah keilmuan Islam. Buya Hamka lahir pada tahun 1908, semenjak kecil beliau telah ditanamkan oleh ayahnya semangat dalam belajar dan mencintai ilmu pengetahuan, sehingga tidak mengherankan bila kemudian beliau menjadi seorang ulama Indonesia yang memiliki penguasaan keilmuan yang mumpuni dalam berbagai cabang keilmuan seperti tafsir, sejarah, tasawuf, filsafat Islam, dan berbagai ilmu lainnya.
Selain kepada ayahnya, Buya Hamka juga belajar di Diniyah School dan Thawalib Padang Panjang dan Parabek, berguru kepada para ulama terpandang seperti: Syekh Ibrahim Musa Parabek, Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, dan Angku Zainuddin Labay al Yunusi, Haji Jalaluddin Thaib dan lain-lain. Kepada para ulama tersebut Buya Hamka belajar dengan segenap kesungguhan, namun memang Buya Hamka ketika itu belum bisa memahami secara utuh ilmu-ilmu yang diajarkan, karena usianya yang masih belia dan penguasaan ilmu yang masih lemah. Adapun dengan Ayahnya, Buya Hamka belum sempat belajar duduk dalam satu halakah pengajian, karena umumnya yang belajar kepada ayahnya yang guru besar itu adalah para guru Sumatera Thawalib yang juga gurunya Buya Hamka. Barulah pada tahun 1934 dalam usia 26 tahun Buya Hamka belajar secara langsung kepada ayahnya dalam dua cabang keilmuan yaitu ilmu ushul fiqih dan ilmu mantik/logika. Untuk ilmu ushul fiqih ayahnya mengajar Buya Hamka Kitab al Mustashfa karya Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali.
Baca Juga: Hamka dalam Karyanya “Antara Fakta dan Khayal Tuangku Rao”
Selain memperdalam kajian keagamaan kepada para ulama di Sumatera Barat, beliau juga pernah memperdalam khazanah keilmuannya kepada beberapa pemikir Islam seperti H.O.S Cokroaminoto, Haji Fachruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Buya AR Sutan Mansur dan tokoh lainnya. Sehingga Buya Hamka kemudian tumbuh menjadi seorang ilmuan Islam yang juga menguasai ilmu kemasyarakatan secara baik dan mampu merangkul dan mempersatukan para ulama dan ilmuan lintas organisasi dalam satu wadah yang terhormat MUI pada tahun 1975, Buya Hamka adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama.
Dengan berbekal ilmu-ilmu yang diajarkan oleh para gurunya, Buya Hamka kemudian tumbuh sebagai seorang ulama dan Ilmuan Islam Nusantara yang diperhitungkan. Banyak dari tulisan-tulisan Buya Hamka yang menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. Pada awalnya, Buya Hamka lebih dikenal sebagai seorang novelis dengan karya-karya bestsellernya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan judul lainnya. Tulisan-tulisan Buya Hamka tersebut umumnya diterbitkan oleh Majalah Panji Masyarakat yang merupakan majalah terkenal sebelum tibanya Jepang di tahun 1943. Dalam rentang waktu 1936 sampai 1943, Buya Hamka ketika memimpin majalah tersebut, sangat banyak menulis, selain novel cerita roman, Buya Hamka juga menulis karya besarnya dalam tasawuf yang dikenal dengan buku Tasawuf Modern.
Tasawuf Modern merupakan sebuah penamaan baru yang dibuat oleh beliau, mengingat kajian tasawuf adalah kajian yang mendalam dan berat, sehingga kehadiran buku Tasawuf Modern, menjadikan ilmu tasawuf lebih hidup. Buku Tasawuf Modern juga termasuk karya Buya Hamka yang banyak diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Bahkan Buya Hamka sendiri ketika beliau dalam masa tahanan, kembali membaca tulisan yang pernah ditulisnya, untuk mengembalikan semangat keimanan. Dalam tahanan pula Buya Hamka menyelesaikan sebuah karya magnum oppusnya yang dikenal dengan Tafsir Al Azhar. Karena demikian besar kiprah dan kontribusi untuk Islam dan Indonesia, maka di tahun 1959 dalam usia 50 tahun Buya Hamka dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Sebelumnya, pada era dua puluhan ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah juga pernah mendapat penghargaan yang sama dari Mesir, sehingga Syekh Abdul Karim Amrullah sering menulis namanya di berbagai karya tulisnya dengan ‘Doktor Fid Diin’, dan masyarakat Minang menyebutnya dengan ‘Inyiak Doktor’.
Sebagai seorang ulama yang produktif, Buya Hamka telah menulis lebih dari seratus judul karyanya dan yang paling besar adalah Tafsir Al Azhar yang telah disebutkan. Beliau juga banyak menulis tentang adat Minangkabau baik positif maupun sebaliknya. Buya Hamka memiliki panggilan adat dengan Datuk Indomo, dan panggilan masyarakat Minang sepulang dari melaksanakan ibadah haji dan menuntut ilmu di Makkah dengan sebutan Tuanku Syekh Nan Mudo.
Ayah beliau disebut dengan Tuanku Syekh Nan Tuo.
Selain kiprah dalam dunia keilmuan, Buya Hamka juga seorang pejuang kemerdekaan. Beliau pada masa agresi Belanda dan Jepang secara aktif menyusuri seluruh alam Minangkabau untuk mempropagandakan semangat perjuangan dan kemerdekaan. Tidak terhitung banyak bahaya yang mengintai keselamatan Buya Hamka. Atas kiprahnya ini beliau kemudian dinobatkan sebagai seorang Pahlawan Nasional.
Baca Juga: Syekh Haji Karim Amrullah: Ulama, Ayah Buya Hamka dan Pendiri Sumatera Thawalib
Dengan berbagai pencapaian dalam kehidupannya, Buya Hamka adalah seorang ulama yang hidup sederhana. Beliau dalam hidupnya lebih memilih jalan tasawuf. Bahkan menurut Haji Afif Hamka bahwa Buya Hamka adalah seorang Sufi. Setelah wafatnya istri yang beliau cinta Hajjah Siti Raham yang telah mendampingi Buya Hamka puluhan tahun dalam suka dan duka. Ketika istrinya wafat, maka hari-hari yang dilalui oleh Buya Hamka adalah dengan Al Qur’an. Beliau disebutkan oleh anaknya kadang setiap duduk bisa membaca Al Qur’an sampai lima juz, hal yang tidak sering beliau lakukan ketika Ummi Raham masih hidup. Ketika ditanyakan, beliau menjawab “Bila terkenang berbagai macam kebaikan ibumu maka ayah segera berwudhu’ dan membaca Al-Qur’an, ayah takut kecintaan ayah kepada ibumu melebihi kecintaan kepada Allah SWT”. Demikianlah jawaban ulama besar yang telah menghabiskan segenap usianya untuk kejayaan Islam di Indonesia. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan. Alfaatihah.
Leave a Review