Sebuah kehormatan membaca tulisan Tuanku Mudo Khalish; Apria Putra Abiya Hilwa, tentang Gurunya. Mokasih. Allah juo non ko moagia nilai. Toubek toragak kami ko Guru.
Sekitar tahun 1992-1995, saya belajar pada Buya Karun (Fachrur Razi). Ketika itu, beliau belum mau dipanggil Buya. Kami murid beliau memanggil Bapak saja. Menurutnya, panggilan Buya itu belum patut ia sandang di masa itu. Memanggil Buya hanya kepada Buya Zawajir dan Buya Suhaimi Abdul Wahid, Buya Dtk. Mongguang, dan Buya Imam Mirin.
Salah satu model tarbiyah guru pada murid yang berkesan bagi saya di Madrasah ini adalah kesediaan guru diajak murid memberikan ceramah di kampungnya. Selain itu, murid-murid tertentu dipilih dan diajak menemani guru (asisten/tukang bao tas guru) memberi ceramah ke tempat-tempat di sekitar madrasah atau ke kampung asal para murid saat syiar maulid/isra mi’raj Nabi atau khutbah hari raya.
Oleh Buya Karun, saya sering diajak menemaninya memberi ceramah. Demikian pula oleh Buya Suhaimi, Buya Zawajir, dan Buya Amrialis. Sungguh menyenangkan sekaligus mengerikan bila dipilih Buya menemaninya memberi kaji di halaqah–halaqahnya, sebab sebelum beliau ceramah, terlebih dahulu kita juga diminta berceramah alakadarnya, barang lima-sepuluh menit. Sebuah latihan mental. Inilah yang beliau-beliau sebut, bosilek di muko guru. Kok kurang kuek kudo-kudo, bisa boserak-serak langkah wak.
Bahkan, menurut Buya Suhaimi, ayah Beliau dahulunya juga melakukan tarbiyah yang serupa, bahkan ada metode yang tak sempat lagi diteruskan, yakni tradisi “mengantar” anak. Di awal sekolah, anak diantar orangtua mereka ke madrasah. Setelah tamat, guru juga mengantar sang anak kembali ke orangtua mereka. Ini disaksikan dan dikhidmati orang di nagari sebagai pawai perayaan yang meriah. Maknanya dalam sekali bagi masyarakat, bahwa mereka sudah punya seorang alim di kampung. Terlebih lagi, bagi si anak itu sendiri dalam memaknai jati diri. Momentum ini menjadi dasar kesadaran bahwa dirinya adalah milik orang sekampung. Pilihannya menempuh pendidikan agama bukanlah semata tanggung jawab bagi diri dan keluarga saja, tetapi juga bagi nagari dan mungkin juga bagi negara.
Tujuh tahun ditempa di madrasah, setidaknya, di masa itu, sudah memadai bagi seorang mendapatkan ijazah dan dengan ijazah itu ia punya otoritas untuk memberikan tausiah, tarbiyah, tabligh, risalah, maupun fatwa keislaman di tengah masyarakat.
Namun musim sudah beralih. Kaki kita kini tertumpu pada lantai post-truth, di mana kebenaran logos/ilmu atau yang dianggap benar itu, boleh dipegang; direbut; dikuasai dan diproduksi atau dibolak-balik; dibelok-belokkan oleh siapa saja.
Bila yang dibutuhkan umat adalah ceramah, tausiah, atau tabligh tentang konsep-konsep tertentu, bagi yang gigih, bisa saja mereka dapatkan teknisnya melalui layanan yang tersedia di internet (ada yang menyebut ini dengan santri google/youtube). Pengetahuan yang dialami dan berlumut-lumut dengan kitab-kitab keilmuan ulama dari masa ke masa, bisa saja digeser peran otoritatifnya di tengah masyarakat oleh aktor dadakan yang berguru ke sistem logaritma satelit dan bersandar pada gerakan partisan politik kekuasaan secara cepat dan massif.
Sekadar misal, untuk menguji argumentasi saya ini, coba periksa aktivitas kirim-mengirim tulisan, foto atau video di grup akun sosial, seperti GWA Tuan dan Puan semua. Sila![]
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: [email protected]
Leave a Review