Hampir setiap minggu, dua kali atau sekali, saya datang ke pesantren tempat beliau mengajar. Sosok sepuh yang sangat setia dengan pesantren yang telah berdiri sejak tahun 1906 M itu sangat dekat dengan Kitab Kuning. Selalu saya perhatikan, asalkan beliau duduk di tangan beliau selalu ada Kitab Kuning. Sangat jarang saya melihat beliau apabila duduk bercerita soal-soal duniawi, kalau pun ada itu hanya bentuk respons dari pertanyaan orang padanya. Ya, dimana-mana beliau membaca, dan yang dibaca itu, tak main-main, Kitab Kuning, kitab bahasa Arab yang dicetak dengan kertas kuning yang mana kecakapan membacanya sangat langka dimiliki oleh orang-orang kampung saya saat ini. Seingat saya, sependek perjalanan saya ke beberapa pesantren dan surau, atau kampus, baru kali ini saya melihat sosok yang betul-betul “tidak renggang” dengan Kitab Kuning; di tangan beliau selalu ada kitab, kadang Syarah Mahalli, I’anatut Thalibin, Ihya’ Ulumiddin, Minhajul ‘Abidin, dan lain-lain. Saya mengira-ngira, bahwa memang tidak ada waktu khusus beliau untuk muthala’ah kitab, karena setiap ada waktu senggang, pagi hari sebelum masuk kelas, jam istirahat, seusai berdo’a salat, pagi, siang, dan malam, semuanya untuk muthala’ah kitab.
Buya Karun, itulah panggilan yang familiar bagi sosok buya kita ini. Saya belum sempat menanyakan usia beliau, tapi dalam perkiraan saya lebih dari 60 atau 70 tahun. Kecakapan dalam ilmu agama betul-betul beliau dapatkan dengan ketekunan dan khitmat kepada guru. Bisa dibayangkan, tanpa disuruh siapapun, beliau berkhitmat mendengar surah Kitab Dasuqi, Ihya’, Hikam, dan beberapa kitab mu’tabar lain dari alm. Al-‘Allamah Abuya Hasan Padang Kandih, hingga gurunya itu wafat di pertengahan tahun 1980-an. Kejadiannya, di Surau Tobiang Runtuah. Guru beliau ini tidak lain ialah sosok yang menonjol dalam Ilmu Akidah, sangat kuat dalam mensyarah Hasyiyah Dasuqi ‘ala Ummil Barahin, mempunyai paham yang dalam, melazimi hidup qana’ah dan zuhud. Buya Hasan Padangkandih ialah salah seorang murid Maulana Syekh Abdul Wahid Tobekgodang (w. 1950) yang sangat menonjol sebab ke’alimannya. Ketika beliau wafat di pertengahan dasawarsa 80-an itu, kampung kami berkabung, bahkan berita duka itu ditulis dalam Haluan. Seorang anaksiak mengingat, bahwa tulisan di koran Haluan itu berbunyi: “telah wafat salah seorang ulama Lima Puluh Kota.”
Setelah Buya Hasan wafat, beliau melanjutkan kaji dengan Buya Zawajir Sipingai. Gurunya ini juga sosok yang ‘alim, mampu membaca dan mensurahkan kitab-kitab besar, dan juga seorang sosok sufi. Bermacam-macam ilmu Syari’at disauk Buya Zawajir dari Syekh Tobekgodang, sedangkan ilmu Thariqat langsung diminumnya dari Syekh Mukhtar Ongku Tanjuang Belubus. Bersama beliau, Buya Karun bertalaqqi kitab beberapa tahun lamanya, dan hingga beliau-pun wafat.
Di samping dua ulama ini, Buya Karun secara khusus meneguk Ilmu Tarekat, yaitu Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, dari Syekh Khalifah Mu’az di Rambek, Mungka.
Baca Juga: Secercah Cahaya Bersama Buya H Amran- A Shamad- Sang Pecinta Kitab Kuning Sepanjang Hayat
Inilah perjalanan Buya Karun dalam menuntut ilmu. Ketekunan beliau dalam belajar, juga disertai dengan adab yang terpasang. Apa yang dipetuahkan guru selalu diingat dan dijadikan pedoman hidup. Ketika gurunya wafat, beliau melanjutkan estafet memimpin halaqah pengajian tauhid dan tasawuf di Surau Tobiang Runtuah, membaca dan mensurahkan Kitab Ihya’ Ulumiddin, Syarah Ummil Barahin, dan Minhajul ‘Abidin, setiap pagi Jumat. Hampir tidak pernah beliau absen memimpin halaqah itu, meskipun jamaah sudah mulai surut karena kecenderungan hidup zaman kini yang sudah berubah. Itu selalu dilakoninya setiap minggu, bertahun-tahun lamanya. Memang laku intelektual yang tersumbur dari keikhlasan yang bulat. Apa lagi yang berharga dari sikap hidup? selain bakti terhadap ilmu, yang ditengokkannya dari sikap amanah terhadap petuah guru yang ulama itu.
Keteguhan prinsip jangan ditanya-tanya. Apa yang syubhat, memang beliau tempatkan sebagai syubhat. Sesuatu yang terlarang memang betul-betul dijauhi benar. Hal yang dituntut syarak, maka akan dijunjung layaknya titah dari maharaja. Bahkan terhadap ciri khas anak siak di kampung, tetap dijalani dan dijadikan gaya hidup; dimana beliau lebih selesa memakai sarung ketika mengajar. Sarung, untuk pesantren-pesantren di kampung saya hari ini, sudah merupakan hal yang sangat langka ditengok, kawan! Pecinya tetap hitam, sebab sudah menjadi adat tradisi di tempat saya, bila belum ke Mekah “belum” memakai kopiah putih. Peci hitam itu juga ciri khas anaksiak, lagi-lagi di kampung saya.
Ketika mensurah kitab, selalu dalam bahasa daerah. Menterjemah, juga memakai dhawabith terjemahan khas surau, memakai “baramulo” untuk mubtada, “ba a baramulo” untuk khobar, “nisbah” untuk tamyiz, “dianyo urusan” untuk dhamir sya’an. Sebab kaji, dan cara mengantar kaji, bila dianjak layua, dibubuik mati; tidak beliau tukar-tukar.
Setiap saya bertatap wajah dengan beliau, saya sambut tangannya dan saya cium. Beliaupun menggenggam erat tangan saya. Ketika itu saya sapa: “Buya!”.
*******
Membayangkan beliau, saya teringat dengan ulama-ulama silam. Terutama dari segi literasi. Ulama yang sebenar ulama itu, ya, selain ibadahnya luar biasa, memang pagi-petang mesti rajin muthala’ah kitab. Perihal kerajinan membaca/ muthala’ah, Syekh Sa’ad Mungka menjadi contoh ulama silam. Dalam sisa-sisa perpustakaannya ditemukan kitab-kitab besar seperti Fathul Bari, Ithaf Saadatil Muttaqin, Tuhfatul Muhtaj, dan kitab-kitab “berat” lainnya. Kitab-kitab itu beliau baca, sebab setiap awal dan akhir kitab hampir semua dicantumkan tanggal dan tahun mulai membaca dan selesai membaca. Ketekunan yang sangat pantas: ulama.
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review