Buya Siradjuddin Abbas merupakan salah satu tokoh masyarakat dan ulama yang terkenal dari Minangkabau. Beliau lahir pada bulan Mei 1905 di Nagari Bengkawas, Bukittinggi dari pasangan Syekh Abbas Khadi Ladang Laweh (salah satu ulama terkemuka di Minangkabau) dan Ummi Ramalat binti Jai Bengkawas.
Terlahir dari keluarga yang taat beragama serta cinta ilmu pengetahuan membuat Siradjuddin Abbas mendapat pendidikan keagamaan sedari usia dini. Pada usia 5 tahun Siradjuddin kecil telah mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar di bawah didikan sang ibu dan sejak menginjak usia 8 tahun beliau mendapat bimbingan intensif dari Syekh Abbas Khadi mengaji keilmuan Islam menggunakan literatur Arab.
Baca Juga: Hj. Syamsiyah Abbas Tokoh Perti dan Pendidikan Perempuan Minangkabau 1
Sebagai seorang ulama golongan tradisional (Kaum Tuo) Syekh Abbas Khadi merupakan ulama pertama yang menyelenggarakan pendidikan system klasik dengan kurikulum Arabiyah School pada tahun 1914 dan Islam School pada tahun 1924 di Gouvernment Belanda untuk menghilangkan kekhawatiran kalau-kalau ajaran Kristen mempengaruhi anak-anaknya kelak.
Terlahir sebagai putra ulama, Siradjuddin kecil didik di sekolah agama (surau), beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pendidikan keagamaan beliau berawal dari penanaman dasar yang kuat dari lingkungan keluarga terutama sang ayah, kemudian Siradjuddin melanjutkan pendidikannya dari satu surau ke surau yang lain. Pada tahun 1918-1920 beliau belajar di surau Syekh Muhammad Zein Batusangkar, kemudian melanjutkan pendidikannya di surau Syekh H. Abdul Malik di Gobang Laweh, Bukittinggi sampai tahun 1923.
Akhirnya pada tahun 1927 beliau meninggalkan tanah air menuntut ilmu ke Makah. Selama di Makah beliau berguru kepada ulama-ulama kenamaan kala itu, diantaranya; Syekh Said Yamani (Mufti mazhab Syafi’i) mempelajari ilmu fikih mazhab Syafi’i menggunakan kitab al-Mahalli, Syekh Husein al-Hanafi (Mufti mazhab Hanafi) belajar ilmu hadis dan kitab Sahih al-Bukhari, Syekh Ali Al-Maliki (Mufti mazhab Maliki) mempelajari ilmu Ushul Fiqh, dan Syekh Umar Hamdan al-Maliki mempelajari kitab al-Muwattha’ karya imam Malik ibn Anas pendiri mazhab Maliki.
Siradjuddin Abbas kembali dari Makah al-Mukarramah pada tahun 1933, setiba di tanah air beliau kembali belajar menimba ilmu kepada Maulana Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang).
Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Ulama Besar Minangkabau
Belajar dan bermulazamah kepada Inyiak Canduang yang merupakan salah satu pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan sosok ulama kharismatik golongan tradisional (Kaum Tuo) memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap Buya Siradjuddin. Di samping belajar beliau juga aktif mendampingi sang guru membina dan mengembangkan PERTI. Buya Siradjuddin Abbas akhirnya dikenal sebagai seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah Minangkabau dan aktif di PERTI sejak 1936 yang ketika itu masih berbentuk organisasi sosial.
Buya Sirad (panggilan akrab beliau) memimpin organisasi PERTI mulai dari 1936-1965. Pada masa kepemimpinan beliau PERTI mengalami perkembangan pesat, beliau memindahkan kantor pusat PERTI dari Bukittinggi ke ibu kota, Jakarta. Mengembangkan sayap PERTI di tanah Jawa terutama Jawa Barat, bahkan ketika PERTI berubah menjadi partai politik ia memiliki perwakilan di parlemen.
Selain memimpin PERTI, Buya Siradj juga menduduki beberapa jabatan lain diantaranya anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) 1945, DPR-RIS, DPR-sementara, DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan Menteri Negara Urusan Kesejahteraan dalam kabinet Ali Arifin dan beliau juga tercatat sebagai pendiri organisasi Liga Muslim Indonesia bersama KH. Wahid Hasyim (NU) dan Abikusno Cokrosuyono (PSII).
Sejak pensiun pada tahun 1965, Buya Siradj memfokuskan diri untuk mengajar agama dan menulis. Hobi menulis sebenarnya telah mulai beliau rintih sejak kembali dari Makah baik tulisan berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Di antara karya beliau yang berbahasa Arab adalah Sirāj al-Munīr (2 jilid tentang Fiqh), Bidāyah al-Balāghah, Khulāṣah Tarīkh al-Islamī, ‘Ilm al-Insyā’, Sirāj al-Bayān fī Fihrasāt Ayāt al-Qur’ān, ‘Ilm an-Nafs. Sedangkan karya beliau yang berbahasa Indonesia di antaranya ’Itiqad Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah, Sejarah dan keagungan Madzhab Syafi’i, 40 Masalah Agama (4 jilid), Thabaqātus Syafi’iyah (Ulama-ulama Syafi’i dan kitab-kitabnya dari abad ke abad), Kitab Fiqh Ringkas, Sorotan atas Terjemah Al Qur’an oleh HB. Jassin dan Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan. Sampai akhir hayatnya, Buya Siradj telah membuktikan diri sebagai ulama yang ikut berperan aktif dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, sosial keagamaan, dakwah sampai politik nasional. Beliau wafat pada Selasa, 05 Agustus 1970 setelah menderita sakit selama 10 hari dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[]
Leave a Review