Oleh Riki Dhamparan Putra
Pada halaman 238, buku Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Buya Syafii telah mengutip puisi Iqbal (Bal-i-Jibril) untuk mengkritisi situasi pendidikan Islam yang menurutnya turut berperan dalam proses kemunduran umat Islam. Alih-alih memulihkan dan membangkitkan, sebaliknya, menurutnya pendidikan yang diterapkan selama ini, telah mendorong umat ke arah pribadi-pribadi pecah.
Puisi itu, terpusat pada pertanyaan: “mengapa ahli agama bingung menghadapi persoalan dunia? Sementara pada saat bersamaan mengaku telah mencapai langit wahyu?” Menurut Iqbal sebabnya karena agama telah dipalsukan, atau umat Islam tidak menjalankan agama menurut semangat dan tuntunan Al Qur’an. Itu diutarakan melalui jawaban sang guru, Jalaluddin Rumi, pada baris selanjutnya, sebagaimana dikutip Buya Syafii:
“Siapapun yang mengaku telah berjalan di langit
Mengapa begitu sulit baginya melangkah di bumi?
Kutipan puisi ini membantu kita melihat arah dan visi pendidikan Buya Syafii. Tentu saja, sebagai murid Fazlur Rahman, kita akan melihat jejak kritisisme Rahman pada pandangannya. Terutama menyangkut independensi ilmu pengetahuan, yang menolak pelabelan dan klaim hak eksklusif atas ilmu pengetahuan. Tak kecuali klaim dan hak ekslusif kaum Muslim atas apa yang dipercaya sebagai pengetahuan Islam.
Dalam skema Rahman, ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak beragama, melainkan sumber dari apa yang kita pahami dan ingin kita bangun tentang agama. Dengan dasar independensi ilmu itu, Rahman termasuk cendikiawan yang menolak Islamisasi Pengetahuan (lihat, Fazlur Rahman, Islamization of Knowledge: A Response. The American Journal of Islamic Social Science Vol. 5, No. 1, 1988) .
Fenomena itu, tak luput dari perhatian Buya Syafii, yang melihatnya sebagai wujud dari keengganan kalangan pendidikan Islam dalam melakukan terobosan.
Dapat diringkaskan, Buya Syafii membangun kerangka pemikirannya tentang pendidikan di atas beberapa prinsip. Pertama bertolakdarieksistensi Ilmu Pengetahuan (Ilm) yang bersifat independen. Ini sesuai dengan pendapat Fazlur Rahman, bahwasanya Ilmu Pengetahuan itu adalah eksistensi (ibid), bukan sifat, karenanya wajib terbebas dari baik dan buruk. Penggunaannyalah yang membuatnya baik dan buruk. Sekaligus ini mengandung arti, ilmu pengetahuan menolak pemisahan antara ilmu agama dan ilmu non agama.
Antara contoh yang ia kemukakan adalah sihir. Sihir itu pada mulanya ilmu, karena memiliki realitasnya. Tetapi tradisi yang menggunakannya untuk menyakiti orang lain telah memberinya sifat menjadi kejahatan. Apakah karena sifatnya itu, ilmu serta merta kehilangan eksistensinya? Jawabnya tidak, karena ilmu juga memiliki kemampuan untuk menyinari alam semesta dengan kebaikan. Salah satunya yang terwujud melalui tuntunan agama.
Atas dasar ini, maka menurut Rahman tugas mendesak seorang Muslim bukanlah membuat sebuah peta dan grafik pengetahuan Islam – demi memisahkan Islam itu dari capaian ilmu yang telah dicapai peradaban manusia. Sebaliknya, mendesak bagi setiap Muslim memeriksa secara terus menerus tradisi ilmu pengetahuannya, dan memeriksa cara menempatkan posisi agama dalam dinamika peradaban manusia sesuai dengan subtansi ilmu yang diterangkan oleh Al Qur’an.
Kurang lebih, tugas yang sama itu pula yang ditekankan oleh Buya Syafii dalam uraiannya perihal pendidikan di dunia Islam di Indonesia. Moral, yang menjadi inti agama, memang harus menjadi spirit yang menjiwai pendidikan, tetapi tak selayaknya itu diinterpretasi dan diimplementasikan dalam bentuk perayaan atribut dan simbol, melainkan melalui rasa tanggungjawab, khususnya tanggungjawab untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari tembok-tembok prasangka dan kepentingan sepihak. Sebaliknya ilmu pengetahuan perlu dimurnikan kembali menurut azasnya sebagai pencerah manusia seluruhnya. Inilah prinsip kedua yang terbaca dalam pemikiran pendidikan Buya Syafii.
Dalam situasi dunia pendidikan yang sudah serba terbelah menjadi ilmu dunia dan ilmu agama seperti saat ini, upaya pemurnian ilmu pengetahuan itu menuntut adanya wawasan Kesatuan Ilmu Pengetahuan (The Unity of Knowledge). Untuk mencapai hal ini katanya, diperlukan pengertian yang mendasar dan maksimal atas tuntutan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pembacaannya, Buya Syafii menyebut ada tiga tipe ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia yang diminati Qur’an. Pertama, ilmu kealaman, kedua ilmu sejarah dan geografi, ketiga, ilmu tentang diri manusia. Ketiganya ini berwatak ilmiah, karena dicapai melalui observasi ‘mata dan telinga’. Tetapi ditegaskannya pula, pengetahuan ilmiah itu pada ujungnya bertujuan untuk mengetuk hati dan menyalakan persepsi dalam diri manusia. Konsekuensinya, bilapun masih akan menggunakan istilah ‘islamisasi’ bagi ilmu pengetahuan, yang harus diislamkan adalah pusat kesadaran manusia yang terletak pada otak dan hati! (ibid, hal 231). Seterusnya, oleh karena Qur’an adalah kitab tuntun yang berwatak par-exellence sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, nilai tertinggi dari pengetahuan itu tercapai manakala itu diterapkan untuk mengubah keadaan masyarakat.
Kata-kata “mencerdaskan otak dan hati’ tentu bukannya tak dikenal, malahan kerap terdengar dalam retorika di kalangan pejabat dan pejabat pendidikan kita belakangan. Namun karena hanya sebatas retorika, kata-kata-kata itu tak memiliki dampak apa-apa pada perbaikan dunia pendidikan. Tantangannya kalau demikian adalah bagaimana mengubah retorika itu menjadi suatu yang nyata.
Tauhid Dan Kebudayaan
Prinsip ketiga yang terbaca dalam konsep pendidikan Buya Syafii adalah prinsip Tauhid yang akan menjadi tali pengikat bagi dua prinsip lainnya. Dengan prinsip Tauhid, apa yang dimaksud kesatuan ilmu pengetahuan mendapat pengertiannya yang solid lagi utuh. Sebab Tauhid menuntut adanya penyerahan total manusia dan makhluk ciptaan atas keluasan dan kekuasaan Yang Maha Kuasa, tak kecuali atas ilmu pengetahuan. Maka tujuan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah aktivitas menghidupkan esensi Tauhid.
Pertanyaan yang mungkin mengemuka kemudian; bagaimana prinsip-prinsip itu akan diaktualisasikan dalam suatu realitas pendidikan yang masih begitu taklid pada jiwa tradisi dan konservatisme mazhab? Sementara pada saat bersamaan, proses pemodernan di dunia pendidikan Islam (yang sebenarnya hanya pemodernan manajemen) terbukti gagal mengubah kekakuan itu?
Strategi yang ditawarkan Buya Syafii dalam hal ini adalah merumuskan filosofi pendidikan Islam. Yakni filosofi yang akan mengubah corak pendidikan yang terlalu organik dan formalistik, menjadi pendidikan yang berlandas pada pemuliaan manusia, mengandung daya transformasi, menumbuhkan kesadaran dan keberanian mengubah keadaan. Nilai-nilai ini, sekalipun kerap menjadi buah bibir dalam materi ajaran dan diskusi-diskusi para sarjana, pada kenyataannya memang belum menjadi orientasi. Pesantren misalnya, masih berkutat pada tata krama sebagai orientasi utama pengajaran, sementara madrasah-madrasah modern dan juga perguruan tinggi terlalu sibuk dengan Islamisasi pengetahuan, yang sebenarnya adalah melanjutkan ‘penyakit’ pendidikan modern (baca, Barat) yang telah membelah kepribadian manusia itu.
Dampaknya, tentu saja bukan pada dunia pendidikan. Tapi pada kebudayaan secara luas, lantaran para lulusan madrasah, pesantren, dan perguruan-perguruan tinggi Islam itu pada waktunya akan tampil di tengah masyarakat sebagai “otak-otak besar” yang pasti akan mempengaruhi gerak kebudayaan secara umum. Maka jika dunia pendidikan, yang dalam hal ini diharapkan mampu menciptakan otak-otak besar justru terpuruk, kebudayaan pun akan menjadi terpuruk alias merosot menjadi realitas yang dipimpin oleh ‘otak-otak formalis’ berkepribadian terbelah yang dicetak di pabrik-pabrik pencetak agamawan.
Jakarta, 28 Desember 2021.
“Penulis adalah sastrawan. Bukunya Berdiang di Perapian Buya Syafii terbit 2021. Kini ia sedang menggelandang di Lombok Timur sembari menjaga gawang komunitas belajar Reading Buya Syafii
Leave a Review