scentivaid mycapturer thelightindonesia

Buya Ungku Saliah dan Bubur Asyura Sakato

Buya Ungku Saliah dan Bubur Asyura Sakato
Ket. Foto: Santriwati PP Nurul Yaqin Ringan-ringan saat memasak Bubur Asyura

Tanggal 10 Muharram adalah hari yang cukup unik bagi umat Muslim umumnya. Hari yang juga disebut dengan Hari Asyura ini memiliki banyak rentetan tradisi filosofis nan unik di hampir seluruh daerah. Dari sekian banyaknya tradisi-tradisi yang ada, salah satu tradisi yang cukup melekat di Indonesia adalah tradisi makanan bubur yang kerap disediakan di hari itu. Ada yang menyebutnya Bubur Asyura (Melayu), Bubur Suro (Jawa), dan Bubur Sakato (Minang).

Tradisi membuat makanan berupa bubur di hari Asyura sudah menjadi fenomena yang tak lagi langka di Indonesia. Di mana-mana tempat banyak dijumpai masyarakat yang menjalankan tradisi ini. Setiap yang menjalankan tradisi ini memiliki alasan, sejarah, dan filosofinya masing-masing. Semuanya bermuara ke suatu hal yang cukup fenomenal, yakni perayaan Hari Asyura. Tak hanya di Indonesia, di berbagai negara pun Hari Asyura dirayakan dengan cara-cara yang tak kalah unik dan menarik. Satu-satunya yang tidak merayakannya dengan suka-cita adalah pengikut mazhab Islam Syiah.

Dalam rentetan sejarah Islam, Hari Asyura diyakini sebagai hari spesial, pasalnya banyak kejadian-kejadian luar biasa terjadi pada hari itu. Misalnya, diterimanya tobat Nabi Adam As.; berlabuhnya kapal Nabi Nuh As. di bukit Judi dengan selamat; Terlepasnya Nabi Ibrahim As dari siksa pembakaran oleh Raja Namrudz; bebasnya Nabi Yusuf As. dari penjara pemerintah Raja Mesir kuno; selamatnya Nabi Yunus As. dari perut ikan besar yang menelannya; sembuhnya Nabi Ayyub As. dari penyakit yang menyiksanya bertahun-tahun; selamatnya Nabi Musa As. dan umatnya dari kejaran Fir’aun; dsb. Tak hanya peristiwa yang menggembirakan seperti di atas, peristiwa pilu seperti syahidnya secara tragis Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw. juga terjadi pada Hari Asyura di Padang Karbala. Agaknya hal inilah yang menyebabkan umat Muslim Syiah enggan merayakan Hari Asyura dengan suka-cita, melainkan dengan penuh duka-lara.

Di Minang, khususnya di Pariaman, tradisi membubur di Hari Asyura adalah “sunnah”nya Buya Ungku Saliah. Beliaulah pionirnya tradisi ini. Konon, hal itu beliau cetuskan saat masyarakat Pariaman dilanda musim kemarau panjang yang menyebabkan krisis pangan akut. Waktu itu, saat masyarakat sudah kehilangan akal menghadapi krisis, Buya Ungku Saliah yang diyakini sebagai ulama keramat, memberi solusi dengan cara menyuruh masyarakat untuk mengumpulkan semua biji-bijian dan umbi-umbian yang tersisa dan lalu dijadikan makanan berupa bubur. Menurut kisahnya lagi, hal itu beliau lakukan karena bercermin ke kisah Nabi Nuh As. yang memerintahkan umatnya saat kelaparan di atas kapal setelah terombang-ambing di tengah lautan.

Menurut Buya Ungku Saliah, krisis itu terjadi lantaran masyarakat tidak Sakato (seiya-sekata). Sehingga dengan cara mengumpulkan semua itulah beliau menyatukan masyarakat menjadi Sakato. Selain itu, tradisinya di Hari Asyura, setelah bubur itu jadi, juga dianjurkan untuk membagi-bagikan Bubur tersebut kepada seluruh keluarga, sanak famili, dan handai taulan agar semuanya akur dan saling seiya sekata dalam menjalani kehidupan. Alhasil, bubur yang dibuat untuk merayakan Hari Asyura itu dinamakan “Bubur Sakato”.

Adapun bahan dasar pembuatan Bubur Sakato adalah Pulut hitam, pulut putih, pulut merah, jagung, kacang hijau, ubi jalar, ubi batang. Kesemuanya itu merupakan simbol filosofis dari makanan-makanan hasil bumi yang mudah didapatkan dan tidak menyusahkan masyarakat. Sedangkan bumbunya adalah garam halus, saka putih, dan santan dari kelapa hijau. Semuanya diaduk dalam satu wadah sambil membacakan potongan Q.S. Al-Baqarah ayat 165; yuhibbuunahum kahubbillah walladzina asyaddu hubba llillah, dan dilanjutkan dengan Q.S. Al-Anfal ayat 63.

Adapun makna yang hidup dari membacakan kedua ayat tersebut saat mengaduk-aduk bubur Asyura adalah; ayat pertama berbicara tentang cinta antar sesama, hal ini tentunya agar semua yang memakan bubur tersebut dapat menumbuhkan cinta sesama dan menghilangkan semua penyakit hati yang ada. Sedangkan ayat kedua berbicara tentang kekuasaan Allah Swt dalam melunakkan hati manusia. Tunduknya hati seseorang bukanlah dari seberapa besar harta yang mereka infakkan, melainkan tunduknya hati seseorang adalah kekuasaan Allah Swt. untuk menundukkan. Jika dikompromikan, maka pembacaan kedua ayat ini bertujuan untuk menumbuhkan cinta dan kelembutan hati antar sesama. Sangat Living Quran sekali, bukan.

Selamat menikmati Bubur Asyura!

Ringan-ringan, Hari Asyura 1444/2022

Shafwatul Bary
Alumni PP Nurul Yaqin Ringan-ringan