Pulang puasa ini, saya dan beberapa teman putuskan untuk naik bus. Dari Tanjung Paiton ke pelabuhan Jangkar Situbondo. Menempuh perjalanan tiga jam. Di samping bisa hemat, keasyikan lainnya naik bus tidak capek dan lelah menyetir, justru bisa ngobrol ngalor ngidul. Terlebih lagi, rute bus masa kini demikian beragam lho. Gak kalah keren sama gurita, ehh, kereta maksudnya.
Empat temanku mereka duduknya barengan. Saya terpaksa harus pisah karena kursinya gak cukup berlima. Kagetnya, saya duduk dengan pemuda berjubah putih, berjengot panjang, dan bertongkat. Saya bergumam dalam hati “mungkin ini golongan Jamaah Tablig yang kebiasaanya jalan kaki itu yaa.” Karena penasaran akhirnya saya menyapa pemuda itu.
“Mau kemana mas?” tanyaku pada pemuda berjubah itu.
“Ini mas mau dakwah ke Banyuwangi. Sudah 10 tahun saya dakwah disana,” jawabnya.
“Sebenarnya bukan cuma di Banyuwangi saya dakwah, tapi semua lintas tapal kuda ini saya yang pegang mas. Ya seperti biasa, saya jalan kaki terus. Baru kali ini naik bus.” Timpalnya.
Tapi yang menarik bagi saya, jika satu dari empat temanku tadi membaca kitab Qurratul Uyun (sebuah kitab yang bikin melek santri-santri), pemuda berjubah ini berbeda, ia membaca buku-buku Aswaja (sekilas saya lihat kitabnya adalah Muqaddimah Qanun Asasi).
Sontak saja, ia menanyakan mazhab fikih Imam al-Asy’ari. Saya menjawab: bahwa Imam al-Asy’ari adalah salah seorang imam salafus shalih dan ulama terdahulu (juga imam besar Ahli Sunnah Waljamaah) yang diperebutkan oleh para ulama mazhab fiqih karena ingin mendapat kehormatan darinya.
Karena itu, tak heran jika para ulama Hanafiyah menuliskan biografinya dalam kitab-kitab mereka. Mereka mengklaim bahwa beliau adalah pengikut mazhab Hanafiyah. Begitu pula para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang berlomba-lomba menisbahkan Imam al-Asy’ari kepada mazhab masing-masing.
Namun demikian, Imam al-Kautsari menegaskan pandangannya bahwa Imam al-Asy’ari tumbuh dalam mazhab Hanafiyah, sebagaimana yang disebutkan oleh Mas’ud ibn Syaibah dalam kitab al-Ta’lim. Pendapat itu dipedomani oleh al-Hafizh Abdul Qadir al-Qurasyi, al-Maqrizi dan sejumlah ulama lainnya. Demikian juga, tak ada sumber yang menyatakan bahwa beliau kembali dari mazhab fiqih Imam Hanafi setelah meninggalkan mazhab Mu’tazilah.
Lebih lanjut, Imam al-Kautsari mengungkap alasan ketertarikan para ulama mazhab fiqih kepada Imam al-Asy’ari. Menurutnya, Imam Ahli Sunnah tersebut memandang semua mazhab fiqih. Artinya, beliau tidak membeda-bedakan antara satu dengan lain.
Bahkan, beliau memilih untuk membenarkan pandangan semua para mujtahid dalam masalah-masalah cabang (furu’). Itu pula yang memudahkan bersatunya pandangan Ahli Sunnah dalam dakwahnya yang hak. Ini adalah komentar al-Kautsar dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari.
Para pengikut mazhab fiqih Malikiyah (kecuali hanya beberapa gelintir orang saja yang nyaris tidak ada yang menyebutkan, seperti pandangan-pandangan aneh dan ingkar tentang Ibnu Khuwaiz Mindad) seluruhnya adalah pengikut Imam al-Asy’ari.
Alasannya, karena mazhab imam para penduduk Madinah itu benar-benar menafikan keburukan-keburukan para ahli bid’ah, sebagaimana yang dicetuskan para ulama. Sementara para pengikut mazhab Syafi’iyah adalah tiga perempatnya, dan para pengikut mazhab Hanafiyah, ulama Hanabilah adalah sepertiganya.
Sementara itu, sisa pengikut mazhab Hanafiyah dari kalangan Ahli Sunnah adalah pengikut mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidiyah di wilayah Bukhara dan sekitarnya. Mazhabnya serupa dengan mazhab Imam al-Asy’ari (kecuali dalam beberapa hal kecil saja). Dengan demikian, Imam Abu Manshur al-Maturidi adalah imam Ahli Sunnah Waljamaah.
Sedangkan, sisa dari para pengikut mazhab Imam Hanafi adalah penganut aliran Mu’tazilah. Demikian pula sisa dari para pengikut mazhab Imam al-Syafi’i. Hanya ada beberapa kejanggalan saja yang ditemukan para pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i yang menisbahkan diri kepada mazhab Mujassimah. Jumlahnya sangat sedikit sehingga nyaris tidak banyak yang menyebutkan.
Begitu pun dengan sisa para pengikut mazhab Imam Hanbali adalah pengikut mazhab Mujassimah al-Hasywiyyah. Kita tahu, akidah Imam Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama pengikutnya dijelaskan oleh Imam Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dalam kitabnya Daf Syubhat al-Tasybih bi Akuff Ahl al-Tanzih.
Bahwa, tak ada perbedaan antara akidah Imam Ahmad ibn Hanbal dan akidah Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Pandangan-pandangan keduanya berasal dari sumber yang sama. Tujuan al-Hafizh Ibnu al-Jauzi dalam kitab tersebut adalah, membebaskan Imam Ahmad Ibn Hanbal dari akidah-akidah Mujassimah sebagaimana stigma yang diterima oleh sebagian orang yang menisbahkan diri kepadanya.
Sebuah catatan untuk pemuda itu
Sang imam juga menolak ekstremisme kaum al-Mujasimah al-hasywiyah yang terlalu harfiah dalam memaknai ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, tak heran jika mereka berani menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (tasybih). Bahkan, mereka terlampau mudah menerima hadist-hadist bermasalah. Akibatnya, akidah-akidahnya lebih dekat kepada akidah penyembah berhala.
Misalnya, perkataan al-Aual dan al-Athil. Mereka menetapkan bahwa Allah memiliki bobot, bersentuhan dengan Arasy, sifat Allah itu terbatas, memiliki arah, suara, dan bentuk. Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim.
Syahdan, ketika sikap moderat merupakan ciri utama agama Islam sebagai agama Allah yang hak (yang juga faktor utama yang membuat Islam tetap bertahan dan berkelanjutan sepanjang masa), maka mazhab Ahli Sunnah Asy’ariyyah juga memiliki ciri yang sama, yakni moderat. Dengan kata lain, kedudukan mazhab Ahli Sunnah di tengah mazhab-mazhab Islam lainnya, sama seperti kedudukan agama Islam di tengah agama-agama yang lain.
Bukan hanya itu, al-Asy’ari sendiri juga mengakui kedudukan akal yang didewakan oleh kelompok Mu’tazilah. Beliau meyakini kekuatan akal, namun memosisikannya sebagai pembantu nash, “dibonceng” di belakang nash, dan bukan sebagai pengganti nash. Selain itu, Imam al-Asy’ari juga meyakini nash yang dipegang teguh oleh kelompok al-Mujassimah al-Hasywiyyah.
Sama, beliau juga memfungsikan dan menempatkan nash pada tempatnya, memfungsikan akal pada tempatnya tanpa berpihak kepada salah satunya ketika terjadi benturan diantara keduanya. Itulah faktor penyebab kenapa jumhur kaum muslimin tetarik kepada mazhab Ahli Sunnah Waljamaah. Barang kali ini juga yang menjadi sebab yang melandasi wasathiyah (keseimbangan manhaj) Abul Hasan al-Asy’ari hingga bisa diterima dengan baik oleh umat Islam, bahkan bisa berkembang pesat ke seluruh pelosok dunia. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Leave a Review