Cerpen-cerpen Singkat Nuranisa Nabylla Cerpen-cerpen Singkat Nuranisa Cerpen-cerpen Singkat Nuranisa Cerpen-cerpen Singkat Nuranisa
Kepemilikan Absah
Oleh: Nuranisa Nabylla
Luput kaki Lla dari tembakan panas, bagaimana tidak suaminya Nie sangat sensitif dan cepat tersulut.
Tak ada yang boleh, tak ada! Menghirup angin istrinya lalu saja ia cemburu.
Jika bertamu pastilah istrinya berada di dapur menyuguhkan kopi, ketika kopi selesai disaji. Terdengar bunyi tok tok tiga kali pada pintu dapur yang terhubung dengan ruang tamu. Nie, langsung tanggap berdiri mengambil cangkir-cangkir itu.
Sebegitu pelitnya ia berbagi suara Lla, seluruh negeri hanya tahu nama tiga huruf saja, yang diduga pasti ada lebihnya.
Tentangga pula tahu nama istri Nie dari panggilan Nie jika Lla mengambil waktu lebih untuk mengaduk-aduk gula.
Bahakan di hari pernikahannya, dari kepala hingga kaki tak ada yang nampak. Ditutupi semua sampai ke mata. Bahkan ia jeli akan baju pengantin istrinya, tak boleh nampak lekukan tubuh Lla.
Pernah sekali Lla lupa menaruh sisirnya di dekat jendela kamar. Lla tidak suka membuka jendela maka dari itu ventilasi udara dibuat lebih panjang dari jendela. Agar udara bisa keluar masuk. Sedangkan Nie, tidak suka menutup pintu kamar di siang-siang hari. Sebab kamar Nie dan Lla berhadap ruang tamu, terlihatlah oleh salah satu tetangga yang kunjungi rumah siang itu. Nie, marah besar pada istri tercintanya.
Lla menunduk, dan terus minta maaf. Luluh jua hati Nie, tak kuasa ia merajuk lama. Tak sampai hitungan tiga sudah dibuat Lla dalam peluknya. Sambil berderai air mata tiada mau terhenti.
Nie berkata, “Abi cemburu. Abi, cemburu Umi. Maafkanlah Abi. Abi tersulut api. Abi tak suka, tidak pernah suka ada mata lain yang lihat dirimu bahkan bekas rambutmu dibelah oleh tatanan rapi bilah-bilah sundur itu.”
Baca Juga: Berpura-pura Gila Demi Jadi Aku Anaknya
Menyuarakan Kekosongan
Oleh: Nuranisa Nabylla
Lla perempuan yang amat menyukai kopi, tetapi aneh caranya menikmati. Lla membuat kopi panas di tengah malam entah pukul 01.00 atau 02.00, lalu ia menikmatinya pada sore hari. Kopi yang sudah hampir basi atau memang sudah basi selalu menjadi favoritnya. Lla melakukan itu berulang-ulang. Mungkin hanya hitungan jari ia menghabiskan kopi yang benar-benar dari panas lalu menghangat.
Lucunya ini terkait pada jalan percintaannya, entah filosofis apa yang ia anut. Lla selalu mengabaikan Nie di tahun pertama Nie menyukainya. Satu tahun lamanya Nie mengejarnya, baru nampak hilalnya.
Setelah Nie, menyerah dan mengejar secukupnya saja atau hampir tidak mengejar bahkan bisa jadi sudah tidak lagi. Barulah Lla menyadari Nie, Lla bergantian peran.
Lla, kini mengejar Nie 3,5 tahun lamanya. Tidak, tidak hanya 3,5 tapi sampai detik ini. Nie, sudah tak sama lagi rasanya. Nie, selalu mengusir Lla baik dengan halus maupun kasar.
Semua ucapan Lla terasa sekali tidak berarti apa-apa. Cinta Lla tak pernah terlihat, padahal selama setahun itu Lla berusaha percaya dan memastikan Nie. Rupanya, Lla larut dalam kejaran Nie hingga lupa Nie tersakiti. Harga yang harus dibayar, emm tidak bukan harga, karakter. Ya, karakter yang dilakonkan Nie dahulu sekarang bergeser menjadi karakter Lla.
Entah, kapan ini akan berakhir. Nie, benar-benar tak menganggap Lla. Nie, hanya ingin berteman, Nie terbiasa dengan bualan. Parahnya semua bualan itu terterlan bulat-bulat mungkin yang Lla telan layang ke hatinya. Hingga tidak dapat perutnya cerna.
Nie, tidak ingin menikahi Lla. Nie, tidak ingin ada hubungan apa-apa dengan Lla.
Lla, terkurung dalam-dalam. Tidak ingin berpaling, dan bertekat terus mencintai Nie. Apapun keadaan Nie.
Lla, kini menjalani hidup dengan siluet senja. Yang entang memang ada Nie di balik tirai atau hanya figur yang diciptakan Lla.
Lla, tidak pernah bisa mencintai orang lain seperti ia mencintai, Nie.
Nie, seperti kopi yang ia buat di tengah malam dan kini ia minum panas-panas buta.
Lla, punya suara yang hampa. Namun, kosong kala sampai kepadanya.
Nie takkan ingin menjadi milik Lla. Seperti kopi favorit Lla yang diminum hampir basi.
Nie Cukup untuk Lla
Oleh: Nuranisa Nabylla
Cicin berlian mata satu yang Nie berikan pada Lla membuat Lla meloncat ke tubuh Nie, Lla kaget cincin yang ia idamkan sejak lama bisa ia sentuh dan pamerkan setiap hari.
Lla juga melihat Nie sangat bangga bisa menghadiahkan Lla cincin yang sangat Lla inginkan di toko berlian mewah dekat trotoar jalan raya.
Nie, sebenarnya resah melihat toko aksesoris, sepatu, tas, dan baju-baju di sepanjang jalan. Nie, merasa itu cara murahan untuk merek ternama. Bukankah kalau mereka terkenal seharusnya jangan di pinggir jalan besar?
Itu tidak adil bagi pejalan kaki berkantong rongsok seperti kami.
Biarlah mereka yang punya menikmati toko seperti ini di dalam bangungan tinggi yang enggan kami datangi.
Bagaimana aku sanggup melihat mata berbinar Lla, ketika berjalan bersamaku melintasi toko-toko tersebut.
Nie, merasa bersalah tidak memberi tahu Lla bahwa cincin tersebut hanyalah imitasi. Nie, takut Lla malu mengenakannya.
Hari belalu seperti biasanya, di mana hari dimulai dengan kecupan menyapu wajah Nie.
Lla bangun dan bergegas ke kamar mandi. Lla mengambil tisu dan menaruh benda kecil itu di tisu sebelum mandi. Lla juga meminta satu hari kepada Nie setiap minggunya untuk jalan-jalan bersama teman-teman Lla.
Nie, mengizinkan istrinya untuk menikmati waktunya sendiri. Siapa sanggka, Lla setiap minggunya bukan pergi menjumpai teman-temannya melainkan pergi ke pasar. Mengunjungi tempat pencucian barang imitaai biar tak pudar.
Rupanya Lla mengetahui sejak awal bahwa cincin tersebut palsu. Lla sengaja membohongi Nie agar Nie tidak sedih mengenai hadiahnya itu.
Sudah empat tahun cincin itu tetap berkilau di jari Lla. Nie, merasa aneh mengapa cincinnya masih sama seperti pertama kali ia berikan.
Nie, bangun lebih awal pagi itu. Ia membawakan kopi dan roti ke ranjang mereka, dan mengeloni istrinya hingga terbangun dan menggelitikinya hingga Lla benar-benar tak nafsu kembali tidur di pagi yang dinginnya hingga ke tulang.
Lla, duduk dan menyandarkan diri ke dada Nie dan menariki rambut dada Nie. Nie, memberanikan diri berterus terang “Lla, cincin yang Abi berikan empat tahun lalu itu bukanlah berlian asli bahkan liangnya pun bukan emas putih,” Lla menjawab “Mengapa memikirkan itu? Sungguh, itu bukan masalah untuk Lla.”
Nie, mendekap istrinya dan mengecup simpul di ubun-ubun Lla “Sejak Abi menegaskan kebahagiaan Abi adalah Lla di depan orang tua, Abi merasa bahagia karena mampu mengutarakan keinginan Abi. Tapi, Abi merasa bersalah kepada Lla, Abi terlalu manja. Abi bahkan tak tahu Abi kuliah di Universitas nomor satu untuk apa? Apa pekerjaan yang Abi mau. Abi bahkan menjadi ketua organisasi dengan tujuan mendapat pengalaman tapi tak ada yang membuat Abi nyaman pada akhirnya, uang dan kesuksesan hanya nol koma sekian persen rasa senangnya dan bukan senang karena kerjaannya senang karena nafsu mengabiskan gaji. Abi terlalu lengket dengan Lla, hanya ingin menghabiskan usia bersama. Saat melihat Lla menginginkan sesuatu Abi merasa kecil. Abi harus berusaha lebih, gaji dosen terlalu kecil untuk membahagiakan Lla.”
Lla melepas pelukan suaminya dan menatap matanya, “Terima kasih telah memperjuangkan Lla, pekerjaan Abi itu keren. Abi menggeluti buku kimia sejak SMA, dan sekarang menjadi dosen tidak membuat senang? Yang benar saja. Abi terlalu terpaku dengan harga lalui uang, padahal kita bisa menemukan celah bahagia bukan hanya celah tapi goa bahagia. Mereka tak penting, tak bernilai, dan tak bernyawa, tapi Abi penting, berharga, dan bernyawa. Cukup memiliki ikatan suami istri dan menghantarkan kita pada kematian saat waktunya saja sudah cukup bagi Lla.”
“Makasih, Lla. Lla selalu membuat Abi merasa tenang. Lantas, maukah Lla berbagi rahasia? Mengapa cincin itu masih terlihat sama tak ubah warnanya.”
“Setiap minggu Lla pergi ke pencucian barang imitasi. Walau kakek itu selalu bilang ini masih putih, belum ubah. Tetap, tetap Lla cuci. Lla, ingin mengingat selalu, perasaan bangga Abi berikan cincin ini untuk Lla.”
Leave a Review