Lahir dari keturunan bangsawan Aceh yang menjaga tradisi keislaman dengan baik, Ayahnya Teuku Nanta Seutia adalah seorang bangsawan terhormat keturunan Padang dan pejuang dalam perang Aceh. Semenjak kecilnya Cut Nyak Dhien telah didik dalam suasana keagamaan dan ketaatan oleh ibunya yang berasal dari wilayah Lampageu Peukan Bada Aceh Besar.
Cut Nyak Dhien tumbuh sebagai perempuan yang dikenal cerdas, taat dan rupawan. Beliau diperkirakan lahir di tahun 1848, lebih tua beberapa tahun dari sahabat dekatnya Teungku Fakinah yang lahir pada tahun 1856. Karena antara Cut Nyak Dhien dan Teungku Fakinah bisa diibaratkan seperti dua orang yang kembar dengan kelebihan masing-masing. Cut Nyak Dhien menikah dalam usia masih muda sekitar tahun 1862, sebagian menyebut beliau menikah dalam usia 12 tahun, padahal dalam hitungan yang sesuai beliau berusia 14 tahun ketika menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga anak ulee balang Lamnga dan juga pejuang yang syahid dalam perang Aceh pada tahun 1878. Beliau adalah wanita yang memiliki hati yang kokoh dan semangat perjuangan yang jarang tandingannya. Walaupun untuk tekadnya, beliau harus merelakan satu persatu keluarga intinya syahid di medan peperangan melawan Belanda. Bahkan ayah, suami, anak dan menantunya semua syahid di medan pertempuran. Setelah dua tahun menjanda, pada tahun 1880 demi melanjutkan perjuangan di medan perang, beliau menikah dengan seorang panglima perag hebat Meulaboh Teuku Umar yang disegani kiprahnya di medan perang Aceh. Bersama Teuku Umar, ia mulai turun dan berada di garda terdepan dalam perang Aceh. Desingan mesiu, peluru, meriam, dan bahkan musuh-musuh yang tangguh tidak pernah menggetarkan hati Cut Nyak Dhien karena keimanan dan ketauhidannya yang kokoh kepada Allah SWT.
Namun pada tahun 1893, Teuku Umar dengan pasukannya membelot dari perjuangan, dan bergabung dengan serdadu Belanda. Walaupun Cut Nyak Dhien belum mengetahui taktik yang dimainkan oleh suaminya Teuku Umar Meulaboh, ia menghadapi berbagai tekanan terutama sahabat dekatnya seperti Teungku Fakinah agar menyadarkan suaminya Teuku Umar yang telah salah langkah. Dengan segenap kesabaran dan ketabahan selama tiga tahun 1893-1896, beliau terus mendampingi suaminya yang telah dicap sebagai “pengkianat” dalam perang Aceh. Sehingga banyak pejuang Aceh yang mulai renggang persahabatan dengan keluarga Cut Nyak Dhien, bahkan merendahkan kiprah Teuku Umar yang telah puluhan tahun berjuang di dalam hutan sebelum Teuku Umar membelot. Setelah tiga tahun membelot, masih dalam tahun 1896 Teuku Umar Johan Pahlawan kembali kebarisan perjuangan, setelah syahidnya Teungku Chik Mahyed Di Tiro, anak dari Teungku Chik Di Tiro, untuk kembali memimpin perang Aceh. Walaupun tidak semua tokoh Aceh percaya sepenuhnya dengan aksi berbaliknya Teuku Umar Johan Pahlawan ke barisan pejuang Aceh seperti Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Adapun Teungku Chik Kuta Karang, dari mulai Teuku Umar membelot ke pihak Belanda dan kembali bergabung ke pasukan Aceh, Teungku Chik Kuta Karang tetap menfatwakan agar tidak berperang melawan Teuku Umar Meulaboh. Sebab Teungku Chik Kuta Karang adalah ulama senior yang menguasai berbagai cabang keilmuan termasuk ilmu firasat dan ketabiban dan beliau juga penasihat Sultan Aceh Periode terakhir. Pada tahun 1899 terjawab semua sepak terjang Teuku Umar Johan Pahlawan yang kemudian menemui ajalnya syahid di Ujong Kalak Meulaboh ketika akan mengepung Tangsie Belanda di Meulaboh.
Setelah syahidnya Teuku Umar, Cut Nyak Dhien yang selama ini mendampingi Teuku Umar melanjutkan perjuangan, dan bergerilya dari hutan ke hutan dengan pasukan yang masih tersisa. Dalam keadaan gerilya dan makanan seadanya, kesehatan Cut Nyak Dhien makin merosot, dan pasukan pun semakin berkurang. Beliau tetap berjuang hingga pada tahun 1905 beliau ditangkap di Butong Meulaboh karena informasi dari salah satu panglima perangnya Pang Ali yang iba melihat keadaannya yang mulai sakit-sakitan dan penglihatan yang telah rabun.
Baca Juga: Cut Nyak Din, Seorang Perempuan yang Mengajaibkan di Hindia Belanda
Karena kekhawatiran Belanda terhadap pengaruh Cut Nyak Dhien, maka pada tahun 1906 beliau diasingkan ke Sumedang Jawa Barat, disana beliau diterima oleh Adipati Sumedang dan diperlakukan sebagaiman mestinya. Adipati Sumedang tidak mengetahui jati diri dari wanita tua yang mulai sepuh dan bermata rabun itu, namun yang pasti Adipati mengetahui dengan pasti bahwa wanita itu adalah seorang yang kharismatik, ahli zikir, taat dan hafidhah Al Qur’an. Sehingga Cut Nyak Dhien kemudian ditempatkan di rumah seorang ulama setempat. Hampir dua tahun beliau hidup di Sumedang menghabiskan masa tuanya dalam pembuangan. Hari-harin yang sepi diisinya dengan zikir, membaca Al-Qur’an dan mengajarkan masyarakat yang datang untuk belajar kepada beliau. Jadilah masyarakat menyebut Cut Nyak Dhien dengan panggilan Ibu Perbu, Ibu Suci, yaitu wanita yang dimuliakan.
Setelah dua tahun berada dalam masa pengasingan dengan penuh kesabaran dan ketabahan, wafatlah wanita besar tersebut di tahun 1908. Dan kuburnya di Sumedang Jawa Barat baru diketahui sekitar tahun 1958 setelah dicari di arsip lama Belanda. Sampai sekarang kubur “Ibu Perbu, Ibu Suci” Cut Nyak Dhien Pahlawan Besar perang Aceh masih terus dirawat dan diziarahi. Rahimahallah Rahmatan Wasi’atan.[]
Leave a Review