Trend dakwah, pengajian, tabligh akbar dan sebagainya begitu banyak mengisi ruang sosial kita belakangan ini. Ragam ustad atau ulama beragam pula metode yang mereka gunakan. Ada yang sifatnya mengajak, ada pula yang sifatnya menggurui, ada menggunakkan sifat lemah lembut ada pula yang sebaliknya.
Di tengah keragaman metode ini, ada baiknya kita menilik metode dakwah yang digunakan dari tiga tokoh ulama asal Minang masa lalu ini, Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar, Syekh Suliaman Arrasuli, dan Syekh Abdullatif Syakur. Ulama-ulama besar yang tentu saja tidak diragukan kemampuan dakwah mereka.
A. Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Batu Hampar
Syekh Abdurrahman Al-Khalidi Batu Hampar, ulama besar di Pedalaman Minangkabau. Ahli Tilawah al-Qur’an dan juga dikenal sebagai seorang sufi. Beliau ialah kakek dari Bung Hatta. Beliau lahir sekitar 1777 M, dan wafat 1899, dimakamkan di Batuhampar, Payakumbuh. Lebih kurang 43 tahun beliau pergi menuntut ilmu, hingga sampai Makah, dan pulang kampung dalam usia 63 tahun.
Ketika beliau pulang kampung ke ranah Minang dilihatnya kampung halamannya, agama tidak semarak. Islam ada namun perintah syari’at tidak begitu dijalankan dengan baik. Praktik adu ayam masih menjadi hobi. Masjid tidak diisi untuk salat, dan lain-lainnya. Maka beliau melakukan dakwah yang persuasif.
Pernah satu ketika segerombolan pemuda datang mengunjungi beliau untuk meminta mendo’akan ayam yang akan dibawa ke gelanggang aduan. Beliau tidak marah. Syekh Abdurrahman dengan senyum mengambil ayam itu lalu mulutnya mulai berkomat-kamit membaca do’a. Setelah itu ayam tadi dikembalikan kepada pemuda-pemuda tadi. Dengan riang, pemuda-pemuda itu pergi ke gelanggang aduan.
Beberapa saat setelah itu, pemuda-pemuda tadi pulang dengan gembira karena ayam aduan mereka menang. Lama kelamaan sosok Syekh Abdurrahman sangat melekat di hati pemuda-pemuda tadi. Mereka menyebut syekh dengan gelar “atuak basorban besar”, karena Syekh Abdurrahman memakai serban. Sejak tuan Syekh tertanam di hati, mereka mulai menaruh segan. Secara beransur-ansur mereka meninggalkan kebiasaan adu ayam, karena karena segan dan hormat kepada Syekh Abdurrahman.
Beliau berhasil menghentikan perbuatan maksiat tanpa mengungkapkan suatu itu terlarang. Adapun do’a yang beliau baca pada ayam-ayam itu, kira-kira: “Ya Allah, berikanlah keinsafan kepada mereka…”
B. Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970)
Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970) dikenal juga dengan Inyiak Canduang, ulama terkemuka, ahli fikih ternama, dan juga pakar adat Minangkabau. Di zaman Belanda, beliau begitu akrab dengan Demang Datuak Batuah yang dikenal garang. Sang Demang, meskipun terlahir dari keluarga yang beragama Islam, ternyata tidak mengerjakan perintah salat.
Syekh Sulaiman Arrasuli berkeinginan agar sang Demang (temannya) taat mengerjakan perintah salat. Pada saat itu Syekh Sulaiman Arrasuli baru selesai mendidik dua anaknya, yaitu Rabi’ah dan Syamsiyah, belajar menenun di Kubang, Limapuluh Kota. Teringatlah oleh beliau menyuruh Demang Datuah Batuah salat dengan cara yang sangat halus.
Bagaimana caranya Syekh Suliman Arrasuli menyuruh Demang Datuah Batuah itu? Beliau membelikan sebuah sajadah parsi, kemudian beliau suruh anaknya tersebut menenung sehelai kain sarung. Setelah itu selesai ditenun, beliau datang berkunjung ke Demang tadi. Beliau berkata: “Inyiak, cucu Inyiak yang bernama Syamsiyah, kemenakan Datuak Paduko Sati Simarasap, yang pernah Inyiak lihat dulu ketika pasar malam, sebelum belajar tenun dulu bernazar, kalau pandai ia bertenum akan menenunkan Inyiak sehelai kain sarung sembahyang. Sekarang saya disuruh menyampaikan nazarnya. Harap Inyiak terima!”
Sindiran halus ini sangat terhujam di hati Demang Datuak Batuah. Sesaat setelah itu juga beliau, melalui orang lain, menyuruh mencarikan seorang guru agama untuk mengajarkan bacaan salat kembali. Sejak saat itu beliau selalu membawa kain sarung itu kemana-mana, ketika kontrol, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Berhasil Syekh Sulaiman menyuruh salat; menyuruh tanpa memerintah.
C. Syekh Abdullatif Syakur (Wafat 1963)
Lama beliau di Makah, belasan tahun, berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ketika beliau pulang kampung, beliau melihat banyak sekali hal-hal yang diperbuat masyarakat yang bertentangan dengan agama, seperti kebiasaan judi dan adu ayam. Saat itu beliau mendirikan surau yang bernama Surau Sicamin. Surau ini persis di depan gelanggang aduan dan judi. Beliau pun ikut meramaikan gelanggang itu. Namun, ketika waktu salat tiba, beliau ajak parewa-parewa gelanggang untuk salat. Hari-hari beliau lalui seperti itu. Sampai kemudian kebiasaan adu ayam itu beransur hilang, dan habis sama sekali.
Dan banyak kisah-kisah lainnya.
Pertanyaan yang muncul di benak saya: “Akankah kita mampu mengulang keberhasilan ulama-ulama besar dulu dalam berdakwah, hingga Islam itu benar-benar tertanam kuat, ketika kita berdakwah dengan kasar, menebar kebencian, dan mengolok-olok, sebagaimana tidak sedikit saya lihat hari ini?”[]
Leave a Review