Baru saja kita melewati momentum hari kelahiran Pancasila pada 1 Juni yang lalu. Dalam upaya merefleksikan hari kelahiran Pancasila tersebut, buku berjudul “Masa Gelap Pancasila, Wajah Nasionalisme Indonesia” karya Tan Swie Ling ini, meski telah terbit dua tahun yang silam, tapi nampaknya, tetap relevan untuk dibaca dan dibahas lagi.
Bagi saya, buku yang relatif tipis dan ditulis dengan bab-bab yang cukup pendek menyerupai pamflet ini, tak ubahnya seperti sebuah potret yang merekam dengan sangat jelas kegelisahan dan kecemasan yang begitu mendalam penulisnya akan nasib Pancasila yang dianggap tak jelas juntrungannya. Ia ada tapi seperti tak ada. Tak ada, tapi sebenarnya masih ada.
Judul Buku : Masa Gelap Pancasila, Wajah Nasionalisme Indonesia
Penulis : Tan Swie Ling
Tahun Terbit : 2014
Penerbit : Komunitas Bambu, Ruas dan LKSI
Jumlah Halaman : 137 halaman
Dalam buku ini, Tan, memang menegaskan bahwa Pancasila pernah dan masih berada dalam masa-masa gelap. Ya, dia menyebutnya sebagai masa gelap Pancasila. Masa-masa di mana Pancasila hanya sekadar ada (secara simbolik), tapi sebenarnya, sedang hebat-hebatnya dikangkangi dan dikhianati oleh penguasa dan segelintir elit yang dimabuk kuasa. Masa-masa gelap Pancasila, dalam penilaian Tan, terutama dimulai sejak Suharto berkuasa dan terus berlanjut sampai sekarang ini.
Pada saat Suharto berkuasa, seperti luas diketahui, Pancasila di P4-kan, Pancasila dikurung dalam tafsir sempit kepentingan penguasa sendiri. Saat meletus tragedi G30/S/PKI pada tahun 65, Suharto dalam rangka menghancurkan dan menghabisi unsur-unsur komunis di Indonesia, menggunakan Pancasila sebagai “alat gebuk ideologis”.
Suharto secara resmi juga menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila, hari libur nasional. Ini dilakukan selain untuk mereduksi peran Sukarno, juga untuk mengenang jasa para jenderal yang dianggap telah dibunuh dengan sadis oleh PKI. Penetapan Hari Kesaktian Pancasila tersebut, jelas merupakan rekayasa politik tingkat tinggi yang dilakukan oleh Suharto untuk terus merawat ingatan rakyat Indonesia akan kejahatan kaum komunis di Indonesia. Meski dalang dari peristiwa tersebut masih kabur dan tak benar-benar jelas sepenuhnya.
Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i
Tidak hanya itu, Suharto juga sempat menjadikan Pancasila sebagai “alat gebuk ideologis” untuk memukul dan menyingkirkan kekuatan kelompok Islam politik di Indonesia dengan kebijakan asas tunggal Pancasila yang dibuatnya ke tepi-tepi pingir sejarah.
Pada masa Reformasi, saat Suharto jatuh dari kekuasaannya setelah memimpin 32 tahun lamanya, masa gelap Pancasila, dalam penilaian Tan, juga tak kunjung berakhir. Hal ini bisa dilihat dari para elit yang melupakan sejarah pemikiran kebangsaan, sehingga sikap dan kebijakannya jauh dari nilai-nilai Pancasila: korupsi yang semakin merajalela, keadilan sosial yang semakin timpang, hukum yang tak tegak, dan konflik agama dan etnis yang nyaris terjadi setiap saat.
Menyadari nasib Pancasila yang sedang berada dalam masa-masa gelap tersebut, Tan, berusaha menelusuri kembali bunyi dan semangat Pancasila, persis seperti yang dimaksud oleh penggalinya sendiri, Sukarno.
Tapi yang menarik dari buku ini, sebelum jauh membahas Pancasila dari maksud penggalinya, Tan juga menjabarkan konteks kesejarahan dari munculnya Indonesia dan Pancasila. Pembaca disuguhkan dengan pemikiran Sukarno mengenai lima tingkat perkembangan masyarakat, dan kemudian pandangan Sukarno mengenai kapitalisme-imperialisme-kolonialisme, sampai kemudian terbit kesadaran nasionalisme dan imaji tentang Indonesia di kalangan rakyat pribumi di Hindia Belanda.
Pancasila dan Sang Penggali
Pancasila, secara formal, muncul dan lahir saat Sukarno menyampaikan pidatonya yang cukup panjang dan memukau pada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945, setelah sebelumnya diminta langsung oleh Ketua Sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjelaskan tentang “apa dasar Indonesia merdeka”.
Dalam pidato itu, Sukarno menegaskan, bahwa baginya, yang dimaksud dasar Indonesia merdeka adalah “fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi”. Atau dalam bahasa Belanda yang digunakannya: philosophice grondslag.
Tapi sebelum menjabarkan lebih lanjut mengenai dasar negara Indonesia merdeka, Sukarno terlebih dahulu bertanya pada semua anggota sidang tentang apa yang dimaksud “merdeka” itu sendiri? Lalu, Sukarno menjawabnya sendiri dengan tegas:
“Di dalam tahun ‘33, saya telah menulis suatu risalah. Risalah yang bernama ‘Mencapai Indonesia Merdeka’. Maka di dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independent, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat”.
Kemerdekaan bagi Sukarno adalah jembatan emas yang harus dicapai, dilewati. Dan, di seberang jembatan emas itu, kita bisa menyempurnakan masyarakat Indonesia yang merdeka. Nah, tugas untuk menyempurnakan masyarakat Indonesia setelah merdeka, kata Sukarno, harus selalu didasarkan dan dipandu oleh dasar Indonesia merdeka.
Baca Juga: Wasiat Syekh Sulaiman Arrasuli dalam Ijazah MTI Canduang
Tapi sekali lagi, apa dasar Indonesia merdeka? Sukarno dalam kelanjutan pidatonya tersebut, menawarkan lima prinsip yang nantinya akan menjadi dasar Indonesia merdeka. Pertama, kebangsaan Indonesia. Kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial, dan yang terakhir, kelima, adalah prinsip ketuhanan Yang Maha Esa.
“Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan,” tegas Sukarno saat menjelaskan prinsip pertama soal kebangsaan Indonesia.
Menurut Sukarno, kebangsaan Indonesia, bukanlah kebangsaan yang bisa dipilin menjadi nasionalisme yang sempit apalagi chauvinisme. Kebangsaan Indonesia adalah cinta pada tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, memiliki bahasa yang satu. Tapi pada saat bersamaan, rakyat Indonesia juga harus sadar, bahwa Indonesia hanya bagian kecil dari masyarakat dunia. Dalam bahasa Sukarno: kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri. Kebangsaan Indonesia adalah menjunjung tinggi perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang kemudian juga menjadi prinsip yang kedua yang disampaikan Sukarno.
Dalam Indonesia merdeka, lanjut Soekarno, berdasarkan prinsip yang ketiga yakni musyawarah mufakat, rakyat Indonesia harus senantiasa belajar memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bersama di atas prinsip musyawarah-mufakat, yang hasilnya harus membawa maslahat untuk semua. Bukan hanya membawa maslahat untuk satu orang dan golongan tertentu saja.
Sementara, prinsip kesejahteraan sosial, dalam penjelasan Sukarno, Indonesia merdeka haruslah bebas dari kemiskinan. Tak boleh ada golongan yang kaya sendiri. Sementara yang lainnya melarat dan berkubang dalam kemiskinan. Di sinilah, mengapa Indonesia merdeka, kata Sukarno, harus tegas menolak kapitalisme dan imperialisme.
Saat menjelaskan prinsip yang terakhir, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Sukarno juga menekankan sikap beragama yang terbuka. Dalam arti, teguh memeluk keimanannya sendiri, tapi harus tetap bisa menghargai ‘kebenaran’ agama orang lain.
Baca Juga: Memaknai Kitab-Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag i
“Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’,” pungkas Sukarno.
Sangat jelas, cuplikan pidato Sukarno tersebut di atas (sebagaimana disarikan dari buku ini), menunjukkan bahwa Pancasila dalam maksud penggalinya, yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945, memiliki semangat menyatukan, mempersatukan semua rakyat Indonesia yang memang beragam—baik secara agama, etnis, suku dan pandangan ideologi—meski tetap dibiarkan dalam keberbedaannya masing-masing. Bukan semangat menyatukan dengan cara meringkus keberagaman menjadi ketunggalan yang dipaksakan, seperti khas tafsir Pancasila di bawah rezim Orde Baru.
Inilah kiranya yang menjadi perbedaan mencolok antara semangat Pancasila 1 Juni 45 dengan Pancasila 1 Oktober 65. Salah seorang sejarawan UGM, yang juga dosen saya, Budiawan, pernah menganalogikan begini: jika yang pertama seperti lem perekat yang menyatukan anak-anak bangsa, yang kedua seperti palu godam yang keras menghancurkan dan memecah belah anak-anak bangsa.
Masa Terang?
Belakangan ini, sejumlah jenderal sisa-sisa Orde Baru, baik yang masih aktif menjabat dan yang tidak, nampak kembali menggunakan semangat Pancasila 1 Oktober yang diwarisinya dari Suharto untuk menggebuk pihak-pihak yang dianggap membahayakan dan mengancam keamanan negara.
Mereka berkoar-koar di media mengajak semua rakyat Indonesia untuk menjaga “kesaktian” Pancasila dari ancaman Komunis Gaya Baru (KGB). Meski tak sepenuhnya jelas bagaimana rumusannya. Tak ada bukti-bukti shahih yang bisa menguatkan jika kaum komunis di Indonesia memang betul-betul bangkit lagi dan akan merebut Indonesia. Yang tampak jelas, aparat hanya terus bertindak represif, dan memasuki ranah kehidupan sipil: melakukan sweeping buku-buku kiri, membatalkan pemutaran-pemutaran dan diskusi film dokumenter yang dianggap berbau komunisme seperti Jagal, Senyap dan Pulau Buru Tanah Air Beta; juga mengamankan seorang mahasiswa yang menggambar simbol palu arit di tembok kampus, dan lain sebagainya.
Melihat sikap-sikap tersebut, kita memang pantas kecewa. Di tangan mereka, Pancasila seperti tak pernah berhenti dikhianati dan terus-menerus berada dalam masa-masa gelap. Semangat Pancasila yang menyatukan, sebagaimana dimaksud penggalinya, lagi-lagi diabaikan.
Kita memang tak habis pikir. Bagaimana mungkin jenderal-jenderal sisa-sisa Orde Baru tersebut menganggap Pancasila bertentangan dengan pemikiran kiri, seperti marxisme dan sosialisme? Bukankah Pancasila justru terbentuk dari banyak unsur, termasuk dari marxisme dan sosialisme, yang berhasil digali dan diramu secara meyakinkan oleh Sukarno?
Oleh sebab itu, seorang sejarawan tersohor dari Amerika Serikat, George McTurnan Kahin, misalnya, pernah menyimpulkan bahwa Pancasila itu adalah sintesis dari tiga nilai penting, yang kemudian menjadikan dirinya filsafat sosial yang matang: modernisme Islam, demokrasi modern, Marxisme dan permusyawaratan rakyat yang mengakar dalam tradisi desa di Indonesia.
Namun, di tengah-tengah kekecewaan kita akan nasib Pancasila yang masih berada dalam masa-masa gelap tersebut, beruntung belakangan ini kita masih memiliki seutas harapan akan terbitnya masa-masa terang Pancasila. Masa-masa di mana semangat Pancasila sebagaimana dimaksud penggalinya, diharapkan kembali menjadi semangat yang menjiwai pemimpin-pemimpin kita.
Seutas harapan itu: ditetapkannya secara resmi 1 Juni sebagai Hari Kelahiran Pancasila menjadi hari libur nasional oleh Presiden Jokowi. Kita berharap, ya sekali lagi kita berharap, Hari Kelahiran Pancasila, tidak hanya menjadi sekadar seremoni an-sich, tapi juga menjadi momentum untuk kembali mengingat dan menerapkan semangat Pancasila sebagaimana dimaksud penggalinya. Persis, seperti ditekankan dan ditebalkan Tan Swie Ling dalam buku “Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia” ini. Semoga.[]
Leave a Review