scentivaid mycapturer thelightindonesia

Dalilnya Apa, Nalar atau Hadis?

Dalil nya Apa Nalar atau Hadis

Dalil

Seringkali ketika kita ditanya tentang satu masalah agama, lalu kita berikan jawaban yang kita tahu tanpa mendasarkannya kepada al-Qur’an atau Sunnah (artinya tanpa menyebutkan dalilnya), kita sering ditanya balik: “Dalilnya apa?”

Ketika kita ditanya, “dalilnya apa?”, maka biasanya yang dimaksud adalah : “Hadisnya apa?” Karena biasanya yang bertanya juga tidak mengerti bahwa dalil dalam agama itu tidak hanya hadis saja. Ada ijmak, qiyas, mashalih mursalah, istihsan dan sebagainya.

Seolah-olah jawaban yang tidak memakai hadis tidak bisa dipercaya. Sementara jawaban yang menggunakan hadis, itulah jawaban yang hakiki.

Akibatnya sebagian penceramah berusaha ‘mati-matian’ untuk mendasarkan jawabannya kepada hadis, meskipun ia tidak yakin seratus persen apakah redaksi atau lafaz hadis yang ia sampaikan itu tepat atau tidak. Bahkan, ia juga kadang tidak terlalu peduli apakah hadis yang ia sampaikan itu telah dicek kesahihannya atau tidak. Yang penting, jawabannya menggunakan hadis. Dengan cara itu jawabannya akan langsung diterima.

Dari sini muncul anggapan bahwa semakin banyak hadis yang disampaikan dalam sebuah ceramah atau kajian maka akan semakin tinggi tingkat kebenaran kajian tersebut. Apalagi jika kajian itu telah dilabeli dengan “Kajian Sunnah”.

Baca Juga: Bisakah Kaidah Fiqih Menjadi Dalil Hukum?

Sebaliknya, semakin sedikit –atau bahkan nyaris tidak ada- hadis yang disampaikan dalam sebuah kajian maka kajian itu patut diragukan, dan bahkan ‘dicurigai’. Bisa jadi juga akan ada yang melabelinya dengan “Kajian Bid’ah.”

Mari kita lihat bagaimana sahabat-sahabat dekat Rasulullah Saw menyampaikan hadis-hadis beliau. Apakah mereka ‘boros’ dalam menyampaikan hadis-hadis Rasulullah Saw? Apakah mereka berusaha ‘mati-matian’ untuk mendasarkan setiap pendapat dan jawaban mereka kepada hadits? Silahkan simak riwayat berikut:

قَالَ أَبُو عَمْرُو الشَّيْبَانِي : كُنْتُ أَجْلِسُ إِلَى ابْنِ مَسْعُوْدٍ حَوْلاً لاَ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِذَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقَلَّتْهُ رِعْدَةٌ وَقَالَ هَكَذَا أَوْ نَحْوَ ذَا أَوْ قَرِيْبٌ مِنْ هَذَا .

Abu Amru asy-Syaibani berkata: “Satu tahun saya dekat dengan Ibnu Mas’ud, tapi saya tidak pernah mendengarnya berkata: “Rasulullah Saw bersabda: … “ (maksudnya ia tidak pernah menyampaikan hadis Nabi). Kalaupun ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: …” tubuhnya akan menggigil, dan ia akan berkata di akhir: “Atau dengan redaksi yang mirip, atau semisal ini, atau dekat dengan ini…”

Bisa kita bayangkan, satu tahun lamanya Ibnu Mas’ud tidak menyampaikan hadis Rasulullah Saw! Kenapa? Apakah karena hafalannya tidak kuat? Tidak. Karena ia takut kalau-kalau apa yang ia katakan sebagai hadis Nabi ternyata tidak demikian yang Nabi sabdakan secara persis. Mungkin ada kata yang tertambah atau terkurangkan.

Jangan sanggah Ibnu Mas’ud dengan mengatakan: “Bukankah meriwayatkan hadis dengan makna (substansi) adalah dibolehkan?” Akan terlihat sangat lugu orang yang ingin mengajari sahabat senior seperti Ibnu Mas’ud hal-hal fanniy seperti ini.

Kalaupun beliau menyampaikan hadis Rasulullah Saw, beliau akan berkata di akhir penyampaian itu: “atau dengan redaksi yang senada, atau mirip dengan ini, atau semisalnya” dan kalimat-kalimat serupa. Ini merupakan tingkat wara’ level tertinggi.

Karena itulah Ibnu Mas’ud lebih banyak menggunakan nalar dan logika (ar-ra`y) dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diarahkan pada dirinya. Tentu bukan karena ia tidak hafal hadis. Tapi karena ia takut kalau-kalau hadis yang ia pakai atau sampaikan tidak tepat seperti yang Rasulullah Saw sampaikan.

Kalau ia menggunakan nalar atau logikanya pribadi (tentu bukan nalar dan logika yang liar dan tidak terkontrol, melainkan nalar dan logika yang dibangun di atas dasar wahyu dan kedekatan sekian puluh tahun bersama Rasulullah Saw), maka kalau seandainya ia salah dan keliru, kesalahan dan kekeliruan itu terpulang pada dirinya, bukan ‘dipikulkan’ kepada hadis.

Baca Juga: Menyoal Hadis Jariyah: (di Mana Allah?)

Semoga ini menjadi evaluasi bagi orang-orang yang terlalu ‘gandrung’ menggunakan hadis untuk membenarkan pendapat dan pandangan mereka. Karena kalau ternyata pendapat dan pandangan itu salah, orang akan beranggapan bahwa yang salah adalah hadis. Sebenarnya yang salah bukan hadis, melainkan pemahaman orang tersebut terhadap hadis.[]

Wallahu a’lam.

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt