DARI BALIK PINTU
Diam-diam,
kau ludahi keberangkatan
Hutang piutang bergelantungan di gagang pintu
Derit pintu dan lengking nyeri kaupilin mati di dalamnya
Kau melangkah, lalu sebutir isak menetas dari lubang kunci
Jika rantau adalah batu asahan, haruskah kepulangan berumah di tajam mata
pedang
Sungai terbakar di telapak tangan ; puisi mendidih di tungku ibu
Bukik Batabuah, 21 April 2016
MEREKA TUNDA KEPULANGANMU
I.
Mereka tunda kepulanganmu
Kakimu terbenam di kota mati
Kota dengan nanah vagina di dalamnya
Sajak-sajak kepulangan telah rampung di punggungmu
Barangkali cuma kelewar atau pelacur-pelacur itu
yang paling mengerti getir pilu dalam ranselmu
II.
Mereka tunda kepulanganmu
Kau kepalkan tangan di makam pahlawan
Seorang gadis telanjang menghampirimu
Aduhai payudaranya ranum dan sintal
Tapi sayang tak ada garuda di dadanya
Barangkali cuma pagar atau tembok kuburan itu
yang paling mengerti pucat nasib di dadamu
III.
Mereka tunda kepulanganmu
Pesawat terlambat beberapa jam
Jenazah ibumu tinggal ditanam
Barangkali cuma arloji atau tiket pesawat yang basah itu
yang paling mengerti kelat rindu di tanganmu
IV.
Meraka tunda kepulanganmu
Seperti lilin menunda padam
Seperti mata menuda pejam
Barangkali cuma sumbu lampu atau lampion
yang paling mengerti kematian para laron
Bukik Batabuah, 18 April 2016
TIGA HURUF DI UJUNG TEMBAKAU
Lorong
gelap itu melarung pekikmu jauh-jauh, menampung lolongmu penuh-penuh
Sepanjang raung meradang dari masa silammu, sepanjang itu pula ruang merenggang
di dadaku
Jika sayatan lukamu adalah jalanan paling liku, haruskah aku bersajak di kaki
para pengembara
Sementara aku tahu mata pisau belum disarungkan; tajam belum ditumpulkan
Selepas meraung, kau tertawa getir seperti biola digesek tengah malam
Kau
iris jalan menjadi tebing, tangismu meminta pipi paling curam
Salak anjing mendadak suluk, sunyi memiuh bulan, pilu menggantung seperti
kelelawar
Kau kelambu di tengah surau, kau pucat di kening langit, kau goa di tepi lembah
Kau duduk di batu, ujung gaunmu menjulai basah, sedihmu berkecipak ke tepian
telaga
Sedu menyisir rambutmu rapi-rapi, isakmu menjelma iklan shampo, o kenangan
tergerai panjang
Kau
lempar jala ke tengah-tengah, ratusan ikan terperangkap nanar dalam matamu, o
telaga
Kubaca lagi sajak-sajakmu di telaga, di tebing, di lorong, disemua pekikmu
pernah singgah
Kubaca sajakmu sebagai lagu, menjadi dengung, menjadi dendang, menjadi dongeng
Kudengar desis ular dalam sajakmu, ular itu mematuk dadaku berkali-kali
“Kita hanyalah mimpi penyair yang tak tau caranya tidur”
Sekarang kau tersenyum merayakan sekuntum sumpah telah mekar di pangkal lidahmu
Lukamu sehijau pilu di pucuk pinus; jatuh sehelai daun, tumbuh sehutan lamun
Tangis mengekal; kau membadai sepanjang zaman.[]
Bukik Batabuah, 12 Maret, 2016
Leave a Review