Kiai Affandi
Dari dunia pesantren, santri mengenal kata hijrah biasanya pertama kali dalam pembelajaran hadis. Dalam pembahasan kitab Al-Arba’in An Nawawiyah. Dalam hadis pertama dari kitab 40 hadis sahih pilihan yang masyhur itu. Ya, Imam Muhyiddin Yahya bin Syarifuddin Annawawi (Imam Nawawi) menjadikan hadis dengan teks hijrah ini sebagai pelajaran pertama dalam kitab tersebut. Mengingat substansi hadis ini adalah hubungan antara niat (motivasi) dan amal (aksi).
Relasi Motivasi, Aksi dan Tujuan
Redaksi hadis di atas dengan lugas menjelaskan bahwa setiap amal/aksi itu tergantung dengan motivasinya masing-masing. Amal orang perorang itu tergantung dengan motivasinya masing-masing. Jika motivasi aksinya adalah Allah dan rasul-Nya, maka amalnya itu akan bernilai bagi Allah dan rasul-Nya. Namun, jika motivasi aksinya bukan karena Allah dan rasul-Nya, maka amalnya tak akan bernilai bagi Allah dan rasul-Nya. Sekalipun ia beraksi bersama Rasulullah dan dalam rangka tujuan Islam.
Hijrah yang disinggung di dalam teks hadis ini adalah contoh kasusnya. Hijrah dimaksud adalah aksi perpindahan Rasulullah yang diikuti umatnya dari Makkah ke Madinah dalam rangka tujuan Islam kala itu. Lewat hadis ini ditegaskan bahwa meskipun seseorang itu bermigrasi bersama Rasulullah dan dalam rangka kesuksesan Islam, hijrahnya itu belum tentu bernilai amal bagi Allah dan rasul-Nya. Sebab, mungkin saja modus migrasinya itu bukanlah Allah dan rasul-Nya. Mungkin saja hijrahnya itu adalah modusnya harta dan tahta dunia atau wanita.
Sekalipun amal itu dinyatakan atas nama Allah dan rasul-Nya, jika motivnya bukan Allah dan Rasulullah, maka amalnya tak akan bernilai bagi Allah dan rasul-Nya. Begitupun sekiranya jika aksi itu tidak diatasnamakan Allah dan rasul-Nya, namun motivnya adalah Allah dan rasul-Nya, selama tidak berlawanan dengan hal yang prinsip, maka amalnya bernilai di sisi Allah dan rasul-Nya. Dan barang siapa beramal/beraksi dengan motiv Allah dan rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan apa yang diniatkannya melampaui beramal untuk dunia atau wanita. Beramal Allah dan rasul-Nya.
Ya, lewat hadis ini juga ditegaskan hubungan niat dalam dengan migrasi. Juga ditegaskan, meskipun secara tersirat, bagaimana bentuk tujuan dari migrasi yang motivasinya Allah dan rasul-Nya itu. Ya, sebagaimana terdapat dalam hadis lain atau dalam ayat-ayat al-Qur’an, tujuan erat kaitannya dengan migrasi. Apalagi migrasi karena Allah. Mereka yang bermigrasi karena Allah atau di jalan Allah, akan mendapatkan tujuan yang gilang gemilang.
Boleh dikatakan, migrasi merupakan syarat dalam mendapatkan tujuan. Apalagi tujuan itu untuk perjuangan agama Islam atau perjuangan di jalan Allah. Sebagaimana banyak dicontohkan oleh pendahulu baik dari para nabi, para wali maupun para kiai. Mereka yang mendapatkan tujuan dalam perjuangan yang gilang gemilang adalah mereka yang melakukan migrasi yang berat dan bahkan penuh tirakat. Contoh untuk ini bisa kita lihat tujuan migrasi dalam sejarah perjuangan Pondok Pesantren Nurul Huda (PPNH) Sukaraja. Sebuah perguruan Islam berbasis literasi Salafi Sunni Syafi’i berbasis petani migran Jawa berorientasi transformasi masyarakat di kawasan wilayah bagian selatan Sumatera.
BacaJuga: Sekolah PERTI di Sumatera Selatan
Potret PPNH Sukaraja, Pesantren Transmigran
PPNH Sukaraja memang didirikan oleh tokoh dari keluarga masyarakat Jawa yang melakukan migrasi secara terprogram ke Sumatera. Program yang bernama transmigrasi itu salah satu daerah tujuannya di Provinsi Sumatera Selatan adalah Belitang yang kini masuk ke dalam Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Kiai Affandi, Pendiri PPNH Sukaraja, mengikuti keluarga besarnya bertransmigrasi ke Belitang. Kelahiran Jember 71 tahun lalu ini sejak usia lima tahun telah merasakan bagaimana kerasnya perjuangan masyarakatnya sebagai petani yang bermigrasi dari Jawa Timur ke Sumatera Selatan.
Mulai dari merasakan bagaimana susahnya bapak dan ibunya ikut babat alas yang masih banyak tunggulnya itu untuk digunakan sebagai lahan persawahan. Merasakan bagaimana susahnya makan jagung yang diparut sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Hingga bagaimana susahnya perjuangan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik.
Tantangan tidak hanya dari luar lingkungan keluarganya. Justru yang terberat minimnya dukungan dari keluarganya. Bukan karena tak mau, tapi semata karena tak mampu untuk membantu. Dan itu semua, bagi Kiai Affandi justru dinikmati sebagai tangga sukses perjuangan. Hingga Kiai Affandi mondok di Pondok Pesantren Subulussalam Sriwangi pada tahun 1963 sampai tamat sebagai lulusan pertama Madrasah Diniyahnya pada tahun 1968.
Bahkan hingga mondok di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tahun 1969 dan tamat Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadiin pada tahun itu juga. Lalu meneruskan studi pada bacholoriat Fakultas Syariah Universitas Tri Bakti dan tamat tahun 1976, semuanya dilalui dalam jalan serba kekurangan sebagai anak keluarga transmigran Jawa di Sumatera.
Sewaktu mondok di Pesantren Sriwangi, Rais PWNU Sumatera Selatan ini harus berjuang ngelaju dari rumahnya di Desa Trimoharjo ke Desa Sriwangi. Ini mengingat dirinya harus juga membantu kedua orang tuanya di rumah. Membantu sang bapak untuk keperluan pekerjaan di sawah. Membantu sang ibu untuk keperluan berjualan cenil keliling dari desa ke desa hingga ke Desa Petanggan.
Selama di Pesantren Lirboyo juga demikian. Salah satu deklarator PKB di Sumsel ini juga mencari tambahan biaya dengan cara menerima upahan mengisi makna kitab kuning kepunyaan santri yang lain. Dengan jalan itu pula Kiai Affandi dapat menelaah kitab-kitab pelajaran di Lirboyo. Sebab, jangankan untuk membeli kitab, uang untuk makan sehari-hari saja sangat sering kekurangan. Namun, sekali lagi hal itu bukanlah alasan bagi Kiai Affandi untuk gagal dalam perjuangannya.
Pun demikian ketika Kiai Affandi mulai merintis perjuangannya di Belitang di tahun 1978. Dimana ketika para santri asuhannya yang mulai mengalami perkembangan justru ditashih ulang oleh tokoh senior di masjid desanya tempat ia mengabdi. Hal yang membuatnya memilih memindahkan aktivitas pengajaran ke rumah orangtuanya. Tak lama setelah itu, Kiai Affandi pun menerima tawaran dari Kiai Suhadi untuk migrasi ke Cahaya Tani. Lokasi dimana Kiai Suhadi telah merintis berdirinya Madrasah Tsanawiyah. Namun setelah dicheck, Kiai Affandi merasa lebih tertarik untuk migrasi ke Desa Sukaraja.
Tawaran migrasi ke Sukaraja ini diterima oleh Kiai Affandi bersamaan dengan datangnya tawaran ke Cahaya Tani dari Kiai Suhadi yang kala itu diminta oleh Kiai Affandi memberikan pengajian di Trimoharjo. Oleh Haji Mustamar yang mengantarkan Kiai Suhadi, Kiai Affandi mendapatkan pesan, kalau tidak jadi ke Cahaya Tani nanti, agar Kiai Affandi ke Sukaraja saja.
Baca Juuga: Syekh H. Anwar: Ulama Besar dari Ujung Utara Sumatera Selatan
Begitulah, Kiai Affandi pada tanggal 9 September 1980, empat puluh tahun yang lalu, akhirnya migrasi dari Trimoharjo ke Sukaraja. Bersama istri dan anak sulungnya yang baru lahir. Diikuti oleh 14 santri yang telah didiknya sejak dua tahun sebelumnya di Trimoharjo. Salah satu dari santri itu adalah H. Tasdiq yang kini ditugaskan Kiai Affandi memimpin PPNH Sukaraja. Tokoh yang sehari-harinya juga bertugas sebagai Kepala KUA Kecamatan Buay Madang ini tidak sendiri terkait migrasi PPNH Sukaraja ini. Bahkan, selain yang ikut berjuang di dalam lembaga PPNH Sukaraja, juga banyak yang mengabdi di luar NH bahkan di luar daerah. Termasuk di Kabupaten Rejang Lebong dan Provinsi Bengkulu, teristimewa di lingkungan Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong. Hal ini tentu tak terlepas dari barkah sanad keilmuan PPNH Sukaraja dengan Pesantren Sriwangi dan Pesantren Lirboyo.
Hal yang menjadi fokus aksi migrasi model Kiai Affandi lewat PPNH Sukaraja ini adalah pengembangan literasi Salafi Sunni Syafi’i model pesantren yang Jawa yang terakses bagi masyarakat Sumatera. Bagaimana pengajian kitab kuning bisa dalam dan luas diakses sedemikian rupa secara sukarela oleh masyarakat di Sumatera Selatan. Pilihan model gerakan Kiai Affandi inilah yang belakangan diistilahkan oleh Kiai Sholeh Hasan sebagai Pendidikan Salafiyah Plus PPNH Sukaraja. Sebuah model pendidikan keagamaan berbasis pembelajaran kitab klasik yang terbuka terhadap langkah-langkah inovasi. Inovasi yang bertujuan meningkatkan kelancaran pendidikan salafiyah itu sendiri. Inovasi yang utamanya berupa penyelenggaraan pendidikan umum atau formal.
Kini, memasuki usia 40 tahun perjuangannya, PPNH Sukaraja tengah dalam proses mengembangkan perguruan tingginya. Dari bentuk STKIP Nurul Huda menjadi Universitas Nurul Huda dengan program studi terdiri dari Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Fisika, Pendidikan Guru MI dan Pendidikan Teknologi Informasi. Hal yang sejak tahun 1995 telah dirintis oleh Kiai Affandi bersama Kiai Sholeh Hasan. Sebelum itu, salah satu perguruan swasta terbesar di Sumatera Bagian Selatan ini juga telah membangun kelembagaan pendidikannya sejak dari RA, MI, MTs, SMP Terpadu, MA, SMK dan SMA Terpadu.
Semoga Allah senantiasa memberikan tambah barkah bagi perjuangan PPNH Sukaraja. Baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Baik bagi dunia pesantren di Sumatera secara umum. Maupun dunia pesantren di Komering secara khusus. Terutama sebagai salah satu lokomotif literasi Salafi Sunni Syafi’i. Terutama bagi alumni yang telah berkiprah di berbagai lembaga termasuk di Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong. Mudah-mudahan, di era revolusi 4.0 dan di tengah masa pandemi Corona ini, PPNH Sukaraja diberikan petunjuk sebaik-baiknya untuk bisa melalui fase 40 tahun keduanya.[] Allahumma tambah.. Allahumma barkah.. Allahuma hijrah..
* Penulis adalah Ketua Ikatan Alumni PPNH Sukaraja (IKANUHA) yang juga Ketua Pimpinan Cabang Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Tarbiyah-Perti) Kabupaten Rejang Lebong ex officio Ketua Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong.
Leave a Review