scentivaid mycapturer thelightindonesia

Datuk Bangkit dan Penghina Nabi Muhammad

Datuk Bangkit dan Penghina Nabi Muhammad
Soenting Melajoe, No. 37 Hari Djoem’at 1919/ Dok. Addiarrahman

Penghina Nabi Muhammad Penghina Nabi Muhammad

Oleh: Addiarrahman*

Sudah lebih satu minggu, publik dihebohkan dengan pernyataan kontroversi presiden Prancis, Emmanuel Macron. Tidak tanggung, presiden Jokowi pun mengecam keras pernyataan Macron itu. Apa iya pernyataan Macron menghina agama Islam atau tidak, saya tentu tidak bermaksud mengulas ini di tulisan ini.

Hanya saja, kasus penghinaan terhadap nabi Muhammad SAW. bukanlah hal baru. Pada tahun 1919, di kota Padang tersebar buku yang isinya menghina Nabi Muhammad saw. Akibatnya, terjadi konflik antara umat Islam dengan orang Kristen dari Tapanuli.

Soenting Melajoe, No. 37 Hari Djoem’at 1919

Baca Juga: Dialektika Ulama Minangkabau: Polemik Haji Rasul

Antara Pembela dan Penghina

Pada koran Soenting Melajoe, No. 37 Hari Djoem’at 1919, Mahjudin Dt. Sutan Maharaja selaku pimpinan majalah ini menulis artikel bersambung dengan judul “Dalam Karangan Ini Adalah Poela jang Akan oentoek Toekoek Tambah Pengetahoewan Pembatja jang Beloem Mengetahoei”.

Artikel ini adalah respons Dt. Sutan Maharaja atau Dt. Bangkit terhadap buku yang berisi penghinaan terhadap nabi Muhammad saw. Padahal saat itu telah berdiri sub komite “Tentara Kantjeng Nabi Mohamad” sebuah sayap organisasi yang didirikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto di Jawa. Bertindak sebagai Ketua sub komite itu adalah Soetan Poetih dan penasehatnya, H. Abdullah Ahmad.

Dt. Bangkit mempertanyakan ke mana “Tantara Kantjeng Nabi Mohamad” saat ada buku yang isinya menghina Nabi Muhammad saw? Berikut saya kutip pernyataan lengkap Dt. Bangkit.

Jang mengherankan orang dan terbit pertanjaan dalam hati orang, mengapakah sub comite tantara nabi Mohamad di Padang ini berdiam diri sadja, mengapa tidak ditjetak poeia boekoe disijarkan kian kemari penjatakan kepoedjian atas nabi Mohamad atau penjatakan nabi Mohamad itoe baroe sekali beroleh kepoedjian, dengan ditjeriterakan nabi Mohamad dari moelai lahir kedoeni sampai wafat jaitoe tjeritera jang seloeroesnja, pebilangkan tjatjat-tjatji atas nabi itoe oleh orang Batak Christen.

Kita belajar kearifan dari cara Dt. Bangkit merespons penghina Nabi Muhammad saw. Tidak kurang dari tiga nomor Soenting Melajoe (37-39) mengulas sejarah Nabi “oentoek toekoek tambah pengetahoewan pembatja jang beloem mengetahoei”. Saat menjelaskan “Apa sebab orang kasihan kepada nabi sedjak dari masa ketjil sampai kepada roemadjam poetera dan sampai kepada soedah beroemoer 25 tahoen”, Dt. Bangkit menjelaskan:

Masa nabi lagi ketjil telah di hibai orang, begitoepoen setelah lepas dari soesoe dan telah moelai besar, sedikit, teroes dihibai dan dikasihani orang sebab amat baik lakoe perangai dan pekerti, hingga sangat sekali dikasihi orang, melainkan amat dibentji oleh pak ketjil sendiri bernama Aboe Djahil.

Aboe Djahil memang telah mati. Tapi dia hidup dalam kejahilan yang lain. Adalah wajar hati menjadi panas mendengar hinaan dan cacian terhadap sosok yang kita cintai. Namun, membalasnya dengan hal serupa bukanlah cara yang tepat untuk mengekspresikan rasa cinta itu.

Baca Juga: Ketika Nabi Berhutang dan Pendeta Yahudi Masuk Islam

Siapa Dt. Bangkik?

Kecil bernama Mahyudin, besarnya bergelar Dt. Soetan Maharadja. Dia lahir di Sulit Air, 27 November 1860. Belajar hukum di sekolah Belanda, Mahyudin sempat menjadi jaksa di Pariaman. Tapi, dia lebih memilih menjadi jurnalis. Pelita Ketjil, Warta Berita, Oetoesan Melajoe, Soenting Melajoe, Soeloeh Melajoe di antara pers yang dipimpinnya. Sarjana Belanda, B.J.O Shrieke menyebutnya The Father of Malay Journalism, jauh sebelum Tirto Adhi Soerjo dianugerahi sebagai Bapak Pers Nasional. Atas usahanya membangkitkan Adat Alam Minangkabau, dia diberi julukan Dt. Bangkik.

Saat memimpin majalah Pelita Ketjil dan Oetoesan Melajoe, Dt. Bangkit acapkali berseteru dengan “kaum tua” yang menentang adat Minangkabau, seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tapi, di usianya yang tua, dia pun dianggap sebagai “kaum tua” oleh “kaum muda” seperti Abdullah Ahmad. Namun yang pasti, Dt. Bangkik konsisten mempertahankan adat Minangkabau sejalan dengan semangat “kemadjoean”, seperti dijelaskan Taufik Abdullah dalam Modernization of Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of Twentieth Century, 1972.

Penting juga dicatat, melalui surat kabar yang dia terbitkan, Dt. Bangkit juga menjadi penggerak ekonomi perempuan di Minangkabau awal abad ke-20. Tahun 1909, dia mendirikan sekolah menjahit untuk perempuan, “the Padangsche Weefschoolí”. Sekolah inilah yang menjadi inspirasi berdirinya Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang (1911), Andeh Setia di Sulit Air (1912), Andeh Sakato di Payakumbuh (1913), dan di nagari-nagari lainnya. (Satu tulisan sedang saya siapkan khusus membahas tema ini).

Tanggal 27 November 2020 nanti adalah kita memperingati hari lahir Dt. Bangkit yang ke-160. Wafat pada 24 Juni 1921, Dt. Bangkik tidak hanya mewariskan kebudayaan tulisan, tapi juga budaya kebangkitan tanpa melupakan akar tunggang di mana kita tumbuh.

Jambi, 02 November 2020

*Dikrektur Eksekutif Bersama Institute

Addiarrahman
Dikrektur Eksekutif Bersama Institute