Minangkabau Tak Kehilangan Harapan
Oleh Rony Ramadhan Putra (Danyputra)
Berlebihan sepertinya jika saya beranggapan bahwa Perang Padri Jilid II akan terjadi lagi. Pasalnya sederhana, saat ini entitas Minangkabau kembali dijajah oleh paham Wahabi yang sempat memengaruhi Haji Masakin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang (Azra, 2004).
Menimba pengalaman di Makkah tahun 1803, ketiga tokoh yang baru saja mendapat ‘hidayah’ pulang ke kampung halaman. Sayangnya bukan membawa ilmu keislaman yang rahmatan lil ‘al-amin, salah seorang di antaranya justru tersulut emosi yang mengakibatkan konflik fisik tak dapat terelakkan, dipicu aksi pembakaran balai adat oleh Haji Miskin di Kampung Pandai Sikek. Perang pun memakan korban yang tidak sedikit.
Lain lubuk lain ladang. Lain dulu lain sekarang. Di era post-truth, ekspansi Wahabi terhadap identitas keminangan terulang kembali, bahkan tampak lebih massif. Paling tidak dibuktikan melalui channel YouTube Minang Bertauhid. Ciri khas sekte ini adalah sikap intoleran terhadap kearifan lokal masyarakat setempat.
Saya mengamatinya cukup lama. Sebagai keturunan Minang, saya menyimpan keresahan, menyaksikan realitas kaum yang mendompleng “dakwah sunnah” dan penyebaran ajaran mereka melalui grup keluarga, grup persatuan Padang dan lain-lain, serta tidak sedikit yang menjadi pengikut fanatiknya.
Baca Juga: Bertarekat, Perlukah?
Dari sini saya mulai berpikir. Sepertinya nuansa keminangan berangsur punah, diganti adat Saudi Arabia, terhapuslah nilai-nilai keluhuran “Datuk-Andung”. Generasi Minangkabau telah berakhir!
Namun perlahan waktu berjalan, hadir kabar sangat menggembirakan, dan saya bermunajat agar da’i muda yang saya sebut dapat menjadi penerus guru-guru besar Minang penghulu akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bermetode Asy’ariah dan Al Maturidiyah, bermadzhab Syafi’iyah serta tak meninggalkan tasawuf seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Yasin al -Fadani, H. Agus Salim, dan Buya Hamka.
Dia adalah Arrazy Hasyim, Da’i muda kelahiran Koto Tangah, Payakumbuh, Sumatera Barat, 21 April 1986, murid langsung K.H Mustafa Ali Ya’kub alm. (Eks Imam Masjid Istiqlal). Selain itu juga bersanad kepada ulama besar asal Suriah, Dr. Taufik Ramadhan al-Buthi, putra kandung Syekh Ramadhan al-Buthi rahimahullah.
Kajian Ustadz Arrazy kini menyebar di berbagai platform media sosial. Pemahamannya beririsan dengan UAS dan UAH, mengetahui perbandingan madzhab, tidak tekstualis dan saklek sebagaimana kaum Wahabiyah. Dengan kehadiran Urang Awak Mudo mudah-mudahan eksistensi Minangkabau dapat bertahan selama-lamanya, menjunjung tinggi falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi ka Kitabullah”.
Saya ulang-ulang kalimat ini sebab jujur saya belum tahu makna sebenarnya, takkan didapati di saluran Minang Bertauhid, dan yang cukup penting dari pemikiran Arrazy Hasyim ialah kebolehan mempejalari agama dimulai dari ma’rifat, tarekat, hakikat, dan syari’at, setelah sebelumnya kita diajari segala sesuatu bermula dari syari’at dulu.
Ia beralasan kesibukan dan beban kerja di zaman modern membuat kita kesulitan meluangkan banyak waktu untuk duduk, diam, berwirid, semisal Syekh Abdul Qadir Jailani yang mampu beribadah ritual dari Isya tanpa henti hingga subuh hari.
Baca Juga: Paderi vs Wahabi: Catatan Surau Mengenai Paham Keagamaan Ulama Paderi
Demikianlah. Setiap kematian ulama, akan digantikan oleh ulama penerus matarantai keilmuan pendahulunya, meski muncul fitnah di tengah-tengah seperti menjalarnya aliran Wahabi Najd yang masuk ke ranah Jam Gadang. Minangkabau tak kehilangan harapan!
Leave a Review