Di antara hal yang menjadi ciri khas pendidikan di sekolah-sekolah agama yang kemudian dikenal dengan sebutan Madrasah Tarbiyah Islamiyah adalah sebagian besar buku-buku ajarnya yang berbahasa Arab. Buku ajar tersebut berupa kitab-kitab yang masyhur di kalangan umat Muslim penganut mazhab Syafi’i dan beraliran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Di antara yang terkenal adalah Fath al-Mui’n, Matn Ajrumiyah, Qatru an-nadaa, Idhah al-Mubham, Tafsir al-Jalalain, dan lain sebagainya. Buku-buku ini biasa disebut kitab kuning dan memang lazim dipakai di lembaga-lembaga pendidikan pesantren lain di seantero nusantara.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa cara lain untuk membicarakan lebih lanjut soal ciri khas selain dari sisi tema dan topik masalah yang dibahas di masing-masing kitab tersebut?
Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang menuntut ilmu di salah satu madrasah Tarbiyah Islamiyah sekitar dua dasawarsa yang lalu, pembicaraan tersebut dapat dilanjutkan melalui jalur bahasa. Di sini bahasa pertama-tama dipahami secara sederhana sebagai medium penyampai pesan: bahasa sebagai alat komunikasi.
Beberapa kenyataan sesuai dengan yang penulis alami terkait dengan bahasa yang dipakai untuk mengomunikasikan pesan selama menuntut ilmu di Madrasah Tarbiyah Islamiyah adalah sebagai berikut:
Madrasah tempat penulis belajar terletak di pinggiran kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Masyarakat di sana memakai bahasa Minang sebagai bahasa pengantar pergaulan sehari-hari. Di sisi lain, penulis lahir dan menghabiskan masa kecil di desa yang juga tak jauh dari pinggir kota Bukittinggi. Kenyataan ini menjadikan bahasa Minang sebagai bahasa-ibu penulis.
Ketika penulis mulai belajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah selepas pendidikan dasar, bahasa pengantar belajar-mengajar adalah bahasa Indonesia pasaran sebagaimana yang dipakai dalam percakapan sehari-hari yang non-resmi. Bahasa Indonesia ini kental dengan logat Minangkabau yang salah satu cirinya adalah tidak memiliki fonem “e” lemah seperti yang ada pada kata “semut”. Semua fonem “e” dibunyikan seperti dalam kata “ember.” Sementara kitab-kitab berbahasa Arab yang dipelajari tidak diajarkan menggunakan bahasa Arab. Para ustazd dan ibu guru memberikan penjelasan tentang suatu bahasan dalam satu kitab menggunakan bahasa Indonesia pasaran. Penjelasan biasanya diberikan setelah satu atau beberapa petikan dari kitab yang tengah dibahas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dialek khas Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Bahasa Indonesia yang khas ini berbeda jauh dari bahasa Indonesia yang baku karena harus mengikuti aturan tata bahasa bahasa Arab yang jadi bahasa asli kitab-kitab yang dipelajari. Kalimat yang terdiri dari subjek, predikat dan objek semisal “dharaba Zaidun ‘Amran” diterjemahkan menjadi “Telah memukul si Zaid akan si Umar,” bukan “Zaid memukul Umar.” Terjemahan pertama adalah contoh bahasa Indonesia dengan dialek khas Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Contoh lain adalah kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat non-kata kerja seperti “Al-kalamu huwa lafzun mufidun ka staqim” yang diterjemahkan menjadi “Sebermula kalam, baa lah bermula, adalah lafaz yang berpaedah seperti istaqim,” bukan “Kalam adalah lafaz yang berfaedah semisal istaqim.”
Besar kemungkinan Bahasa Indonesia dialek khas madrasah ini muncul dan dipertahankan dengan tujuan mempertahankan jejak gramatika bahasa Arab. Kitab yang dipelajari diterjemahkan sedemikian rupa sehingga di dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia tetap bisa dilacak unsur-unsur gramatikal bahasa Arabnya. Dalam contoh pertama, kata “telah” menunjukkan bahwa memukul adalah kata kerja dengan orientasi waktu masa lalu (fi’il maadhi) dan kata “akan” menunjukkan bahwa Umar adalah objek penderita (maf’ul bihi). Sementara dalam contoh kedua kata “sebermula” dipakai untuk menunjukkan kata yang sesudahnya adalah subjek (mubtada) dan kata “adalah” menunjukkan posisi gramatikal kata sesudahnya sebagai predikat (khabr). Bahkan ada pula yang menambahkan sebelum kata “adalah” ini dengan ungkapan “baa lah bermula” yang setengah bahasa Minang setengah bahasa Indonesia.
Agar menguasai Bahasa Indonesia dialek khas Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini harus dikuasai dulu ilmu nahwu (sintaksis) yakni ilmu yang mempelajari harakat (baris) huruf terakhir dari satu kata bahasa Arab dan ilmu sharaf (morfologi) yakni ilmu yang mempelajari perubahan bentuk dan harakat kata tersebut. Pada tataran praktik, keterampilan menerapkan ilmu nahwu dan sharaf ketika membaca kitab disebut keterampilan meng-i’rab. Mahir tidaknya seorang santri dalam membaca kitab dapat diukur lewat keterampilannya dalam meng-i’rab. Bahkan keterampilan tersebut dapat diukur hanya lewat terjemahan yang dia lakukan menggunakan bahasa Indonesia dialek madrasah Tarbiyah Islamiyah tadi. Jadi santri tidak melulu harus membaca teks gundul kitab yang dipelajari untuk mengetahui kemahirannya dalam menguasai kitab kuning.
Jika dilihat dari kronologi logis, penguasaan terhadap ilmu alat inilah yang terlebih dahulu harus dimiliki santri yang baru menempuh pendidikan di madrasah Tarbiyah Islamiyah. Setelah menguasai alat untuk membaca kitab kuning, barulah melangkah ke tahap selanjutnya mempelajari kitab-kitab dengan beragam pembahasan seperti fiqh, tafsir-hadits, tauhid dan ilmu kalam, akhlak-tasawuf, dan lain sebagainya.
Namun tidak demikian yang diberlakukan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah, setidaknya menurut pengalaman penulis. Pelajaran ilmu bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran lain diberikan secara paralel. Demikianlah, sebagai seorang bocah yang baru lulus SD, ketika mulai duduk di kelas 1 Madrasah Tarbiyah Islamiyah penulis langsung “dijejali” dengan beragam pelajaran yang buku ajarnya berbahasa Arab. Pelajaran disampaikan guru dengan cara menerjemahkan kitab bahasa Arab dengan bahasa Indonesia dialek Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan uraiannya disampaikan dengan bahasa Indonesia pasaran logat Minang.
Baca Juga: Menilai Ketepatan Berbahasa Arena dan Kuasa Simbolis
Beban belajar yang sebenarnya dipanggul murid madrasah Tarbiyah Islamiyah di tahun-tahun awalnya adalah belajar leksikon (menghapal kosakata) bahasa Arab sebagai bahasa-kedua, bahkan bisa dikatakan sebagai bahasa-ketiga setelah bahasa Indonesia. Makin sedikit kosakata yang dikuasai, makin blank seorang murid dalam mencerna pelajaran.
Sifat dasar dari cara belajar leksikal ini tentu berbeda dari cara belajar berbahasa seorang bayi. Pada tahap paling sederhana dan dasar seorang bayi menghapal satu kata dan perlahan menguasai makna dari kata tersebut dengan merujukkannya pada sesuatu yang lain. Proses perujukan ini biasanya dibantu dan diarahkan oleh pengasuhnya dengan menggiring perhatian visual dan audio si bayi terhadap sesuatu tersebut. Misalnya mengenalkan kata “bantiang” dengan mengarahkan pandangan si bayi Minang ke arah seekor sapi yang ada di kandang atau kata “guruah” dengan menggiring pendengarannya untuk menyimak suara guruh kala hujan lebat. Sedangkan proses penghapalan kosakata leksikal dalam tahap awal pendidikan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah dilakukan terhadap makna/arti lain yang juga sudah berupa kosakata, yakni kosa kata bahasa Indonesia khas dialek madrasah atau kosakata bahasa Minang.
Masalah yang kemudian harus direnungkan lebih jauh seputar proses belajar bahasa di Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini adalah apa ciri khas pemahaman terhadap pelajaran agama Islam di Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang diperoleh dengan cara yang dilukiskan tadi? Lebih jauh lagi bagaimana gambaran pemikiran keagamaan Islam yang lahir dari proses belajar yang demikian itu? Nampaknya masalah ini dapat dijawab setelah beberapa pertanyaan lain terjawab lebih dahulu, di antaranya: sesungguhnya ketika belajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah, seorang pelajar berpikir dengan bahasa apa? Apakah bahasa Arab, Bahasa Indonesia, ataukah bahasa Minang? Ini akan penulis jawab di lain kesempatan.[]
Leave a Review