Dialektika Teologi NU: Pergeseran dari Kanan ke Kiri?
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunni atau Aswaja) adalah aliran tengah (moderat) dalam konstalasi pemikiran filsafat dan teologi Islam. Ia mendamaikan perbedaan antara aliran kanan pemikiran Islam seperti kelompok Hanabilah dan Jabbariyah dengan aliran kiri Islam seperti Mu’tazilah dan Qadariyah.
Sebagai keniscayaan gerak pemikiran, di dalam Sunni atau Aswaja pun juga dapat terjadi percabangan. Jika Al Asy’ariyah adalah aliran kanannya, maka, Al Maturidiyah adalah aliran kirinya. Pun demikian di dalam Al Maturidiyah. Cabang Maturidiyah Samarqand bisa disebut kirinya Maturidiyah sementara cabang Bukhara disebut kanannya Maturidiyah.
Untuk lebih memperjelas pemahaman, memang perlu upaya secara lebih serius dalam memetakan secara sistematik atau skematik perkembangan pemikiran Islam hingga sampai ke nusantara. Sehingga lebih mudah pemahaman dan pembahasannya baik bagi mahasiswa maupun umum. Dan lebih maslahat bagi dinamika pengembangan dan kebangunan Islam Indonesia.
Jika kita telaah lebih lanjut dalam peta pemikiran Islam Indonesia, meski sama penganut Ahli Sunnah yang diidentikkan bercorak tradisionalis, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua varian yang berbeda tidak hanya sebatas pada persoalan letak geografis daerah asal kelahiran dan wilayah persebaran serta komunitas pendukung.
Baca Juga: Satu Muara Dua Sungai Perti dan NU Penjaga Aswaja di Indonesia
Yang pertama mendekati corak Al Maturidiyah Bukhara atau masih komit Asy’ariyah dan secara Mazhab Fiqhiyah memang hanya berpatokan pada Syafi’iyah semata sehingga nuansa ortodoksi (tradisionalis) yang kental mengecilkan kemungkinan terjadinya lompatan-lompatan pemikiran.
Sementara yang kedua, lewat dinamika kajian kaum mudanya sekarang, meski tidak secara umum, tengah mendekati corak (rasionalitas) Al Maturidiyah Samarqand dan memang secara Mazhab sebagaimana dalam AD/ART cendrung lebih terbuka. Meski secara mayoritas memang penganut Syafi’iyah sebagaimana tergambar dalam referensi pembelajaran yang diterapkan di pesantren-pesantrennya, namun kenyataan bahwa yang kedua ini secara organisatoris memang mengakui menerima pemberlakuan ketiga mazhab selain Syafi’iyah.
Meski berat diakui, terutama oleh kelompok tua NU, pergeseran teologi Aswaja NU dari Asy’ariyah ke Maturidiyah Samarqand (bahkan ada yang menengarai telah masuk posisi Muktazilah dengan kajian-kajian Islam Liberalnya beberapa tokoh muda NU) telah nyata terjadi meski hanya sebatas komunitas seperti anak muda NU yang berkembang lewat kultur hibrid PMII. Melalui berbagai institusi, baik yang secara formal maupun nonformal bersinggungan dengan NU, semisal P3M, LP3ES, Kelompok Kajian 164, LKiS, LKPSMNU Yogya, LSAD Surabaya, LAKPESDAM, WAHID Institute, DESANTARA, Freedom Institute dan JIL serta lainnya, dengan tema-tema “Kiri Islam”, “Islam Emansipatoris”, Islam Partisipatoris”, “Islam Transformatif”, “Post Tradisionalisme Islam”, “Islam Pribumi”, “Dekonstruksi Syari’ah”, “Dari Theosentrisme ke Anthrophosentrimse Transendental” dan “Dekonstruksi Aswaja”, adalah aktivitas nyata yang menunjukkan pergeseran itu. Disukai atau tidak, pergeseran itu telah memberikan pengaruh cukup signifikan bagi terciptanya harapan besar akan kebangkitan Islam Internasional melalui dinamika model Islam Indonesia.
*Tulisan ini pernah dimuat di Terbit di www.kabarbengkulu.com
Leave a Review