Tulisan “Dialektika Ulama Minangkabau” ini merupakan transkrip wawancara Buya Apria Putra Angku Mudo Khalis yang liputan oleh Kamil Muhammad dan ditranskrip oleh Devi Adriyanti dalam rangkai kegiatan: Kunjungan Anak Siak yang Tergabung dalam PASTI (Persatuan Anak Siak Tarbiyah Islamiyah) pada hari Jumat Tanggal 20 Juni 2020
Asssalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Teman-teman pendengar yang berbahagia.
Pada kesempatan kali ini kita akan mencoba membahas bagaimana dialektika ulama-ulama Minangkabau. Intelektualitas ulama Minangkabau di masa lampau itu sangat terbuka dan kemudian penuh dengan intrik dan diskurus. Namun ada diskusi kemudian ada muzakarah, kemudian saling berbagi pendapat dan sebagainya. Dan ini menarik untuk kita bahas sebenarnya. Bagaimana dialektika ulama-ulama di Minangkabau pada awal abad ke-20?
Setidaknya, ada 3 hal yang menjadi dialektika mereka, pertama adalah masalah rabithah dalam Tarekat Naqsabandiyah khalidiyah, kedua adalah bagaimana sifat 20 Aqidah As’ariyah, kemudian yang ketiga adalah masalah-masalah Furuiyyah Syariat seperti masalah qunut, masalah Basmalah dan lain sebagainya.
Nah, menariknya, dialektika ini melahirkan berbagai bentuk karya tulis yang menarik sekali. Mereka bukan hanya bertukar pikiran lewat tulisan akan tetapi berbagi pendapat lewat diskusi secara langsung face to face atau secara talaqqi. Mereka juga menuliskan gagasan mereka dalam bentuk kitab atau risalah. Kitab inilah yang tersebar kemudian ini menjadi penting sebagai sejarah Islam di Minangkabau.
Mengenai pertama masalah “Rabithah”. Rabithah adalah salah satu amalan dasar dalam tarekat Naqsabandiyah. Bagaimana “Rabitah” ini? “Rabitah” secara dasar bermakna bagaimana seorang murid memautkan hatinya dengan seorang guru. Di sini ada kedekatan kasih sayang, bagaimana kedekatan murid dengan gurunya. Nah, rabithah kemudian oleh sebagian kalangan dikenal, di kalangan sebagian ulama/ dipahami, sebagai bentuk bagaimana seorang itu membayangkan wajah guru di alam khayali (alam akal mereka). Kemudian ini yang menjadi pertentangan; apakah dalam hal itu dibolehkan oleh syarak atau tidak.
Sebagian kalangan menyatakan ini tidak boleh karena ini akan berimplikasi kepada akidah – bagaimana keyakinannya pada Allah Swt. Kalangan lain menyatakan bahwa rabithah ini adalah karena mengingat sesuatu atau sayang pada sesuatu akan bermakna akan menyembah sesuatu. Jadi ada dua hal yang saling berbeda. Nah, khazanah Islam dan dialektika itu terekam dalam kitab-kitab, diantaranya Syekh Khatib al-Minangkabawi. Beliaulah pertama kali mengkritik masalah rabithah ini. Beliau menuliskan kitab Izhar Khalil Kazibin, fi Tasyabbuhin Wasshadiqin. Judulnya cukup tajam (menyatakan kerancuan orang-orang yang pembohong yang menyerupai orang-orang benar). Jadi orang tarekat ini adalah orang bohong menurut sebagian beliau akan tetapi memakai pakaian seperti orang yang benar. Beliau membantah bagian rabithah. Jadi dikatakanlah bahwa ibadah kita ini memang harus kepada Allah SWT, tidak ada campur tangan yang lainnya, tidak boleh yang lainnya. Di dalam kitabnya ini, beliau berargumentasi rabithah itu nyata adanya bidah yang semestinya dihilangkan di kalangan tarekat.
Kemudian risalah beliau ini ditulis sekitar, tahun 1906 dicetak kemudian dibawa ke Padang (Minangakabau) kemudian tersebar dan ini kemudian menyebabkan kondisi jadi hiruk pikuk. Banyak orang membicarakan masalah ini. Kemudian seorang ulama besar di Makkah mengkritik ini karena sudah menjadi amalan-amalan dari ulama di Minangkabau itu sendiri. Dan ini menjadi perpecahan di tengah masyarakat yang sangat pro dan sangat terpaut dengan argumentasi Syekh Ahmad Khatib. Kemudian, menyatakan orang yang memakai rabitah seperti orang-orang yang menyembah berhala, menyembah guru. Akan tetapi, kalangan lain menyatakan mendukung bahwa ulama Syekh Ahmad Khatib keliru dengan penyampaiannya.
Nah, gayung bersambut, kitab Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, “Izhar Khalil Kazibin fi Tasyabbuhin” ini kemudian mendapat jawaban dari seorang ulama, yaitu Syekh Ahmad Sa’ad Al-khalidi Mungka, yakni kitabnya yang berjudul, Irzamul Nufil Mutamnikin fi Ingkarin Rabitathal Washilin. Ini juga judulnya tajam kenapa karena di dalamnya itu disebutkan “Irzamul Mutaamnikin (meremukkan hidung penantang mereka yang mengingkari rabithah orang-orang yang telah wushul sampai kepada Allah SWT.
Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Syekh Ahmad Khatib ini rancu menilai dan memaknai rabithah ini. Rabitah ini bukanlah seperti yang dipahami oleh Syekh Ahmad Khatib. Dan memang secara kenyataan bahwa Syekh Ahmad Khatib menonjol dalam bidang Fikih dan Ushul Fikih bukan sebagai orang yang mumpuni membicarakan masalah-masalah tarekat. Risalah ini kemudian dibawa ke Makkah, sampai kehadapan Syekh Ahmad Khatib. Dan Ahmad Khatib-pun membaca dan kemudian Syekh Ahmad Khatib membalas dengan judul karangannya adalah Al-ayatul Bayyinat lil-Munfishin, karangan ini kemudian dibawa lagi ke Minangkabau kemudian dibalas lagi oleh Syekh Saad Mungka dengan kitabnya Tanbihul Awwam ala Taghri lil Anam. Nah, sampai di sini akhirnya dua ulama ini berhenti (berdebat).
Suatu ketika pada tahun 1918, Syekh Sa’ad Mungka datang ke Makkah. Di sanalah beliau bertemu antara Syekh Saad Mungka dengan Syekh Khatib al-Minangkabawi. Bertemu tampa seolah-olah tiada terjadi diantara mereka pertentangan atau perdebatan dalam kitab yang telah mereka tulis tadi itu.
Syekh Khatib al-Minangkabawi akhirnya rujuk (kembali). Ini menurut siapa? Ini menurut murid salah seorang murid Syekh Ahmad Khatib yakni Syekh Muhammad Said Bonjol. Beliau menyatakan, ketika di Makkah menyaksikan bahwa dia (Syekh Ahmad Khatib) salah seorang yang telah bertarekat. Ini terbukti dalam karangan beliau yaitu “Maslakul Khazibin” di sanalah Syekh Ahmad Khatib menulis, bagaimana bai’at dan bagaimana seorang itu mengamalkan tarekat? Artinya apa? Beliau pun kemudian adalah seorang Sufi, Syekh Khatib al-Minangkabawi as-Syufi as-Syafi’i al-Asyari.
Kemudian masalah kedua, masalah sifat 20 Akidah Asy’ariyah. Walaupun secara umum, ulama-ulama di Minangkabau berakidah dengan Asy’ariyah mengikut pada kalam Imam Sanusi, di dalam Kitab Ummul warahin dan Syarahan Ummul Warahin, kemudian ada beberapa orang ulama yang mencoba untuk mengkritisi sifat 20. Lalu apa katanya: kenapa sifat Allah itu sampai 20? Bukankah Allah bersifat kesempurnaan yang tidak berbilang kesempurnaan Allah SWT, dan kebesaran oleh Allah SWT? Kenapa sampai hanya sampai 20 saja? Nah, seorang ulama dari Sumpur itu menulis untuk mengkritik sifat 20. Dikatakan bahwa sifat 20 ini adalah buatan Imam Sanusi. Tidak seperti pemikiran Imam Asyari lainnya seperti Imam Al-juwaini, Imam Al-Ghazali yang tertulis dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, dan lain sebagainya. Kemudian karangan ini tersebar kemudian menimbulkan diskusi di tengah masyarakat.
Kemudian, salah seorang ulama di Makkah ulama asal Bukittinggi, bernama Syekh Jinan Thayyib menjelaskan duduk perkara dari masalah sifat 20. Maka ditulisnya sebuah kitab, namanya Al-Muhmatussyakham fi Radhi ma Angkara Ilmal Kalam. Jadi beliau betul-betul hendak mengkritisi bagaimana kedudukan aqidah ay’ariyah itu dengan sebaik-baiknya. Kitab ini kemudian dicetak di Mesir dan tersebar di Minangkabau. Dan Kitab ini menjadi sebuah pegangan ulama-ulama yang ada di surau.
Ketiga, masalah Furu’ Asyariah. Ada beberapa pasal yang menjadi bahan diskusi atau dialektika. Salah satunya adalah masalah furuiyyah yakni masalah qunut. Qunut subuh, bagaimana kedudukan qunut subuh ini. Perlu kita garis bawahi bahwa di kalangan ulama Minangkabau mereka adalah ulama yang bermazhab dengan Mazhab Syafi’i, bahwa hukum qunut subuh itu adalah sunat muakad, yang apabila seandainya tinggal tidak melakukan qunut saat salat subuh, maka diganti dengan sujud sahwi.
Salah seorang ulama Kaum Muda, yang sering merujuk ketika pembaharuan-pembaharuan Islam di Minangkabau adalah Haji Rasul (Ayahnya Buya Hamka). Beliau pada tahun 1925, pergi ke Pekalongan ikut konferensi Muktamar Muhammadiyah, kemudian membawa Muhammadiyah ke Minangkabau. Kantor pertamanya adalah di Sungai Batang.
Nah, bagaimana Mawaqif atau posisi beliau dalam masalah qunut? Beliau menulis buku yang berjudul Asyir’ah Firradhi Ma’a ala Man Qala ala Qunut Fishubhi Bid’ah. Jadi beliau menulis buku tentang bagaimana bahwa qunut subuh itu adalah sesuatu yang merupakan sunat tapi bukanlah dia bidah. Dan buku ini juga menjelaskan bahwa Basmalah itu adalah bagian dari surat al-Fatihah bukan merupakan ayat tambahan di luar surat al-Fatihah. Nah dalam buku ini beliau menegaskan bahwa posisi beliau, walaupun sebagai pioner sebagai ulama pembaharu yang sangat terkenal sampai gaungnya itu ke sampai ke negeri lain, Malaysia, sampai ke Makasar dan di Jawa pun namanya menjadi besar karena majalah Almunir yang beliau asuh beliau tetap ulama yang teguh bahkan ulama yang membela kedudukan qunut subuh sebagai suatu yang sunat bukan bid’ah. Beliau pun kemudian mempertegas bahwa Basmalah di dalam al-Fatihah itu adalah bagian dari ayat bukan sebagai aib, atau tambahan sebagai pemisah dari surat.
Nah begitu diantara dialektika dan menarik sekali sebenarnya kalau kitab-kitab ini akan dibahas secara utuh, sehingga kita mendapatkan gambaran bagaimana kedudukan ulama Minangkabau itu? Kalau ada orang berkata “membangkik batang tarandam”, kembali ke surau, maka seharusnya kita kembali ke surau dengan pemahaman dari ulama-ulama kita ini. Membangkik batang tarandam dengan mambangkik ilmu yang telah dituangkan oleh ulama-ulama itu dalam khazanah tulisan mereka sendiri. Bukan yang lain-lainnya.
Kita kutip di akhir ini dengan salah satu dengan salah syair, Fatasyabbahu ila Takununu Mislahum inna Tasyabbuha bir Rijali Fallahun. Hendaknya kita menyerupai ulama-ulama ini walaupun kita tidak bisa menyerupai ilmu yang mereka dapatkan, maka hanya dengan menyerupai mereka maka itu adalah merupakan sebuah kemenangan bagi kita.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabaraktuh
Buya Apria Putra Angku Mudo Khalis
Leave a Review