scentivaid mycapturer

Dialog dan Upaya Menemukan Corak Pemikiran Politik Arab

Ilustrasi/Dok. Istimewa

Hanafi dan Al Jabiri mencoba mendialogkan pemikiran dan berbagai macam ideologi yang berkembang di Arab. Semua itu dilakukannya untuk menemukan pemikiran yang “pas” untuk masyararakat Arab. Kadang mereka sepakat, tapi banyak hal mereka berseberangan.

Sudah berlalu sesi pertama dari ulasan buku Dialog Timur Dan Barat Menuju Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter. Sekarang saya akan mencoba masuk pada sesi kedua. Seperti yang disinggung juga di ulasan yang pertama, bahwa pada sesi kedua ini saya akan mencoba membahas bagaimana konsep pemikiran yang dibangun oleh Hasan Hanafi dan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri untuk menyatukan negara Arab, pemikiran yang cocok dengan kondisi sosial masyarakat Arab (Arabisme), apakah itu Islam, Liberalism, Sekularisme, Marxisme, Sosialisme, atau konsep-konsep pemikiran yang lain.

Untuk yang pertama, Fhaisol Jalul dalam Prawacana: Menuju Cakrawala Kritik dan Dialog, mengatakan bahwa Islam merupakan komponen Arabisme (Nasionalisme). Namun kaum fundamentalis yang ada di Arab menolak pernyataan tersebut dengan alasan bahwa nabi tidak pernah berbicara tentang nasionalisme Arab. Jika dilihat dari deskriptif dialog yang dilakukan oleh kedua narasumber dari awal sampai akhir, Islam sebagai kepercayaan sangat mempengaruhi masyarakat Arab, cara berpikir, kebudayaan, politik, dan lain-lain.

Baca Juga: Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta

Berangkat dari hal tersebut, Hanafi dan Al Jabiri mencoba memeriksa konsep-konsep pemikiran yang datang dari Barat supaya tidak merta-merta langsung diterima atau ditolak oleh orang Arab, seperti: Sekularisme, liberalisme, demokrasi, Marxisme, dan semacamnya.

Dalam melakukan pekerjaan tersebut Hanafi dan Al Jabiri juga mendapatkan dikritik dari beberapa tokoh, semisal kritikan yang diajukan oleh Dr. Abdullah Bunfur. Ia mengatakan, Hanafi dan Al Jabiri lebih banyak melakukan pemaksaan pemikiran. Keduanya narasumber seakan ingin menjadi penyelamat dunia Arab yang terbelakang, Arab yang butuh dicerahkan. Meskipun begitu, dialog yang dilakukan oleh kedua narasumber telah memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran, kebudayaan, serta memberikan gambaran terhadap kondisi sosial Arab, semisal ideologi yang berkembang dan bagaimana orang Arab meresponnya.

Arabisme merupakan semangat nasionalisme yang mengakar di Arab yang ditandai dengan gerakan Nasserisme 1954 dan terus berkembang hingga 1970. Seperti yang telah saya sebutkan dalam ulasan yang pertama bahwa gerakan Nasserisme tidak bertahan lama karena meninggalnya sang tokoh, Muhammad Abdel Naser. Hanafi dan Al Jabiri mengatakan bahwa gerakan Nasserisme hanya periode sejarah. Ia bukanlah konsep atau wacana pemikiran. Seiring dengan itu para penentang Nasserisme mencari ideologi lain yang sekiranya bebas dari kritikan kelompok Nasserisme.

Fhaisol mengatakan, jika disandingkan dengan Islam, Arabisme akan kesulitan menemukan titik persamaannya. Kita tidak menemukan titik terangnnya. Hal ini terlihat sekali dengan penolakan dari kaum fundamentalis Islam di Arab. Berbeda jika di sandingkan dengan liberalism, sosialisme, marxisme, sekularisme, dan lain-lain. Fhaisol mengatan bahwa Arabisme dengan liberalisme mendapati hubungan yang kuat, berbeda dengan marxisme yang hubungannya hanya bersifat marginal.

Baca Juga: Bung Hatta: Pendidikan Politik

liberalisme yang berasal dari Amerika Serikat dan marxisme dari Uni Soviet telah mewarnai semua pemikiran yang ada di dunia, termasuk Arab. Hanafi dan Al Jabiri mengatakan, liberalisme di Arab hanya mendominasi bidang perekonomian, tetapi tidak dalam ranah ideologi dan politik Arab. Hal tersebut disebabkan karena liberalisme ditentang oleh kaum fundamentalis Arab, serta diselingi dengan tersebarnya marxisme.

Paham marxisme di Arab mengalami krisis besar, sehingga kesusahan untuk bangkit. Selanjutnya marxisme berubah menjadi pemikiran sufistik yang tertutup. Sedangkan liberalisme terus berkembang, hal ini ditandai dengan jargon-jargon yang muncul di Arab, seperti: Hak asasi manusia, kebebasan pers, sekularisme, demokrasi, dan lain sebagainya. Namun liberalisme dan marxisme masih belum menjadi wacana Arabisme yang otoritatif. Hanafi dan Al Jabiri ingin mendialogkan semua konsep pemikiran yang berkembang di Arab guna menemukan titik temu dan memunculkan cakrawala baru bagi Arabisme.

Liberalisme Politik Arab?

Liberalisme dalam Dialog Hanafi mengatakan bahwa semua orang menginginkan kebebasan umum, agaknya ini sudah keniscayaan yang tertanam dalam diri setiap manusia. Al-Thahtawi adalah pelopor yang membawa sekularisme ke Mesir dan Khairuddin Al-Tunisi ke Tunisia. Mereka berkeinginan untuk mendirikan negara modern seperti yang ada di Barat, sehingga terbentuk parlemen pertama di Mesir tahun 1870. Dilihat dari kelahirannya, liberalisme lahir di Barat setelah berkecamuknya perperangan panjang, semenjak gerakan reformasi agama pada abad ke-15 M, era kebangkitan abad ke 16 M, rasionalisme abad ke- 17 M, dan era pencerahan abad ke 18 M. Menurut Hanafi, liberalisme tidak menuntut penghapusan kerajaan dan kekhalifahan, namun menuntut sistem kerajaan yang terkait dengan Undang-Undang dan parlemen yang dibangun atas multi-partai, kebebasan pers, urgensi ajaran nasional yang bebas dan independen, tanggung jawab di parlemen di depan para wakil rakyat, kebebasan berpendapat, serta kebebaan berpikir dalam menganut kepercayaan.

Baca Juga: Apa Itu Kiri Islam

Pada era kebangkitan Eropa, kesadaran dibangun dengan membebaskan diri dari kepengikutan terhadap gereja dan berorientasi pada rasio dan fisika. Sehingga menuju peradaban baru, bertransformasi dari peradaban lama menuju peradaban baru, atau dari sebuah duplikasi kepada kreativitas. Hal tersebut diawali pada abad ke 17 M, yang tertuang dalam kata-kata Descartes ‘Cagito Ergo Sum’ (aku berpikir maka aku ada). Spinoza mengatakan, kebebasan berpikir bukanlah ancaman terhadap iman dan keselamatan Negara. Rasio menjadi penguasa atas segala entitas.

Hanafi mengatakan bahwa liberalisme bagi kita merupakan konsep pemikiran, bukan term lain. Pluralisme sebagai mazhab pemikiran fikih telah tumbuh semenjak abad pertama Hijriah dan terus berlanjut hingga abad ke empat Hijriah, ketika mencapai keemasaaanya di tangan Al-Biruni dan Ibnu Sina (Avicenna). Teologi Islam hadir untuk menguraikan seluruh agama, aliran, mazhab, dan kepercayaan. Al Farabi berusaha untuk memadukan antara pemikiran Plato dan Aristoteles dari suatu sudut pandang yang menyatukan antara ide dan realitas. Namun Al Ghazali datang dan menyerang ilmu-ilmu logika dan rasionalitas serta otoritas dari mazhab Asy’aria yang dekat dengan pemerintahan. Kemudian ia menawarkan Tasawuf kepada manusia, suatu bentuk ideologi lain yang berdiri di atas sifat zuhudwara’qana’ah, tawakal, ridha dan sabar, yang merupakan bentuk ideologi kepatuhan. Konsep tasawuf yang melahirkan kepatuhan ini dikritik habis oleh Hanafi.

Baca Juga: Lelaki Minang Tak Berjodoh dengan Kampungnya (Bagian 1)

Namun apa yang disampaikan oleh Hanafi tidak semua diterima oleh Al Jabiri. Al Jabiri melihat sesuatu yang berbeda di Maghrib (barat) dari apa yang digambarkan oleh Hanafi yang terjadi di Masyriq (timur). Modernitas diterima di Maghrib dalam artian Asy’ariah yang ada di Maghrib menerima liberalisme. Liberalisme hidup di bawah naungan Asy’ariah. Al Jabiri juga tidak suka jika Hanafi serta merta menyalahkan Asy’ariyah. Hanafi menawarkan sebuah konsep untuk Arab dengan analogi seperti burung, liberalisme sebagai kepalanya, Islam dan komunis sebagai sayap, dan Nasserisme sebagai dadanya. Ini juga dikritik oleh Al Jabiri. Seperti yang telah diuraikan di tulisan sebelumnya, Al Jabiri dan Hanafi sepakat di suatu sisi dan tidak sepakat di sisi yang lain. Hal ini terlihat sekali karena berbedanya konteks sosial masyarakat yang dilihat oleh masing-masing narasumber; Hanafi di Mesir dan Al Jabiri di Maroko. Fhaisol mengatakan bahwa dialog yang dilakukan oleh Hanafi dan Al Jabiri bisa saja dikatakan sebagai pengantar rekonstruksi yang dicita-citakan, tergantung bagaimana pembaca memahami teks dialog yang disajikan.[]

Desip Trinanda
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dan aktif berdiskusi di Surau Tuo Institute Yogyakarta.