scentivaid mycapturer thelightindonesia

DIM, Pentingkah?

DIM, SEBUAH DAERAH ISTIMEWA MINANGKABAU
Ilustrasi/Sumber: muslimminang.wordpress.com

Mempertanyakan Ide Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), kenapa kita mesti istimewa

Pemirsa yang arif, bijak sini, dan bijak sana, jumpa kembali dengan saya pengagum budaya Minangkabau. Pada kesempatan kali ini, pikiran saya tertuju kembali kepada obrolan tentang Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Dalam hal itu, saya jadi ingat pada beberapa daerah di Indonesia ini, yang telah mencapai derajat istimewanya. Di antaranya adalah Daerah Istimewa Nangro Aceh Darussalam dan Yogyakarta.

Seingat saya, Aceh merupakan daerah pertama penyumbang pesawat kepresidenan Republik Indonesia. Disamping itu, Aceh juga daerah yang kental keislamannya, terkenal dengan julukan serambi mekah-nya. Apalagi setelah dilanda tsunami pada akhir tahun 2004, Aceh semakin terkenal, karena seolah telah memperkenalkan Indonesia di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika.

Di sisi lain, Aceh sangat berjasa kepada masyarakat Minangkabau, yang telah mentransformasikan Islam lewat Syekh Burhanuddin. Dalam hal ini, Syekh Burhanuddin dan masyarakat Minang wajib berterimakasih kepada Aceh. Ingat.. jangan sampai kalah dengan saluang yang mungkin telah terlebih dulu menyampaikan terimakasihnya kepada Aceh.

Baca Juga: Kearifan Lokal Pengajaran Bahasa Arab di Surau Minangkabau

Lain lubuk, lain ikannya, lain Aceh lain pula Yogyakarta. Yogyakarta atau lebih akrab dengan sebutan Jogja, seakan tak kalah istimewanya ketimbang Aceh. Kalau di Aceh, Islam menjadi ciri masyarakatnya, di Jogja tak hanya Islam, semua agama terdapat di sini. Masyarakatnya multikultural, beragam suku dan budaya terdapat di Jogja. Tidak hanya itu, Jogja juga menyediakan beragam fasilitas, baik kampus, lokasi wisata, oleh-oleh, dan toko buku pun tersedia banyak untuk si kutu buku.

Jogja juga terkenal dengan budaya mistisnya nan sensasional. Mulai dari gunung Merapi, Keraton, hingga Pantai Selatan (Parang Tritis), inilah yang berada di gardu depan untuk jargon istimewanya Jogja. Mengingat pantai selatan, Ratu nan ayu tenan, yaitu Ny Roro Kidul tidak boleh dilupakan. Selain itu, di sepanjang jalan Malioboro, anda dapat bergerilya oleh-oleh khas Jogja. Di ujung jalan Malioboro tersebut, bagi om-om kece dan kakek-kakek genit juga dapat belanja kembang nan aduh hai, itulah ia pasar kembang. Lebih dikenal dengan Sarkem.

Pokoknya, baik Aceh maupun Jogja, bagi saya ia harus istimewa. Di samping fasilitas yang ia sediakan itu, nampaknya Jogja sangat welkam dengan kehadiran saya, untuk belajar di salah satu kampus kebanggaan pelajar Jogja.

Baiklah, obrolan tentang Aceh dan Jogja kita tinggalkan dulu nggeeeh. Di lain waktu, kita bahas Jakarta dan Papua yang juga sudah istimewa. Sekarang, saatnya kita move on ke Minangkabau.

Dibanding Aceh dan Jogja, apa sih yang menarik dari Minangkabau. Mister Mokhtar Naim pasti tahu banget tentang itu, mengingat, dalam Bukunya, Naim sangat lihai menarasikan pola merantaunya orang Minang. Berangkat dari sok teu-nya saya atas Minangkabau, barangkali praktik nilai-nilai antara adat dan Islam di tengah masyarakat itulah, yang lebih menarik atau sedikit lebih istimewa dari masyarakat lainnya.

Baca Juga: Meneguhkan Kearifan Lokal

Menurut saya, masyarakat Minang sangat terbuka dengan kemajuan -tanpa memakai istilah “modernisasi”-. Misalnya, kehadiran Islam ke Ranah Minang, tidak ditolak dan juga tidak diterima begitu saja oleh masyarakatnya. “Tulak ansua” bukan kah begitu, wahai para punggawa ranah Minang?

Bagi saya yang masih bocah ingusan dan juga belum sempurna banget dalam berislam, masih tetap mengapresiasi praktik-praktik adat di Minang dari dulu hingga sekarang. Sebut saja, praktik pemabagian harta warisan. Saya kira, orang Minang masih membagi harta warisannya berdasarkan garis keturunan ibu atau matrilineal. Terlepas dari perdebatan panjang atas praktik pembagian harta warisan itu, bagi saya jika ingin orang Minang ingin tampil seksi, maka praktik-praktik adat seperti itu merupakan salah satu solusinya.

Terkait dengan tradisi Minang dalam “tulak ansua” tersebut, saya jadi ingat pepatah berikut:

sakali aia gadang, sakali tapian barubah”, “ado cancang manjadi ukia, ado ratak mambao pacah”.

Kalau sampean sudah tak ingat, ada baiknya kita dengarkan kembali lantunan tembang Minang oleh artis, bagi saya ia berperawakan Minang banget, dengan suara sedikit mendayu. Yaa, dialah Yen Rustam. Tinggal ketik kata “ragam duya”, maka kang Youtube akan menampilkan pilihan videonya.

Pada pepatah di atas, bagi saya ada dua term yang dapat kita analisis. Pertama, adat Minang itu bersifat elastis, tidak kaku bila berhadapan dengan kemajuan zaman. Di sini contoh sederhana yang ada dalam benak saya adalah pakaian adat, Kulik Tanduak dan Suntiang dimodifikasi seiring selera orang kekinian. Contoh lain yang dapat diamati di daerah masing-masing adalah tentang makan bajamba. Sekarang ini, agak sulit untuk kita menemukan tradisi tersebut. SooPrasmanan alias ambil dewe-dewe, sepertinya telah disenangi masyarakat Minang dewasa ini. Kalaupun dicari tahu banar asal mula datangnya modifikasi suntiang dan makan ala Prasmanan tersebut, maka habislah rambut Rajo Angek memikirkannya.

Kedua, sesuatu yang dianggap “baru”, belum tentu bersifat jelek atau baik. Adakalanya yang baru tersebut menghapus yang lama dan/atau bisa juga mengukuhkan atau merekat yang sudah ada. Dalam hal ini, kalau tak salah juga sihmbah Azyumardi Azra pernah menulis  terkait fungsi Surau sebagai media transformasi pendidikan Islam bagi masyarakat Minang tempo dulu. Seingat saya, Surau-Madrasah itu, telah ada sejak abad ke-10 Hijriah lhoo. Bahkan, istilah Surau tidak hanya dikenal di Minang saja, di Patani dan di Arab pun katanya juga mengenal istilah Surau. Sayangnya, saya tidak dapat merasakan atmosfir Surau tersebut.

Walaupun tidak berjumpa dengan Surau, saya tidak perlu berkecil kepalaToh, sekarang saya masih dapat belajar Islam dari buku-buku kuning sebagaimana yang diajarkan di pesantren pada umumnya.

Nah, sekarang jika Sampean merasa rindu dengan Surau, sebaiknya Sampean simpan aja rasa rindu tersebut. Menurut saya, secara fisik dan dengan segala fungsinya, Surau telah tergantikan oleh munculnya pesantren-pesantren modern. Coba perhatikan nama-nama pesantren berikut ini: Pondok Pesantren bla-bla, Pondok Pesantren Modern bla-bla, atau Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan Pondok Pesantren bla, bla. Modern sih, tapi, agak aneh aja di telinga saya yang masih kampungan ini.

Baca Juga: Nilai Luhur Makan Bajamba

Emang, tanpa menyebut modern, pesantren jadi nggak gaul apa? Kalau saya sih, cukup dengan nama Surau Canduang, Surau Pasia, Surau Parabek, Surau Tarusan, Surau Bayua, Surau Tobek Godang, dan Surau lainnya. Dengan demikian, identitas ke-Minangkabau-annya jelas dan tidak terkesan narsis.

Dalam hal itu, mungkin saja orang Minang ingin coba-coba menyaingi pesantren yang ada di Jawa. Padahal santri di Jawa, masih banyak -berdasar observasi saya sendiri-menerjemah buku kuning dengan bahasa Jawa keseharian. Sementara itu, Pondok Pesanteren di Minang sekarang ini, kebanyakan santri diajar dengan bahasa Indonesia. Sehingga tak jarang menerjemahkan buku kuning tersebut dengan mengindonesiakan bahasa Minang itu sendiri. Misalnya, lobo jadi loba, sabaramulo jadi sebermula, baalah baramulo jadi baalah sebermula, dan masih banyak contoh lain yang saya sudah tak mengingatnya lagi. Menurut saya, cara orang Minang menerima “gaya” lain dalam memberi nama Surau, gaya berbahasa, seperti di atas, merupakan salah satu bentuk “tulak ansua” yang dilakukan orang Minang selama ini.

Pas atau tidaknya, tak begitu masalah, yang penting mereka telah berihtisab.

Baiklah, sampai di sini saya akhiri coretan intermeso berikut dengan mengira-ngira, bahwa istimewanya Minangkabau itu adalah pada sifat budaya yang “tulak ansua” tersebut. Tetapi, orang Minang tidak usah berbesar kepala dulu yaa. karena cita-cita terwujudnya DIM adalah pekerjaan yang prematur adanya. Ada baiknya orang Minang meninjau kembali, apakah Minangkabau telah layak bersanding dengan Aceh dan Jogja. Dengar-dengar kabar burung neh, daerah istimewa itu, mendapat bantuan dana lebih besar dari pemerintah pusat ketimbang daerah yang biasa saja. Nah, apakah orang Minang juga meinginkan kucuran dana yang lebih besar dari pemerintah pusat? Bersabar dulu, jangan terlalu ambisius dengan DIM yaa. Orang Minang pasti tidak mau dibilang narsis tooh.[]

Asral Fuadi
Alumni MTI Candung,Saat ini sedang kuliah Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta