Drukkerij al-Islamiyah salah satu dari sederetan toko dan penerbit kitab di Sumatera Tengah yang pernah berperan penting. Drukkerij al-Islamiyah pernah hadir untuk memenuhi kebutuhan buku dan percetakan bagi madrasah dan pelajar agama saat itu.
Minangkabau, di masa penjajahan Belanda dikenal sebagai salah satu pusat percetakkan Arab di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan tingginya minat baca seiring lahirnya karya-karya tulis ulama di kawasan ini. Dengan demikian tak heran bila Minangkabau waktu itu menjadi pusat intelektual Islam yang ditandai dengan berdirinya ratusan Madrasah hasil formulasi dari surau-surau yang ada di abad sebelumnya.
Terdapat puluhan penerbit dan percetakkan Arab saat itu, antara lain yang terkenal Tsamaratul Ikhwan (Bukittinggi), KAHAMY (Bukittinggi), Limbago (Payakumbuh), Percetakan Alam Minangkabau (Payakumbuh), Tandikat (Padang Panjang), Sa’adiyah (Padang Panjang), al-Moenir (Padang), de Voltherding (Padang), Percetakan Orang Alam Minangkabau/ Datuk Sutan Maharaja (Padang), Pulobomer (Padang), dan Mathba’ah al-Islamiyah (Bukittinggi). Dari sederetan nama penerbit dan percetakan yang ada dan tertulis dalam catatan kolonial awal abad 20 tersebut, Mathba’ah Islamiyah merupakan penerbit dan percetakan yang menarik untuk ditinjau lebih jauh. Ketertarikan kita terhadap penerbit ini cukup beralasan, karena (1) Mathba’ah Islamiyah didirikan oleh seorang tokoh yang mempunyai reputasi di kalangan ulama Minangkabau (2) Mathba’ah Islamiyah berkonsentrasi dengan penerbitan Ulama Minangkabau, serta kitab-kitab untuk madrasah dan surau, (3) Percetakan ini tercatat sebagai percetakan al-Qur’an pertama di Sumatera, (4) Penerbit ini berjasa menerbitkan karya-karya langka secara cuma-cuma dan dibagi-bagikan demi kemaslahatan Kaum Muslimin ketika itu, (4) penerbit ini mempunyai pengaruh luas dalam mengadangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Minangkabau.
Baca Juga: Syekh Tuanku Limopuluah Malalo Ulama Besar Pendekar Syathariyah di Pedalaman Minangkabau
Keberhasilan Mathba’ah Islamiyah di sokong oleh pendiri sekaligus pimpinannya, yaitu al-Marhum HMS. Sulaiman, seorang wara’ dari golongan ‘urang siak’ (santri) yang dikenal dermawan. Ketokohan HMS. Sulaiman sangat menonjol di kalangan ulama, terutama ulama dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, wadah persatuan ‘Ulama Tuo’ Minangkabau.
HMS. Sulaiman Bukittinggi
Dalam buah bibir kalangan ‘urang siak’, terdapat dua Sulaiman yang populer sebagai tokoh keagamaan. Sulaiman pertama, yaitu Syekh Sulaiman Arrasuli (1871-1970), ulama besar Minangkabau yang terkenal sebagai salah seorang pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) sekaligus pendiri dan pemimpin Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Sulaiman kedua, HMS. Sulaiman, seorang ‘alim pendiri Mathba’ah Islamiyah Bukittinggi. Kedua Sulaiman ini tidak hanya sekedar dikait-kaitkan karena kesamaan nama, tapi memang kedua tokoh yang terpandang ini mempunyai hubungan yang erat.
HMS. Sulaiman lahir pada paruh terakhir abad 19. Ia besar dan tumbuh dalam keluarga yang agamis dan cinta ilmu. Ketika usianya menanjak remaja, ia diserahkan ayahnya untuk belajar agama ke beberapa surau, sampai ia dikenal sebagai seorang malin (alim kecil). Ia kemudian bukan hanya tumbuh sebagai seorang malin, namun juga mempunyai ciri kecintaan dan kedekatan dengan ulama-ulama Minang di zaman itu. Selain itu ia juga dikenal dermawan. Ketika penerbit (waktu itu dikenal dengan Drukkerij atau Firma) Islamiyah Bukittinggi dibuka, ia secara berkala menerbitkan beberapa karya ulama dengan dananya sendiri. Hal ini dapat kita buktikan dari beberapa kitab cetakan Islamiyah, yang pada sampulnya tertulis: “atas nafkah HMS. Sulaiman Fort de Kock.” Di samping kitab-kitab, al-Islamiyah juga menerbitkan al-Qur’an, di mana sebelumnya al-Qur’an disalin dengan tangan atau dicetak batu. Konon al-Qur’an hasil cetakan al-Islamiyah ialah mushaf cetakan pertama di Indonesia.
Selain itu HMS Sulaiman juga sangat senang kepada ulama, sehingga ia secara cuma-cuma mewakafkan banyak kitab kepada ulama dimaksud. Salah seorang ulama yang banyak mendapat wakaf kitab dari HMS. Sulaiman ialah Syekh Muda Wali al-Khalidi, ulama besar Aceh yang saat itu berada di Minangkabau.
Pada tahun 1928, diadakan pertemuan ulama-ulama Minangkabau di Bukittinggi dan membuahkan keputusan mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai benteng ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Minangkabau. Ketika itu hadir ulama-ulama dari berbagi penjuru Minangkabau, antara lain Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad Arifin Batuhampar, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang dan lain-lainnya, juga hadir HMS. Sulaiman. Dengan demikian, HMS. Sulaiman juga termasuk salah satu dari sederetan tokoh yang membidani berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Di antara ulama-ulama yang mempunyai kedekatannya dengannya ialah tiga serangkai ulama PERTI, yaitu Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho dan Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh. Ketiga ulama inilah yang menyarankan kepada HMS. Sulaiman untuk mendirikan toko kitab sekaligus Drukkerij (penerbit dan percetakan), yang kemudian ia namai Drukkerij/ Mathba’ah al-Islamiyah Bukittinggi.
Penerbit dan Percetakan Arab Terkemuka di Sumatera Tengah
Drukkerij al-Islamiyah santer menjadi salah satu dari sederetan toko dan penerbit kitab di Sumatera Tengah ketika itu. Untuk melengkapi keperluan kitab-kitab agama yang dipelajari di Madrasah (pesantren) Tarbiyah Islamiyah yang jumlahnya ketika itu lebih dari 300 buah, HMS. Sulaiman mendatangkan kitab-kitab terbitan Mesir, kemudian menjadikan tokonya untuk mendistribusikan kepada sekolah-sekolah agama yang membutuhkan. Selain itu, usahanya yang paling besar ialah mencetak kitab-kitab karya ulama Minangkabau sendiri. Untuk itu HMS. Sulaiman melengkapi Drukkerij al-Islamiyah dengan sebuah mesin cetak aksara Arab. Dengan itulah kitab-kitab ulama dicetak dan disebarkan. Kitab hasil cetakan al-Islamiyah terbilang rapi dan hampir menyamai kitab cetakan Mesir ketika itu.
Drukkerij al-Islamiyah menjadi satu dari sekian penerbit yang terkenal dan yang mampu melewati tiga zaman hingga periode kemerdekaan RI. Dari zaman Belanda, Jepang dan zaman merdeka, al-Islamiyah telah berjasa dalam menyebarkan kitab-kitab ulama serta turats ulama Minangkabau seiring dengan tingginya minat baca di kalangan urang siak (santri) saat ini.
HMS. Sulaiman wafat di Padang pada 1972 setelah lama menderita sakit. Setelah wafatnya, kabar mengenai Drukkerij al-Islamiyah yang terkenal itu tidak kita dengar lagi. Mungkin percetakan ini diteruskan oleh anak-anaknya dan kemudian bergelut dengan percetakan modern, hingga hilang ditelan zaman. Atau masih ada namun tak setenar dulu, seperti halnya Maktabah Isa al-Babi al-Halabi di Kairo itu.
Salah satu kitab Melayu yang tampak baru karena dicetak ulang ialah “Nazham Nabi Bercukur” karangan Labai Sidi Rajo Sungai Pua. Saya mendapatinya pada deretan kitab-kitab berdebu di sebuah toko Aua Kuniang, Bukittinggi. Pada sampul kitab itu tertulis: dicetak oleh Mathba’ah al-Islamiyah Bukittinggi. Sempat saya tanyakan kepada pegawai toko, di mana percetakan Islamiyah ini berada, ia menggeleng mengisyaratkan ketidaktahuannya. Saya rasa tinggal kenangan sudah.
Baca Juga: Tarekat Naqsyabandiyah dan Konferensi di Bukittinggi Tahun 1954
Beberapa Contoh: al-Qur’an dan Turats Ulama Cetakan al-Islamiyah Fort de Kock
Semua Hanya Kenangan
Sayangnya, kita tidak mempunyai rekaman yang lengkap tentang penerbit ini. beberapa informasi singkat pernah diberikan oleh orientalis Belanda. Namun itu hanya sepintas, tidak sampai memberikan gambaran utuh tentang berbagai hal, seperti buku-buku yang pernah diterbitkan, riwayat akhir penerbit hingga lokasi dan lainnya. Seperti halnya penerbit-penerbit Arab lainnya di Minangkabau, Mathba’ah Islamiyah hanya kita kenal dari catatan-catatan sepenggal dan hanya menjadi kenangan masa lalu; salah satu tonggak sejarah; di mana kaum agamawan haus ilmu dan mempunyai minat baca yang tinggi. Kontras dengan zaman sekarang tentunya.
Harapan
Dalam sebuah percakapan dengan seorang alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah, melompat keinginan untuk menerbitkan kembali turats ulama Minangkabau. Hal ini muncul karena telah teriventarisnya beberapa karya ulama Minangkabau yang dulunya menjadi master peace di zamannya. Keinginan itu disambut baik oleh teman-teman. Langkah awal ialah mendirikan penerbit sesuai prosedur yang berlaku, membentuk ba’dah tahqiq dan pengelola penerbit tersebut. Kesadaran ini muncul karena motivasi keadaan kaum santri di Jawa yang begitu giat menjaga, merawat dan menerbitkan turats ulama.
Sempat terucap, “Sudah saatnya kita berinisiatif mengkhitmati ulama kita. Tak perlu lagi kita berharap banyak dengan persatuan-persatuan kaum agama di Sumatera Barat sendiri untuk menjaga kekayaan intelektual ulama silam. Bila tidak kita, siapa lagi!”.
Semoga terwujud dengan segera.
*Data dalam artikel ini bersumber dari beberapa literatur, antara lain buku “Riwayat Hidup Ulama Syafi’iyyah” (Syekh Yunus Yahya Magek, 1976), “Ayah Kita” (Abuya Baharuddin Arrasuli, 1978) dan “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (Abuya Sirajuddin Abbas, 1973).
Jakarta, Medio Januari 2014
Leave a Review