scentivaid mycapturer thelightindonesia

Dt. Sutan Maharaja dan Tarekat Mim

Dt. Sutan Maharaja dan Tarekat Mim
Foto Dok. Penulis

Dt. Sutan Maharaja dan Tarekat Mim

Oleh: Addiarrahman
Direktur Eksekutif Bersama Institute


Tulisan pendek ini, dengan hati yang “gamang” saya beranikan pula mengirimkan ke redaksi tarbiyahislamiyah.id. Tak lain supaya terpenuhi janji ke Tuanku Nuzul Iskandar. Dengan catatan, saya tidak punya kemampuan apapun untuk manyurah “kaji”_sekira patut disebut kaji, atas isi tulisan ini. Selain tidak pernah bersuluk, saya pun juga bukan orang yang menekuni bidang tasawuf atau tarekat. Kedua istilah ini, sepintas lalu pernah saya pelajari sewaktu kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang.

BacaJuga: Sosiologi Tahlilan ala Dt. Sutan Maharaja

Dt. Sutan Maharaja dan Tarekat Mim

Selain dikenal sebagai “Bapak Pers Melayu”, Mahyuddin Dt. Sutan Maharaja ternyata juga seorang penganut ajaran tarekat. Ia mulai mengenal tarekat sejak menjadi jaksa di Indropuro (1882) yang kemudian pindah ke Padang dan cukup lama menetap di Pariaman. Menurut keterangan Taufik Abdullah (1972), sejak itulah dia mulai mempelajari ajaran tarekat (Samaniyah, Syatariyah, dan Mim).

Adapun sebelumnya, dia termasuk orang yang cukup rajin mempelajari ilmu fikih (mazhab Syafi’i), tajwid dan lainnya. Terkait ilmu Tajwid, Dt. Sutan Maharaja belajar langsung dengan seorang qori dari Payakumbuh bernama “Engku Noenang”. Setelah belajar tajwid, Dt. Sutan Maharaja mengaku “hingga dapatlah olehkoe mentjatjat kalau orang mengadji Qor’an jang tak meatjoehkan tadjwid.” (Seonting Melajoe, No. 38, Hari Djoem’at 29 Oktober 1920).

Kedekatan Dt. Sutan Maharaja dengan tarekat ditunjukkan dalam beberapa tulisannya, baik secara langsung maupun tidak, menjelaskan “kaji” dalam tradisi tarekat, seperti tentang martabat tujuh (Soenting Melajoe No. 2, Hari Djoem’at 14 Januari 1921) yang menurut dia adalah alasan orang Minangkabau lari (“Melayu”) dari agama Budha ke Islam.

Lari dari agama Boeda ke agama Islam, dari karena terasa lebih baik agama Islam, jaitoe agama Islam jang tjara Imam al-Ghazali, dalamnja tiada kedar sjari’at sadja, melainkan ada bertharekat martabat 7, ada marma’rifat (theosophie) dan ada berhakikat.”

Saat menjelaskan siapa “Muhammad”, Dt. Sutan Maharaja memberikan penjelasan yang menyiratkan ajaran tarekat yang dia yakini.

“Apa jang sangat terpoedji iteo? Sepandjang tharikat Mohamadijah, ialah roh atau haloes djiwa (njawa) jang ada dalam kandoengan badan nabi itoe, begitoepoen roh ada poela dalam kandoengan masing2 badan kita ini dinamakan dia itoe “Mohamad Bathin” dan badan kita jang kasar ini walaupoen bernama Mohamad sekalipoen sebetoelnja boekanlah Mohamad bathin melainkan kedar si Mohamad jang lahir sadja. (Soenting Melajoe No. 37 Hari Djoem’at 19 September 1919)

Pergumulan Dt. Sutan Maharaja dengan ajaran tarekat (Samaniah dan Syatariyah) ini agaknya mendorong dia menyebut jalan tarekat yang dia lalui dengan istilah “Tharekat Mim” yang tak lain merujuk pada konsep “Muhammad Bathin”. Pada Soenting Melajoe No. 10 Hari Djoem’at 7 Maart 1919, Dt. Bangkik menjelaskan apa itu Tarekat Mim.

Dalam badan diri kita adalah tjahaja jang  ketjilnja segedang kepala peniti boelat
segedang Mim
 O

Itoelah jang Mohamad bathin. Artijna jang sangat terpoedji. Indah tjahajanja. Gilang goemilang di dalam diri

Mohamad bathin di dalam diri,
Gilang goemilang tjahaja berseri,
Boekan intan boekan beidoeri,
Boekan oenggas si boeroeng noeri
Maha didapat soekar ditjari

إنا لله وإنا إليه رجعون

Ertinja

Datang djiwakoe dari pada Allah dan kepadanja djoega akan koembalijna

Sumber: Soenting Melajoe No. 10 Hari Djoem’at 7 Maart 1919__doc. Penulis.

Tidak hanya itu, Dt. Sutan Maharaja juga menulis syair dan pantun untuk menjelaskan tarekat Mim. Sekali lagi, syair dan pantun ini menceritakan apa yang dia sebut dengan “Moehammad Bathin”.

Baca Juga: Datuk Bangkit dan Penghina Nabi Muhammad

Moehammad Bathin

Zat Allah itoe moela pertamanja
Noer Allah itoe ada padanja,
Hakikat Moehammad njata di dalamnja
Limbago Adam akan tempatnja.

Boekit majang terlaloe tinggi,
Adalah kolam sebelah baroeh,
Ingat ingat mengenal diri,
Mohammad bathin dalam toeboeh.

Amat amati bintang timoer,
Berbeda djar bintang poejoeh laga,
Moehammad bathin mari sama tidoer,
Badan nan djaoeh tidak berantara.

Berlari2 di atas karang,
Pertjah tjangkir ditimpa sakin,
Moehammad mari datang sekarang,
Allah lahir Moehammad bathin.

Tilik olehmoe kapas dan kain,
Bangsanja satoe roepanja lain,
Pandang olehmoe lahir dan batin,
Itoelah ilmo kesoedahan main

DATOEK BANGKIT No. 1….

Sumber: Soenting Melajoe No. 10 Hari Djoem’at 7 Maart 1919__doc. Penulis.

Baca Juga: Muhammadiyah di Sulit Air

Tarekat dan Pergerakan

Mengetahui paham keagamaan yang dipegang oleh Dt. Sutan Maharaja, cukup beralasan bila dia pada awal merintis karier sebagai jurnalis di surat kabar Pelita Ketjil dan Tjahja Sumatra, sering bertengkar pikiran dengan kelompok Islam modernis yang menyerang adat Alam Minangkabau. Dia juga pernah berperang pena dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi terkait ini. Itu pula sebabnya Dt. Sutan Maharaja bersahabat baik dengan Syekh Chatib Ali di Padang; ulama tarekat sekaligus “pandeka” yang disegani saat itu.

Namun, tarekat agaknya tidak menjadikan Dt. Sutan Maharaja menjauhi kehidupan dunia, seperti pandangan sementara orang. Sebaliknya, semangat tarekat mendorong dia menjalani medan pergerakan. Selain merintis pers berbahasa melayu pertama di Sumatra, dia juga paling kuat menyuarakan Adat Alam Minangkabau sebagai dasar “kemajuan”.

Pada acara Webinar Nasional ‘Syekh Sulaiman Arrasuli Pejuang Pemersatu Umat dan Bangsa’, pada tanggal 31 Oktober 2020, budayawan Betawi, Ridwan Saidi menjelaskan bahwa kelompok tarekatlah yang paling awal melakukan pergerakan anti kolonialisme di Indonesia ini. Sekalipun Dt. Sutan Maharaja “berteman” dengan pemerintah Belanda, tetapi komitmen dia memperjuangkan hak adat, budaya, dan hak kaum perempuan, agaknya tidak terlepas dari ajaran tarekat yang dia yakini; “Tarekat Mim”.[]

Jambi, 20 November 2020

Addiarrahman
Dikrektur Eksekutif Bersama Institute