Pulau Sumatra patut bersyukur karena memiliki tokoh-tokoh muda luar biasa di berbagai bidang sejak zaman dahulu. Kebanyakan mereka telah berpengaruh besar kala umurnya di bawah 45 tahun.
Diantaranya seperti Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam yang dalam usia muda berhasil menguasai hampir seluruh Sumatra dan sebagian Semenanjung Malaya; Teuku Umar Johan Pahlawan yang sejak muda berjuang, bergerilya dan berjaya menggetarkan Belanda; para golongan muda pejuang kemerdekaan Indonesia yang kebanyakan berasal dari Sumatra seperti Tan Malaka, Sutan Syahrir, B.M. Diah, Adam Malik dll.; hingga para pejuang Aswaja dan cendekiawan Islam yang sejak muda telah berpengaruh besar dalam perjalanan keilmuan bangsa seperti Buya Hamka, Abuya Muda Waly, Buya Abdul Somad Batubara. Belakangan ini lahir pula tokoh-tokoh muda di antara Abuya Arrazy Hasyim yang tidak kalah besarnya pengaruhnya.
Diantara tokoh-tokoh tersebut ada dua sosok ulama pejuang Aswaja yang hidup di zaman yang berbeda. Salah satunya telah berpulang menghadap sang Khalik sementara yang satunya muncul dan terus berjuang sebagai suksesor perjuangan keagamaan hingga saat ini. Kedua sosok ini muda dari segi umur namun tua dalam keilmuan. Mereka adalah Abuya Maulana Syekh Muhammad Waly al-Khalidi atau yang masyhur dikenal dengan Abuya Muda Waly dan Abuya Maulana Syekh Arrazy Hasyim al-Khalidi.
Abuya Muda Waly lahir pada tahun 1917 di Labuhan Haji, Luhak Aceh Selatan, Aceh Darussalam dan meninggal dunia pada 20 Maret 1961 di usianya yang ke-44 tahun.
Baca Juga: Syekh Muda Waly: Syekhul Masyayikh Ulama Dayah Aceh Kontemporer
Abuya Muda Waly merupakan ulama besar Aceh yang merupakan keturunan Minangkabau. Ayahanda beliau adalah Syekh Teungku Muhammad Salim bin Syekh Tuanku Sutan Ahmad Malin Palito. Sedangkan Ibunda beliau bernama Siti Janadat binti Keuchik Nyak Ujud.
Ayahanda Abuya Muda Waly yaitu Syekh Muhammad Salim merupakan mubaligh yang berasal dari Batusangkar, Sumatra Barat. Ia merantau ke Labuhan Haji pada awal abad ke-20 mengikuti jejak pamannya Syekh Abdul Karim atau yang dikenal dengan sebutan Teungku Peulumat. Sesampai di Labuhan Haji, Syekh Muhammad Salim dinikahkan dengan Siti Janadat, putri Keuchik (Kepala Desa) Gampong Kota Palak.
Abuya Muda Waly lahir dengan nama Muhammad Waly. Namun, saat ia merantau dan menuntut ilmu di negeri Ayahandanya yaitu di Minangkabau, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Saat ia kembali ke Labuhanhaji, Aceh beliau dipanggil dengan gelar Teungku Muda Waly atau Abuya Muda Waly al-Khalidy.
Sejak kecil, Abuya Muda Waly sudah bersemangat menuntut ilmu di daerah asalnya di Labuhan Haji, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Blangpidie. Pada usia 18 tahun ia sudah merantau ke Aceh Rayeuk dekat Banda Aceh, lalu merantau ke Minangkabau, menimba ilmu di tanah suci, menjadi mursyid hingga kembali ke Aceh dan mendirikan lembaga pendidikan di Labuhan Haji bernama Dayah Darussalam al-Waliyah.
Di usianya yang sangat muda kala itu, Abuya Muda Waly telah menjadi ulama besar bahkan berhasil mendidik murid dan anak-anaknya menjadi kader ulama yang kemudian juga menjadi ulama-ulama karismatik di Aceh bahkan di Indonesia. Hampir seluruh ulama dayah Aceh setelahnya adalah murid dari muridnya Abuya Muda Waly al-Asyi tsumma al-Minangkabawi.
Dua puluh lima tahun setelah meninggalnya Abuya Muda Waly, pada 21 April 1986 di Payakumbuh, Luhak Limo Puluah, Minangkabau Darul Qarar lahir dari pasangan Nur Akmal bin Muhammad Nur dan Asni binti Sahar seorang putra yang dinamai Arrazy Hasyim. Nama Arrazy Hasyim diberikan oleh orangtuanya bertafaul dengan nama besar ulama-ulama yang bernisbah Ar-Razy seperti Syaikhul Islam Imam Fakhruddin Ar-Razy serta nama besar Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari.
Sejak kecil, Abuya Arrazy Hasyim sudah bersemangat menuntut ilmu agama. Bahkan saat remaja ia sudah ikut thariqat dan bersuluk. Dari tempat asalnya di Payakumbuh ia pindah ke Bukittinggi, lalu merantau ke ibukota, berguru kepada berbagai ulama di dalam negeri dan luar negeri.
Sejak muda, Abuya Arrazy Hasyim telah melewati perjalanan spiritual yang begitu dalam hingga menjadi mursyid. Bukan kemasyhuran yang ia cari namun keridhoan Sang Pencipta. Baru pada tahun 2019, ia mendirikan lembaga pendidikan di Ciputat bernama Ribath Nouraniyah Hasyimiyah.
Kehadiran beliau di dunia maya boleh dibilang terlambat. Namun, dirinya berhasil memenuhi media sosial dengan kalam-kalam keilahian yang begitu mendalam. Sama seperti Abuya Muda Waly, ia tidak hanya mendalami akidah dan fikih, namun juga mendalami tasawuf dengan sisi keruhanian yang sangat kuat.
Dua pejuang Aswaja, Abuya Muda Waly dan Abuya Arrazy Hasyim sejak usia muda sudah menuntut ilmu tidak hanya dengan satu guru atau satu tempat, namun juga dengan berbagai guru di berbagai tempat. Tidak hanya berguru kepada ulama-ulama kaum tuo namun juga pernah berguru kepada ulama-ulama kaum mudo. Sehingga dapat dikatakan keduanya telah melewati perjalanan spiritual yang komplek.
Keduanya tidak pernah surut dan gentar dalam mendidik dan mencerdaskan ummat. Walau cobaan dan rintangan senantiasa menghadang mereka. Hingga, kedua sosok ini masyhur di mana-mana sebagai ulama dan mubaligh terkemuka pejuang Ahlussunah wal Jama’ah Asysyafi’iah dan Ahli Thariqah Sufi.
Walaupun keduanya tidak pernah bertemu. Sebab Abuya Muda Waly lahir di era kolonial dan wafat di awal kemerdekaan Indonesia, sementara Abuya Arrazy Hasyim lahir di era milenial yaitu 25 tahun setelah meninggalnya Abuya Muda Waly. Namun, keduanya bertemu melalui sanad keilmuan keagamaan yang terhubung.
Abuya Arrazy Hasyim memiliki sanad keilmuan diantaranya melalui gurunya Syekh Hasan Basri dan Syekh Ali Syarbaini Kampar. Kedua Mursyid Thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah ini berguru kepada Syekh Tuanku Labai Sati Malalo. Syekh Labai Sati berguru kepada Syekhul Islam Abuya Muda Waly al-Khalidi.
Tuanku Labai Sati lebih tua 9 tahun dari Abuya Muda Waly. Namun beliau menganggap Abuya Muda Waly sebagai gurunya. Sementara bagi Abuya Muda Waly, Tuanku Labai Sati merupakan ulama, sahabat dan teman diskusinya yang paling alim di Malalo Padang Lawas pada saat itu. Hingga, Abuya Muda Waly menamai Tuanku Labai Sati dengan Zakaria (bertafaul kepada nama besar ulama ahli ushul fikih dalam Mazhab Syafi’i yaitu Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari) atau Syekh Zakaria Labaisati karena kealimannya dalam ushul fiqih dan ilmu mantiq.
Baca Juga: Dengan Buya Arrazy Hasyim, Minangkabau Tak Kehilangan Harapan
Abuya Muda Waly dan Abuya Arrazy Hasyim, keduanya umumnya berguru kepada ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah (juga Nahdlatul Ulama) dan mursyid-mursyid thariqat naqsabandiyah (Abuya Arrazy Hasyim juga Syadziliyah). Sehingga, warna keagamaan keduanya mirip bahkan sejalur yaitu berakidah Asy’ari, bermazhab Syafi’i dan bertarekat.
Walaupun kedua pejuang Aswaja ini bukan guru dan murid langsung seperti Syekh Abdurrauf Assingkili dan Syekh Burhanuddin Ulakan, namun, tali keilmuan mereka semakin mempertegas hubungan keilmuan Aceh dan Minang. Semoga ke depan, terus muncul tokoh-tokoh muda dari Sumatra yang mampu mewarnai perjalanan kehidupan bangsa khususnya umat Islam Indonesia.[]
Leave a Review