(Setidaknya) ada dua nagari bernama “Supayang” di Sumatera Barat. Pertama, Supayang Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok. Kedua, Supayang Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar.
Yang menarik dari keduanya bukan sekadar kesamaan nama, tapi sama-sama pernah melahirkan dua penulis hebat. Jika di Supayang Solok ada Aman Dt. Madjoindo (yang tanggal wafatnya persis hari ini, 5 September 1969), di Supayang Tanah Datar ada Bachtiar Djamily, putra dari seorang ulama terkenal, Syekh Muhammad Jamil Jaho (Inyiak Jaho).
Masih ingat sinetron Si Doel Anak Sekolahan pada 1990an? Ya, ceritanya berlanjut dalam film layar lebar Si Doel The Movie pada 2018, lalu sekuelnya pada 2019 dan 2020. Si Doel The Movie menjadi salah satu film Indonesia terlaris dan berhasil mengkotak-kotakkan netijen penggemarnya menjadi Tim Sarah vs Tim Zaenab.
Sinetron itu terinspirasi dari film drama keluarga tahun 1972 berjudul “Si Doel Anak Betawi” yang disutradarai oleh Syuman Jaya. Nah, film Syuman Jaya ini diangkat dari novel berjudul “Si Doel Anak Betawi” yang terbit pertama kali pada 1932. Siapa pengarangnya? Aman Dt. Madjoindo, si anak Supayang Solok.
Jika hingga beberapa tahun lalu Nagari Supayang Solok masih dikeluhkan soal akses jalan dan akses internet, justru pikiran dan buah karya anak Supayang telah diakses oleh orang se-Indonesia semenjak seabad yang lalu, jauh sebelum negara ini merdeka–dan masih membekas hingga kini.
Aman Dt. Madjoindo lahir pada 5 Maret 1896. Ia adalah sastrawan generasi Balai Pustaka, sekawan dengan Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, dan Marah Rusli, sang pengarang roman legendaris, Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai.
Akan halnya Bachtiar Djamily, lahir di Supayang Tanah Datar pada 10 November 1929. Di masa itu, kesenian kaba bertajuk “Hikayat Bachtiar” sedang naik daun di Minangkabau. Ada beberapa anak Supayang yang lahir pada periode itu dikasih nama “Bachtiar/Bakhtiar” pula oleh orang tuanya, salah satunya Bachtiar Djamily.
Bachtiar Djamily telah menulis lebih dari 100 cerpen dan puluhan buku lainnya seputar sejarah, termasuk biografi tokoh. Mulai dari Soekarno, Soeharto, Adam Malik, sampai ayahnya, Inyiak Jaho, telah ia tulis biografinya dengan apik. Bachtiar pun memperoleh penghargaan Penegak Pers Pancasila pada 1990.
Menurut satu sumber, Bachtiar Djamily sempat berlayar ke India untuk melanjutkan pendidikan. Itu di tahun 1948, setahun setelah India merdeka dari penjajahan Inggris. Rajesh Khanna dan Amitabh Bachchan mungkin masih belajar main gundu saat itu.
Baca Juga: Dari Ulama-ulama Supayang hingga Syekh Mudo Waly Al-Khalidi
Namun, pendidikan Bachtiar tidak jadi selesai, dan ia pun hijrah ke Malaysia lalu menetap di sana hingga akhir hayat. Karenanya, sebagian buku-buku Bachtiar Djamily diterbitkan di Malaysia, dan di antaranya dengan memakai nama pena “Imbang Jaya”.
Bagi saya, buku Bachtiar Djamily tentang biografi ayahnya, “Biografi Buya Kita Syekh Muhammad Djamil Djaho” (yang juga terbitan Malaysia: Asmah Publisher), amatlah penting. Kenapa?
Dalam buku “Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”, ditulis oleh Hamka bahwa: “Dan terhadap kepada Tharikat Naqsyabandy, berjauhan pendapatnya (Inyiak Jaho) dengan pendapat Syekh Sulaiman Arrasuli dan berdekat dengan pendapat Ayahku” (h. 294). Hamka menuliskan bahwa Inyiak Jaho termasuk ulama yang tidak sepakat, bahkan ikut menentang Tarikat Naqsyabandy. Benarkah?
Di sinilah letak pentingnya buku Bachtiar Djamily sebagai media tabayun. Justru, kata Bachtiar Djamily dalam bukunya, Inyiak Jaho, ayahnya, adalah pengamal Tarikat Naqsyabandy, sama seperti Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang). Karena kesamaan tariqah itu pula, Syekh Muhammad Djamil Djaho diangkat jadi menantu oleh Syekh Marhaban Supayang, seorang mursyid Tarikat Naqsyabandiyah yang banyak dikunjungi oleh murid-murid di sekitaran Tanah Datar pada masa itu. Inyiak Jaho dinikahkan dengan putri Syekh Marhaban bernama Maryam. Dari pernikahan itulah lahir Bachtiar Djamily dan empat saudaranya yang lain.
Baca Juga: Syekh Muhammad Jamil Jaho: Ulama, Tokoh PERTI dan Guru Syekh Muda Waly Al-Khalidy
Perihal ini juga telah saya konfirmasi ke beberapa orang di Supayang yang menerima cerita secara lisan dan turun-temurun: benar bahwa Inyiak Jaho adalah pengamal Tarikat Naqsyabandiy dan berguru pada Syekh Marhaban Supayang (yang kemudian jadi mertuanya), tidak seperti yang ditulis oleh Buya Hamka dalam bukunya.
Karena kecintaan beliau pada Tarikat Naqsyabandiyah juga, Inyiak Jaho mengambil menantu setidaknya dua ulama besar mursyid Tarikat Naqsyabandiyah, yaitu Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah Tanyuah (Buya Tanyuah) dan Syekh Muda Wali Aceh (Tuanku Aceh). Buya Tanyuah dinikahkan dengan Djmilah Djamil (putri dari pernikahan Inyiak Jaho dengan Umi Maryam Supayang), sedangkan Syekh Muda Wali Aceh dinikahkan dengan Rabi’ah Djamil (putri dari pernikahan Inyiak Jaho dengan Umi Nondeh Jaho). Sebelum menikah dengan Umi Rabi’ah, Syekh Muda Wali telah menikah juga di Supayang dengan perempuan bernama Qamariah. Walau sebentar, kehadiran Syekh Muda Wali di Supayang amatlah membekas di hati orang Supayang, bahkan hingga sekarang.
Leave a Review