Oleh: Raudal Tanjung Banua
Sebelumnya baca menulis dari kampung (8): Menghidupkan Garis Pantai Bandar Sepuluh
Memanjang di tepian Samudera Indonesia dan diapit pegunungan Bukit Barisan, sebagian besar nagari atau kampung di Kabupaten Pesisir Selatan tidak dilalui jalan utama. Yakni, ruas jalan Padang-Bengkulu atau Jalan Lintas Barat Sumatera (Jalinbar)—satu-satunya jalan negara di daerah ini. Kampung-kampung itu dihubungkan jalan lebih kecil (jalan kabupaten atau provinsi), melalui sebuah persimpangan. Kami biasa menyebutnya “kampung masuk ke dalam” atau “kampung dalam”.
Di Bayang misalnya, separoh lebih desa atau nagarinya berada di dalam, dari Koto Barapak, Asamkumbang, Puluik-Puluik, sampai Pancung Taba. Hal serupa tercatat di Kecamatan Lengayang. Sementara di Kecamatan IV Jurai, Batangkapas, Sutera dan Ranah Pesisir, meski tak sejauh Bayang atau Lengayang, tetap saja sebagian besar kampungnya berada di dalam.
Sebut beberapa di antaranya: Lumpo dan Tambang di IV Jurai; Taluak Kaduduak, Koto Panjang dan Koto Kandih di Batangkapas; Rawang, Gunung Malelo, Koto Baru, Ampalu, Langgai, Medan Baiak dan Tanjung Gadang di Sutera. Sejak era otonomi pada bermetamorfosa menjadi nagari baru. Perubahan nama dengan arah mata angin—utara, selatan—membuatnya terasa lebih formal. Dan tentu saja secara kultural ada yang bergeser.
Pendek kata, setiap daerah pinggir jalan, punya “mudiknya” sendiri; makin jauh mudiknya, makin ramailah daerah tersebut. Tapi sebenarya banyak juga kampung masuk ke arah pantai atau muara sungai. Misal, Sungai Bungin di Tarusan; Anakan, Teluk Kasai di Batangkapas, hingga kampung-kampung pesisir di Linggo Sari Baganti dan Indrapura.
Sebutan “kampung masuk ke dalam” bukan merujuk levelitas tertentu, hanya menunjuk letaknya. Kadang ada menyebut “kampung mudiak” karena terletak di hulu sungai. Sampai di sini, jujur, sesekali muncul olok-olok bahkan stigma “urang udik”. Maka dimainkanlah logat mereka yang rada khas, tanpa sadar bahwa asal-usul orang kampung tepi jalan pun umumnya dari kampung hulu tersebut.
Hanya saja yang disebut olok-olok atau stigma, lebih sebagai langgam pergaulan. Tak sampai merasuk seperti efek pemilihan presiden. Alih-alih, seloroh itu kian meningkatkan semangat mereka melebihi orang tepi jalan. Dalam hal bersekolah tinggi misalnya, mereka berpantang ketinggalan. Karena fasilitas sekolah tak memadai, sejak sekolah menengah pertama pun mereka sudah harus menempuh jarak puluhan kilo naik sepeda, Sebagian kost atau tinggal di tempat saudara di kampung tepi jalan.
Menariknya, karena basis didikan surau mereka relatif baik, tak kalah banyak anak-anak dikirim belajar ke sekolah agama di darek, seperti ke MTI/pesantren tarbiyah di Pasie, Lasi, Canduang, dan lain-lain. Pada saat itu, anak-anak kampuang luar sangat asing dengan nama-nama itu karena lebih menyasar sekolah umum. Bahkan, ketika kampung-kampung tepi jalan mulai ramai merintis keberadaan rumah tahfidz dan sekolah agama, kampung-kampung dalam sudah jauh lebih dulu punya MTI, seperti MTI Sabilul Jannah di Timbulun, Surantih, atau PP Salafiah Tarbiyah Islamiyah Koto Kandis, Lengayang.
Dalam bulan Agustus ini, saat semarak HUT Kemerdekaan RI, kadangkala diadakan pertandingan olahraga seperti voli atau sepak bola, lazimnya berhadiah kambing. Tanpa melebih-lebihkan, grup dari kampung dalam luar biasa tangguh dan sering membawa kambing pulang. Lagi pula, orang mudik tak kalah cergas balik mengolok, misalnya dengan menempatkan orang tepi jalan sebagai sosok teralienasi.
“Bayangkan, banyak kendaraan lewat, tapi tak satu pun berhenti bahkan sekadar melambai menyapa kalian yang duduk termangu di beranda. Apa ndak sakit mata hanya dapat debu dan asap knalpot?” Nah!
***
Jalan raya mungkin dapat disebut karpet hitam yang membentang modernitas bagi suatu kawasan. Setelah peranan pelabuhan dengan jalur sungai dan laut surut, jalan raya muncul sebagai penanda beralihnya orientasi lautan ke daratan.
Kolonial Belanda, biarpun mengandalkan sungai dan laut, tetap membuka jalan raya ke pedalaman setiap pulau yang diduduki. Tentu, karena itulah daerah hinterland mereka, penghasil komoditi. Di Jawa, Gubernur Jendral Hindia, Deandles (yang mengabdi untuk Prancis) pada tahun 1808 dengan mengerahkan tenaga paksa, membuka jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1000 km. Banyak pihak menyebutnya Jalan Deandels, tapi Pramoedya Ananta Toer menyebut Jalan Raya Pos—jalan utama yang tidak melewati daerah kelahirannya, Blora, sehingga kota kecil di hulu Kali Lusi itu berada jauh “di dalam”.
Upaya membangun jalan raya dilanjutkan pemerintah kita sebagai infrastruktur utama sebuah bangsa yang baru merdeka. Jalan Lintas Sumatera sepanjang 2.508 km, dibuka tahun 1965. Menyusul jalan trans di pulau-pulau lain. Betapa pun jumlah dan kualitas tidak merata, yang jelas daerah yang dilalui jalan raya menjadi lebih cerah prosfeknya. Jalan raya pun menjadi ruang kontestasi. Berbagai rupa kendaraan melintas beserta orang bermacam lagaknya. Rumah-rumah sepanjang jalan pun berdandan, menampilkan corak modern.
Dulu semasa saya kecil, jalan di depan rumah bukan hanya sempit, tapi juga sepi dari arus kendaraan dan barang. Aspalnya tipis, sebagian masih berbatu, berlobang dan penuh debu. Rumah-rumah berbaris tidak teratur, dalam arti, sebentar padat, sebentar lengang. Semak-semak rengsam, belukar liar, biasa tumbuh bergerumbul, menggores badan kendaraan yang lewat. Saya masih ingat, lokasi selepas Masjid Darul Ihsan Lansano dulu dianggap angker karena tak ada rumah, kecuali sebentang rawa dan hutan sagu berair keruh. Banyak cerita mistis mengalir dari situ.
Namun seiring kapasitas jalan yang terus ditingkatkan, halaman rumah-rumah kian menyempit dan jalan kian lebar. Semua lahan habis disosor, tak kecuali rawa-rawa, ditimbun. Jalan memadat, kendaraan menderu mengalahkan gemuruh lautan. Suara knalpot. Klakson dan “kentut” truk-truk alias rem angin, berkisar. Entah pada usia ke berapa, saya menyadari bahwa jalan yang melintasi kampung kami adalah jalan Lintas Barat Sumatera. Ada rasa sumringah menyadari hal itu, bahwa ternyata kampung kami bagian dari dunia.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun kami membayangkan Jalan Lintas Sumatera itu adanya di darek, melintasi Bukittinggi, Padangpanjang, Sijunjuang dan seterusnya. Itu lantaran selama ini orang ke Jakarta atau sebaliknya harus melewati jalur tengah tersebut. Bahkan saya baru menyadari, sebenarnya kalau mau ke Jakarta dari kampung saya, lebih dekat lewat lintas barat. Tinggal “lurus” ke arah Bengkulu, belok sedikit di Lampung. Suatu waktu saya coba membuktikannya. Dalam perjalanan mudik, saya menempuhnya dari Krui di Lampung sampai Muko-Muko di utara Bengkulu, dan langsung tiba di daerah saya tanpa harus memutar ke darek dan Padang.
Hanya selama ini jalan tersebut diabaikan seolah pintu belakang Sumatera Barat. Sehingga sempat juga terbit sergahan saya,”Kita dikerjai orang Padang, seolah-olah ke mana dan mau apa saja, kita harus melewatinya. Kayak bawahan lapor komandan.”
Ada yang menyahut,”Orang kita sendiri maunya begitu. Bayangkan, mau ke Bangko atau Muarobungo pun harus mutar ke Sitinjau Laut, padahal lewat Kerinci bisa langsung ke situ. Apalagi kalau jalan Kambang-Muaralabuh benar-benar tembus.”
Begitu saja, kami tertawa lalu meneguk kopi bersama-sama.
***
Apa yang menarik dari kampung-kampung masuk ke dalam adalah kenyataan historis bahwa di masa lalu mereka memegang peranan penting dalam banyak aspek, baik sosial ekonomi, kultural maupun religi. Sebutlah dalam hal asal-usul leluhur, status sebagai kampung awal, sumber komoditi, pusat pengumpul hasil bumi, pusat pendidikan agama, hingga basis perjuangan melawan kolonialisme.
Pedalaman Bayang cukup lengkap memerankan semua aspek itu. Perang Bayang (1663-1771) termasuk perang awal dan terpanjang di pantai barat Sumatera. Berlanjut masa revolusi hingga era PDRI, dan mungkin PRRI—jika yang terakhir ini harus disebut sebagai “perjuangan”. Dari situ mencuat antara lain nama pejuang Angku Tantuo, H. Ilyas Jakub dan Faqih Jamil di Masjid Jihad.
Di Kecamatan Batangkapas ada kampung kecil yang tercatat dalam sejarah kolonial sehubungan tercapainya kesepakatan VOC-Bandar Sepuluh. Kampung itu terletak jauh ke arah pantai, ada menyebut Teluk Tempurung, sebagian menyebut Teluk Kasai—toh keduanya sama-sama masuk ke dalam. Peristiwa itu dikenal sebagai Sandiwara Batangkapas (1662), yang membuka lahirnya Perjanjian Painan.
Di pedalaman Kambang, nama Ibrahim Samik atau Inyiak Samik familiar sebagai tokoh pejuang dan pendidikan. Di sini pula, tepatnya di Kampung Akad bermarkas Tentara Pelajar yang bekas markasnya kini lapuk minta dipugar. Ada pula rumah Percetakan Oeang Repoeblik di Koto Pulai saat masa berjuang, kini ditandai Monumen Uang.
Kampung pedalaman Surantih kental unsur kulturalnya. Langgai yang terjauh, hingga Koto tinggi dan Koto Ranah sebagai kampung tua dari mana leluhur Bandar Sepuluh bermukim pertama saat turun dari Alam Surambi Sungai Pagu. Sama halnya dengan kampung-kampung di pedalaman Balaiselasa. Sementara di bagian laut Air Haji, ada kampung Sumedang dan Muaro Gadang, bekas pelabuhan haji dan gudang komoditi. Belum Muaro Sakai yang punya irisan sejarah panjang dengan Kesultanan Indrapura.
Tak kalah menarik, kampung dalam ini punya jejak spiritual yang luar biasa. Terbukti, banyak ditemukan tapak surau tua bekas tempat belajar agama Islam dan ilmu tarekat. Pedalaman Bayang sejak lama disebut “Serambi Mekah pantai barat” memiliki rekam jejak paling banyak dalam konteks ini. Di sana para guru membuka halaqah, meng(k)aji dan menulis kitab. Yulizal Yunus (2018) menyebut mereka, antara lain Syekh Buyung Mudo atau Syekh Buyung Laman di Puluik-Puluik, Syekh Muhammad Yatim di Kapujan, Syekh Abdurahman di Asamkumbang, Syekh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang), atau Syekh Muhammad Dalil bin Syekh Muhammad Fatawi atau Syekh Bayang di Pancuang Taba.
Sementara di Batangkapas ada surau Lubuk Nyiur dengan Syekh Yunus. Di Kambang ada Masjid Imam Kotobaru di mana mufti Kambang, Syekh Muhammad Ali, bertugas. Ada pula Masjid Koto Kandih dengan Inyiak Kolang. Selain itu ada Pakiah Nantan, Abuya Sidrah dan Buya Abu Sidar (lihat Abuya Apria Putra, Surau Tuo, 10 Maret 2012).
Seiring waktu, wafatnya guru dan menyebarnya para murid, membuat surau-surau itu tinggal, terlantar, atau roboh. Sebagian masih tinggal tapak atau sandinya. Nasib manuskrip dan kitab-kitab di pagu-pagunya sebagian kecil terselamatkan oleh keluarga, jemaah atau balai pelestarian pemerintah. Sebagian besar lenyap ditelan zaman. Tapi makam dan gobah para guru masih tinggal untuk diziarahi, meruapkan aura spiritual yang tak padam.
Saya kira, keberadaan kampung-kampung masuk ke dalam ini bukan hanya di Kabupaten Pesisir Selatan. Sebagai provinsi yang dilalui Bukit Barisan, tipografi Sumbar berbukit dan bergunung, jelas realitas kampung sejenis tak terelakkan. Realitas yang saya maksudkan sekaligus merujuk eksistensi historis, kultural dan spiritual yang dimilikinya.
Kita bisa menyebut sejumlah kampung sejenis seperti Koto Gadang, Pandai Sikek, Saningbaka dan Sulit Air yang unggul dalam kemandirian ekonomi, pendidikan dan keuletan perantaunya. Ada nagari atau kampung basis perjuangan seperti Manggopoh, Kamang, Pauah atau Situjuah Batur. Ada kampung-kampung dalam yang tercatat sebagai lintasan markas PDRI: Koto Tinggi dan Bidar Alam.
Ada kampung dengan ulama dan lembaga pendidikannya yang agung, seperti Canduang, Pasie dan Lasi yang terletak bukan di jalur utama Payakumbuh-Bukittinggi, melainkan di jalan kabupaten atau provinsi. Ini mengingatkan saya pada banyak pondok pesantren terkenal di Jawa dan Madura yang terletak jauh dari jalan raya utama. Mereka memilih berada di kampung-kampung yang melipir di kaki bukit, gunung atau pesisir. Seolah dengan begitu mereka menyatu dengan ketenangan dan kedamaian alam.
Di sisi lain, Sumbar punya garis pantai cukup panjang. Pasca matinya jalur laut, kampung-kampung masuk arah ke pantai justru lebih memprihatinkan. Jalan-jalannya buntu. Dan secara psikologis terjadi disorentasi. Seakan kampung masuk ke dalam itu hanya berada arah ke bukit saja. Padahal kampung seputaran Air Bangis, Sasak, Katiagan hingga Muarosakai, sebagai misal, yang dulu merupakan pelabuhan penting hasil bumi dan bahkan bandar penting kesultanan, kini harus berjuang merumuskan kembali eksistensinya yang sempat berantakan. Namun, dengan modal historis, kultural maupun spiritual, atau kombinasi semuanya, saya yakin kampung-kampung masuk ke dalam, baik di pegunungan maupun di pesisir, bisa berjaya dalam berbagai aspek. Jika di masa lalu mereka lebih berupa hinterland penghasil komoditi dan tempat menyalurkan hasil bumi, sekarang bisa menjadi enclave budaya dan spiritual dengan menghidupkan kembali sanggar-sanggar seni, kelompok randai, sasaran silek, surau dan kitab-kitab. Ini perlu buat mengimbangi hiruk-pikuk perpacuan orang, barang dan jasa, di kampung-kampung tepi jalan besar yang makin tak bisa tidur dan di ambang skizofrenia!
Sebelumnya baca menulis dari kampung (10): Genealogi Makam Keramat Pantai Barat
Leave a Review