“Kita yang nikah, kok dia yang hamil?”, celetuk istriku dari
kamar tidur.
“Ada apa Mi? Sampai-sampai kening berlipat tujuh begitu?”, tanyaku.
“Itu lho Yah, Ulfa anak Mak Paduko dan Tek Ros di Koto Gadang. Yang jadi pendamping
anak dara walimahan kita tempo hari.”
“Iya tau, tapi kenapa dengan Ulfa?”, tanyaku lagi.
“Duhh, Ayah ini bagaimana? Dengar baik-baik. Ulfa sudah hamil duluan, sudah
empat bulan. Mi kasihan sekali dengan keadaannya. Yah kan tahu Ulfa sedang
menyusun tugas akhir dan sebentar lagi selesai kuliah keperawatannya. Ulfa itu
anak pertama dan putri satu-satunya mereka. Waktu acara walimahan kita tempo
hari, Mak Paduko banyak cerita tentang harapan beliau terhadap putrinya itu.
Nanti kalau Ulfa menikah, acara walimahannya bakal digelar meriah. Selain
menyembelih sapi, juga akan mengundang grup musik dan artis terkenal”, terang
perempuan yang baru empat bulan ini sah jadi istriku menurut agama, adat, dan
negara.
“Terus, kondisi Mak Paduko dan Tek Ros bagaimana?”, telisikku.
“Itu juga yang Mi kuatirkan sedari tadi. Mi bisa membayangkan bagaimana
remuk-lapuk beliau berdua. Kata Nek Ingkek, tadi pagi saja waktu beroleh kabar
mengenai kehamilan Ulfa melalui telpon, Tek Ros sampai pingsan dua kali. Sampai
sekarang pun belum stabil kondisinya”.
“Kalau Mak Paduko bagaimana Mi?”, kejarku.
“Lebih parah lagi Yah. Mak Paduko sampai kalap. Mengancam akan membunuh
putrinya itu. Eee,.. malahan Ulfa nekad pulang hari ini. Bahkan Yah, orang yang
menghamilinya juga ikut ke sini. Mereka berdua mau minta maaf dan sekaligus
minta restu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Sekarang mereka
sudah sampai Ombilin.
Bisa-bisa nanti tambah naik pitam Mak Paduko. Semua orang tau siapa Mak Paduko dan bagaimana orangnya. Ramah, tidak bisa marah, dan suka mengalah. Tapi kalau sekali marah susah membendungnya. Jin Ifrit saja ngeri melihat beliau marah dan lebih memilih kabur jauh-jauh”, terang istriku.
***
“Assalamualaikum. Mi”, terdengar pintu depan diketuk sambil
memanggil istriku.
Aku pun bergegas menuju sumber suara. “Waalaikum salam. Eee, masuk Nek”.
“Mi ada?”, tandas Nek Sawar.
“Sebentar Nek, Rid panggilkan dulu. Mi lagi di dapur”, ujarku.
“Ada apa Nek, ada yang bisa Mi bantu?”, tanya istriku sesaat kemudian.
“Mi sudah tau belum berita tentang Mona anak Datuk Sonji. Itu yang jadi
pendamping anak dara walimahan Mi tempo hari”, ujar Nek Sawar pada istriku.
“Mona Mi kenal. Bahkan kenal sekali Nek”, jawab istriku. “Oh ya, sepertinya ada
masalah serius. Ada apa ya Nek?”, lanjut istriku.
“Gawat Mi. Tadi Makwo Sidar datang ke rumah sambil menangis. Ketika ditanya kenapa menangis, malahan tangisnya menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian baru ia bercerita. Katanya, ia menangis karena Mona anak Datuk Sonji dan Linda sudah hamil tiga bulan. Padahal selain cantik dan pintar, anak pisangnya itu baik dan banyak kepandaian. Anak perempuan satu-satunya lagi”, jelas Nek Sawar.
“Astaghfirullah! Kenapa bisa begitu Nek?”, kata istriku yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Itulah masalah Mi. Kasihan sama Mona dan Datuk Sonji sekeluarga. Pasti mereka berat menerima kenyataan ini.”
“Yang menghamili Mona sudah ketahuan Nek?”, tanya istriku lagi.
“Sudah, orangnya siap bertanggungjawab. Berasal dari Koto Gaek dan bekerja sebagai sopir pengangkut pasir. Tapi itu tidak masalah.” Nek Sawar berhenti sejenak untuk menyeka matanya yang sudah berkaca-kaca.
“Sebab yang menghamilinya itu sudah memiliki istri dan dua orang anak”, terang Nek Sawar dengan berlinang air mata.
“Haa”, kata kami berdua hampir bersamaan.
***
Trot, trot, trot, trot, troooott..
Terdengar getar suara hanphone Mi, istriku, berderak-derak. Kucari sumber suara
itu, tapi tidak kutemukan. Dalam hati aku protes terhadap kebiasaan Mi yang
tidak mengaktifkan nada hanphonenya sepulang sekolah. Terdengar lagi suara
getar berderak-derak. Akupun pasang telinga dan belalakan mata. Ternyata benda
ajaib yang kucari itu terletak di rak buku perpustakaan mini kami.
“Assalamualaikum Mi”, terdengar suara Ni Elvia di seberang sana.
“Waalaikum salam. Maaf Ni El, ini Rid. Mi mandi ke Aia Angek Bukit Gadang
dengan Ni Vin. Ada pesan Ni. Atau begini saja, nanti saya suruh Mi kontak balik
Ni El”, terangku.
“Ya, makasih Rid”, balas Ni El singkat.
Tak lama berselang istriku pulang dari Aia Angek. Akupun
menceritakan Ni Elvia dari Koto Baru barusan nelpon. Tidak lupa aku suruh Mi
untuk mengontak balik. Siapa tahu ada hal penting yang hendak disampaikannya.
Lalu aku menyambar handuk bersiap-siap mandi sore.
Sedang asyik mandi, istriku mengetuk keras pintu kamar mandi berkali-kali.
“Sebentar Mi, tanggung nih”, jawabku.
“Orang lagi asyik mandi, digedor-gedor. Kayak tantib beraksi. Ada apa?”,
protesku di depan pintu kamar mandi.
“Gawat Yah, gawat”, balas istriku.
“Duh, apa yang gawat Mi? Jangan bikin bingung dong!”, protesku lagi.
“Barusan Ni El mengabarkan berita penting. Sayang bukan berita baik”, jawabnya.
“Berita penting tapi bukan berita baik. Jadi tambah bingung”, balasku. “Ayo,
tadi waktu mandi Aia Angek baca basmalah tidak! Jangan-jangan Mi keteguran di
sana!”, lanjutku.
“Langsung ke poin ya. Tapi ada syaratnya, tidak boleh kaget!”, kata Mi dengan
ekspresi serius sambil menggoyang-goyang jari telunjuknya di hadapanku.
“Ingat kan dengan Dola yang jadi pendamping anak dara walimahan kita dulu. Itu lho anak bungsu Pak Darwis dan Bu Nina. Barusan Ni Elvia cerita kalau kemaren Dola hendak bunuh diri di kostnya di By Pass KTK. Sekarang masih dirawat di Rumah Sakit Tentara. Setelah diselidiki, ia sudah mengandung tiga bulan. Pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan sudah kabur ke Jawa”, jelas istriku.
Meski telah diingatkan Mi, tak kuasa jua aku menyembunyikan kekagetanku.
***
“Mi, itu bukan Nindi pendamping anak dara walimahan kita tempo
hari? Kok naik ojek pegangannya begitu mesra?”, tanyaku pada istriku ketika
melihat Nindi lewat depan rumah kami.
“Huss, itu bukan tukang ojek! Pacarnya barangkali. Sebab mana mungkin naik ojek
boncengan begitu rapat. Istri tukang ojek saja belum tentu berani boncengan
seperti itu sama suaminya”, jawab istriku.
“Ya, kaget saja. Masak di jalan kampung begini berani pamer pagut seribu. Apa tidak malu ditonton banyak orang. Laju motornya santai, tapi pagutannya seperti dibonceng Valentino Rossi!”, balasku tak mau kalah.
“Kaget apa kaget?”, kata Mi sambil pasang tampang yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Mi tidak kenal dengan orang yang membonceng Nindi barusan. Sepertinya bukan orang sini. Mungkin itu pacar atau teman kuliahnya. Tapi kalau melihat gaya boncengan Nindi barusan, Mi kira itu pacarnya. Soalnya Mi lihat duduknya sangat rapat dan pegangannya begitu mesra. Kan yang berani begituan hanya pasangan yang sedang dimabuk asmara”, lanjutnya.
“Boleh-boleh saja dimabuk badai asmara. Tapi jangan dimuntahkan
di tempat duduk sendiri! Sebab yang akan dinilai dan disalahkan orang bukan
Nindi seorang. Orang tua, mamak, bahkan juga orang dalam persukuan Nindi, juga
akan dibawa-bawa. Macam-macam komentar orang nantinya. Tidak tau diadat, tidak
diajari sopan-santun”, terangku.
“Oh ya Yah, coba lihat foto di sebelah sana. Itu lho foto acara walimahan kita
tempo hari”, pinta istriku seraya menunjuk foto kami berdua diapit empat
perempuan berpakaian adat terpampang di ruang tamu.
“Iya, lihat. Tapi ada apa dengan foto itu Mi?”, tanyaku.
“Aduh, bagaimana menjelaskannya. Lihat, kan pendamping anak dara acara walimahan kita empat orang. Tiga orang sudah ketahuan suratan tangannya. Ketiganya sudah hamil duluan. Tinggal satu yang belum, yaitu Nindi. Eee tahu tidak Yah, keempat pendamping anak dara acara walimahan kita disatukan oleh satu hal. Yakni sama-sama anak perempuan satu-satunya dalam keluarga mereka. Anak kesayangan, anak kebanggaan, anak tumpuan harapan”, jelas Mi dengan nada serius.
“Iya juga ya. Patut ditunggu bagaimana suratan nasib Nindi.
Tapi… jika dilihat dari gaya boncengan Nindi tadi, sepertinya akhir kisahnya
serupa dengan yang tiga itu. Sebelas dua belas”, komentarku setelah paham arah
pembicaraan Mi.
“Tapi tidak boleh begitu juga Yah. Mendoakan orang yang baik-baik saja. Jangan
berburuk sangka duluan. Lagi pula keluarga Nindi masih terbilang kerabat kita
juga….”.
“Tapi kan kita sudah sama-sama lihat kelakuan Nindi. Di siang bolong begini dan
di kampung sendiri lagi, berani boncengan pagut seribu. Tidak terbayang
bagaimana pergaulannya di luar sana”, dengan sigap aku potong perkataan
istriku. Terbukti perkataanku ini manjur membuat istriku kehabisan bahan.
Keesokkan harinya sepulang dari kerja, istriku sudah menyambutku
di depan pintu. Tak biasanya ia berbuat demikian.
“Tepat tebakan Yah. Nindi sudah hamil duluan. Sekarang masih pingsan setelah
tadi menangis sejadi-jadinya sambil meracau. Dasar laki-laki tidak bertanggung
jawab. Tidak mau menepati janji. Diberi segala-galanya malahan kabur ke
Kalimantan”, tutur Mi kemudian.
Belum sempat mengomentari perkataan istriku, lewat di depan
rumah kami Bintang yang masih terbilang kerabat Nindi. Aku pun memanggilnya
untuk mampir ke rumah kami.
“Maaf Bin, kabarnya Nindi pingsan. Apa benar ia hamil?”, tanyaku tanpa
basa-basi.
“Kawan”, jawab Bintang dengan tenang, “Kawan benar, Nindi pingsan karena
ditinggal kabur pacarnya ke Kalimantan….”
“Berarti benar Nindi sudah hamil? Sudah berapa bulan?”, istriku
memotong penjelasan Bintang.
“Iya, saya juga kasihan sama Nindi. Tapi saya lebih kasihan pada kalian berdua.
Sikap kalian berdua tidak mencerminkan orang terdidik”, kata Bintang.
“Nindi pingsan karena…. pacarnya yang bernama Indra membawa kabur STNK motor
dan laptopnya. Padahal skripsi Nindi dalam laptop itu. Coba, siapa yang tidak
sedih berada dalam kondisi demikian. Tapi yang jelas Nindi tidak hamil. Kalian
catat itu”, jelas Bintang. Lalu berlalu meninggalkan kami.
Aku segera menutup rapat pintu rumah kami. Lalu kupeluk istriku sambil membisikkan sesuatu padanya.
“Kita yang nikah, kita yang punya anak ya Mi!”[]
Sungai Janiah, Juli 2014