scentivaid mycapturer thelightindonesia

Filiasi Saya dengan Islam Pedesaan

Sebagai orang yang mendapatkan diri memiliki filiasi dengan kelompok Islam pedesaan, yaitu tradisi Islam yang memiliki modal sosial-budaya yang tidak sepenuhnya utuh tapi tidak pernah mau tunduk sepenuhnya dengan berbagai hal rezemik yang menghampirinya. Aspek diskursif maupun praktikal Islam semacam NU tidak pernah sepenuhnya kalah seperti taksiran dalam kajian-kajian akademik.

Saya tidak mengatakan bahwa tradisi Islam semodel dengan NU yang selalu menjadi “bahan ejeken” dan objek kesinisan kelompok lain dalam berbagai bentuknya, samar maupun terang-terangan, tanpa kekurangan. Dan saya sudah tidak terlalu tertarik merespons lirikan sosial yang rasis semacam ini.

Persoalannya sendiri soal cara memahami dan mengambil posisi dengan filiasi masing-masing, dan bagaimana relasi yang hampir saja bawaan-lahir ini bisa ‘nyambung’ dengan afiliasi kita dengan berbagai gagasan dan kelompok dalam kehidupan bersmasyarakat.

Tepat pada pertautan antara filiasi-afaliasi sesorang atau kelompok (kolektif) yang tidak selalu linear ini melahirkan kenyataan-kenyataan yang bertabrakan satu sama lain, terjadi komposisi sosialitas yang terdiri dari hal-hal yang bergesakan satu sama lain.

Baca Juga: Bagaimana Orientalis Mengenali Timur? (Ulasan Bab 1 Buku Orientalisme Karya Edward Said)

Sesorang atau kelompok tertentu mendapatkan kaidah-kaidah kenduniawiahan yang selalu tidak sempurna. Kaidah-kaidah sosial yang mengingatkan akan ketidaksempurnaanya sendiri. Dan ini bisa dipastikan.

Islam tradisional (sambil mengabaikan pilihan kategorikal ini) harus menerima kenyataan bahwa persinggungan mereka dengan modernisme dalam semua bentuknya berakibat pada tergerusnya tradisi mereka. Apa yang mereka banggakan sebagai tradisi: kekayaan diskursif dan praktikal tidak ada yang tidak tergerus. Pada saat yang bersamaan, ketidakberterimaan mereka dengan desakan modernitas dengan sendirinya membuat seperti riang ketersisihan sekaligus membuat mereka kesulitan membangun kekuatan politik dan ekonomi, karena secara ekonomi dan politik mereka senyatanya penuh konflik dan intrik internal. Pada saat bersamaan, ada proses politik dan ekonomi yang tidak saja tidak berpihak tetapi bertujuan mendesak mereka. Seharusnya kedua sisi ini dilihat secara bersamaan dan simultan agar tidak selalu menyalahkan kelompok atau hal  eksternal yang bersitegang dengan mereka.

Dalam masyarakat Islam paska-penjajahan, modernisme tidak selalu Barat, tidak selalu kelompok liberal, sekuler (dalam pengertian sempitnya), dan kelompok non-Muslim yang hidup bersama masyarakat Islam. Di internal umat Islam sendiri ada kelompok yang membungkus modernisme dengan jubah Islam formalistik. 

Saya setuju dengan desertasi Hasan Asad (dosen Universitas Columbia) tentang HTI (misalnya) bahwa kelompok ini adalah bentuk-modern dalam masyarakat Islam.

Ada proses tawar-menawar yang alot dengan berbagai hal internal dan eksternal. Tapi proses tawar menawar yang alot dalam kenyataan kehidupan sehari-hari seringkali terabaikan dengan cara saling intrik dengan sesama dalam satu kelompok. Intrik antara sesama dalam internal kelompok adalah dampak dari kegagalan memulihkan (rekuperasi) tradisi secara terukur dan mengikuti kaidah-kaidah standar kesosilan.

Penyebab lain keretakan-sosial dalam sebuha filiasi disebakan  kegagalan memahami tradisi sendiri : seperti tidak meratanya pewarisan tradisi keilmuwan yang menyebabkan tidak meratanya perenungan atas simbol-simbol dari tradisi mereka. Tradisi tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang yang terus bernafas tapi diandaikan sebagai suatu yang beku.

Misalnya dalam kasus Islam tradisional, keharusan simultan memulihkan tradisi pendidikan klasik dan mendinamisirnya seringkali berakhir menjadi ratapan kekalahan dan ketertinggalan dalam bidang pengetahuan yang seringkali tidak beralasan. Tidak sedikit yang gagal membedakan antara ketertinggalan dalam mengembang tradisi belajar dengan praktik meniru-begitu saja kelompok lain.  Atau paling tidak terpaksa mengembangkan model pendidikan klasik ala pesantren dengan cara melakukan penyesuaian dengan trends pendidikan keislaman yang belum tentu memiliki basis tradisi klasik.

Melakukan percakapan dengan model pendidikan Keislaman yang dikembangkan oleh kelompok modern Islam seperti HTI, kelompok Wahabi dan kelompok segolongan dalam bidak ilmu Qur’an dan ilmu Hadist bisa jadi kalah relevan dengan dinamika kedua bidang studi tersebut yang dikembangkan di Barat sebagai kelanjutan dari orientalisme.

Pada kelompok Islam anyaran, pendidikan ilmu Qur;an dan ilmu Hadist berakhir menjadi hafalan tanpa tenaga, dan formalisasi atas ragam pengucapan atas kedua disiplin ini.

Sementara pengembangan kedua disiplin ilmu agama Islam ini di perguruan tinggi di AS atau Eropa lebih dinamis karena didukung oleh adanya biaya, paling penting karena ada pengembangan kedua disiplin ini yang lahir dari otokritik berbasis pengetahuan. Faktor lain, para pengkaji keislaman di perguruan tinggi AS dan Eropa lebih dominan adalah para sarjana yang datang negara muslim sendiri yang mencari bentuk-bentuk utopia intelektual yang tidak mereka temukan di negerinya sendiri.

Ini baru membahas masalah tradisi keilmuwan, belum membahas dengan persinggungan dengan kekuasaan (ekonomi dan politik). Kekuasaan seringkali menjadi suplemen negatif yang berfungsi melunturkan tradisi keilmuwan yang menjadi sentrum rotasi dari tradisi pesantren. Walaupun memiliki jaringan yang relatif terawat melaluai jaringan pengetahuan dan kekeluargaan, tetapi jaringan ini tidak cukup kokoh untuk membangun konsolidasi politik. Kegagalan politik lebih banyak disebabkan oleh runyamnya tatanan kolektif secara internal. 

Kelompok muda kaum tradisional seringkali membandingkan pendapatan kekuasaan dengan kelompok lain. Mereka merasa ada yang tidak wajar dan senjang dalam pembagian kekuasaan negara. Mereka menyesalkan kegagalan mereka membangun konsolidasi politik yang baik karena kalangan mereka yang berada di kekuasaan abai dan tidak peduli mendistribusikan kekuasaaan yang mereka genggam kepada sesama anggota kelompok. Padahal distribusi kekuasaan akan kembali dengan sendirinya pada distrubutor kekuasaan itu sendiri, yang terjadi justeru adalah akumulasi kekuasaan secara personal dengan kebebalan yang mencolok, akumulasi personal atau keluarga.

Karena jebakan komparatifisme, mereka mengira kekuasaan di kelompok lain  lebih solid, padahal bisa jadi kesan lebih solid itu terjadi karena penampilan luarnya saja, kesolidan yang tidak memiliki garansi apapun seperti dialami kelompok tradisional sendiri dalam konsolidasi politik mereka.

Baca Juga: Said, Massad, Dabashi dan Islam

Menggerakan tradisi sangat ditentukan oleh  langkah awal diambil. Dalam masyarakat Islam tradisional misalnya, langkah pemulihan dan pengembangan tradisi keilmuwan adalah persyarat wajibnya. Dinamika tradisi klasik tidak sekedar merawat keberlangsungan model tradisi klasik itu sendiri, tetapi membuat tradisi klasik yang menjadi basis pendidikan mereka bisa diukur dengan baik sehingga tradisi klasik ini bisa menjadi basis mereka untuk bercakap dengan tradisi keilmuwan lainnya, termasuk ukuran berupa kemampuan mereka mengurangi ketertinggalan mereka dalam bidang sains dan teknologi.

Pada titik ini saya ingin menyatakan bahwa seharusnya kelompok Islam tradisional menerima kenyataan dari kesarjanaan paska-penjajahan bahwa persaingan dalam jagad kesarjanaan modern  bukanlah momok sekaligus sesuatu yang tidak terhindarkan.

Minimal saya tidak menyesali  filiasi saya, mereflesikannya sebagai bentuk kebanggan yang saya anggap terpelejar, dan menerimanya sebagai sesuatu yang membawa muatan yang tidak utuh. (……………ngelantur…).

*Kredit foto : Menikmati kopi sembalun di Sembalun Bumbung di ketinggian 1277 MDPL. Lokasi : Kebon Kupi milik saudara Khalid Karyadi yang segara akan di soft-opening pertama.

Hasan Basri
Lurah Pesantren Kaliopak, Yogyakarta dan Pengurus LESBUMI PBNU, Jakarta