scentivaid mycapturer thelightindonesia

Forum Diskusi Ulama-ulama Minangkabau

Forum Diskusi Ulama-ulama Minangkabau
Ilustrasi/Dok.www.yenisafak.com

Di masa lalu ulama-ulama Minangkabau begitu aktif melaksanakan diskusi-diskusi/ muzakarah ilmu-ilmu agama, juga termasuk masalah-masalah sosial-keagamaan yang berkembang di masa itu. Kita dapat catat, di antaranya muzakarah berkala yang dicanangkan oleh Ittihad Ulama Sumatera di awal abad 20 yang digawangi oleh ulama-ulama yang mempunyai reputasi melewati batas negeri bawah angin, di antaranya Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (w. 1920), Syekh Abdullah Halaban (w. 1924), Syekh Khatib Muhammad Ali Padang (w. 1938), Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Abbas Qadhi Ladanglaweh, Syekh Jalaluddin Kisa’i Sungai Landai, Syekh Muhammad Salim Bayur Maninjau, Syekh Hasan Bashri Maninjau, Syekh Amran Limbukan, dan sederetan ulama lain. Muzakarah dikalangan mereka mencakup berbagai persoalan. Persoalan-persoalan itu dibedah dengan berbagai “pisau analisa”, mulai dari lughah (bahasa) yang mencakup nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, mantiq, mushtalah hadis, tafsir, dan lain-lainnya. Salah satu hasil dari muzakarah itu ialah pengakuan ulama-ulama terhadap kealiman Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka karena kepiawaiannya mendedah dalil dan mengeluarkan istidlal yang tepat. Hal ini dicatat oleh ulama, pelaku sejarah, dan sejarawan dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah yaitu Syekh Yunus Yahya Magek (1910-2001).

Setelah lahir formulasi madrasah dengan sistem klasikal di kalangan ulama Minangkabau sebagai pengembangan dari sistem surau yang telah ada, yaitu madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah, di antaranya, masing-masing madrasah mempunyai forum muzakarah sendiri, di samping pertemuan berkala pimpinan-pimpinannya yang tidak lain ialah ulama-ulama belaka. Keilmuan Islam yang di pelajari di Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang terbilang padat dan menyeluruh, yaitu fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, mushtalah hadits, nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, ushul fiqih, mantiq, dan arudh qawafi, memungkinkan anak siak (santri) dari madrasah ini untuk ikut menganalisa dalil dan istidlal. Terutama ushul fiqih dan ilmu mantiq, dua pisau, yang mendasari kecakapan menganalisa dalil. Ilmu-ilmu ini dipelajari oleh anak siak selama 7 tahun masa belajar. Kecuali Canduang, yang dulu, menambah 2 tahun untuk Kulliyyah Syar’iyyah, pendalaman ilmu keislaman setingkat perguruan tinggi (kira-kira Ma’had Ali sekarang).

Baca Juga: Dialektika Ulama Minangkabau Polemik Haji Rasul

Di antara Forum-forum Diskusi Muzakarah dari Kalangan Madrasah Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang Dapat Dicatat Ialah:

1. Nadil Mubahatsah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho. Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, madrasah legendaris di Padangpanjang, yang menonjol dalam ilmu alat (nahwu-sharaf-balaghah), ilmu mantiq, dan ushul fiqih. Forum diskusi di madrasah ini sudah berlangsung sejarah masa pendiri madrasah, yaitu Syekh Muhammad Jamil Jaho (Angku Jaho) pada awal abad 20. Di masa ini dipertemukan dua ulama besar, yaitu Syekh Muda Wali al-Khalidi Aceh (ulama terkemuka dan berpengaruh luas di Aceh) dengan Syekh Zakaria Labai Sati Malalo, dua ulama kebanggaan yang selalu menjadi buah bibir sampai saat ini. Mereka berdua dikenal sebagai faqih, ushuli, mantiqi, dan sufi. Mereka berdiskusi hangat perihal masyaqqah dalam salat ‘id. Setelah Syekh Jaho wafat, kegiatan ini tetap dilanjutkan oleh Syekh Muhammad Dalil Dt. Maninjun, seorang ushul dan mantiq. Kegiatan Mubahatsah saat dilakukan sekali seminggu dengan mengikutsertakan anak siak dari kelas I sampai kelas VII. Satu masalah didiskusikan berminggu-minggu. Setiap minggu pembedahan dengan satu cabang ilmu. Misalnya, minggu ini masalah tadi dibedah dengan ilmu lughah, minggu dengan dengan ushul fiqih, minggu satu lagi dengan ilmu mantiq, dan minggu terakhir baru Syekh Muhammad Dalil Dt. Maninjun memberi penjelasan dan mengeluarkan natijah (kesimpulan). Ketika Syekh menjelaskan, tidak ada yang kemudian memberikan pertanyaan, karena penjelasan jelas yang beliau uraikan. Begitu yang diceritakan oleh guru saya, Alm. Drs. H. Ahmad Zaini (wafat 2018), yang belajar di Jaho tahun 1950-an.

2. Mubahatsah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobekgodang. Madrasah ini adalah salah satu madrasah tertua di kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Awalnya ialah halakah pada akhir abad 19 yang kemudian berformulasi menjadi madrasah pada 1928. Mubahatsah pada madrasah ini digawangi oleh ulama-ulama seperti Syekh Ruslan Limbukan, Abuya Rusli Abdul Wahid (salah seorang pimpinan PERTI), dan lain-lainnya.

3. Mubahatsah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Mungka. Madrasah yang berdiri pada kisaran 1930-an. Guru besar pada madrasah ini ialah Syekh Muhammad Jamil Sa’adi (w. 1971), anak kandung Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka. Beliau dikenal sebagai fakih dan ushuli. Mubahatsah pada madrasah ini melibatkan anak siak madrasah dan masyarakat. Di antara yang mengawangi diskusi ialah Alm. Buya Imam Agus Dt. Monti. Manuskrip notulen mubahatsah pada madrasah ini masih dapat dijumpai.

4. Istidlal di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Kotopanjang. Madrasah terkemuka di Payakumbuh, didirikan sekitaran tahun 1930-an, oleh fakih, ushuli, yaitu Syekh Mukhtar Angku Lakuang (w. 1978). Diskusi pada madrasah ini dinamai dengan istidlal, yang dihadiri oleh orang banyak dari berbagai daerah, bukan hanya Limapuluh Kota saja. Undangan disebar bahkan sampai Malalo. Di sini ulama-ulama bermuzakarah sejadi-jadinya, membedah masalah dengan ushul fiqih dan mantiq. Hasil dari Istidlal kemudian dibukukan dalam bahasa Arab oleh Syekh Mukhtar Angku Lakuang sendiri dengan judul “Durus al-Istidlal”. Kitab ini kemudian menjadi mata pelajaran di madrasah tersebut.

5. Pertemuan Bulanan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Secara berkala, sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, ulama-ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengadakan diskusi masalah-masalah keagamaan, yang dikenal dengan nama Muzakarah. Diskusi, setiap bulan, berpindah-pindah tempat dari satu masjid/ surau ke masjid/ surau lainnya. Hal ini diinformasikan oleh Buya H. Nukman Basyir, salah seorang ulama sepuh di Payakumbuh. Menurut beliau, Muzakarah begitu ramai, membahas beragam masalah. Beliau juga bercerita tentang muazakarah mengenai “kemenyan” di Surau Tuo Taram, yang saat itu dihadiri oleh Buya Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu, murid Inyiak Canduang. Sayang notulen-notulen muzakarah tidak ditemui lagi, sehingga tidak dapat dikompilasi sebagaimana mestinya.

Demikianlah tutur yang didengar, warih nan dijawek.[]

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota