Dalam kesempatan ini akan dibahas fungsi nama pengarang, suatu persoalan yang didasarkan pada pengalaman penulis selama belajar di salah satu Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat. Selama menempuh pendidikan agama di madrasah Tarbiyah Islamiyah, penulis nyaris tidak pernah diperkenalkan oleh guru tentang siapa dan bagaimana pengarang-pengarang kitab kuning yang sedang dipelajari. Ternyata beberapa kenalan sesama alumni juga mengaku hal yang sama: bahwa seingat mereka dulu semasa sekolah guru-guru tidak lazim menjelaskan biografi pengarang kitab-kitab yang dipelajari.
Tatkala menjadi santri dulu ketika baru memulai tahun ajaran baru dengan kitab yang baru pula, seingat saya guru langsung saja membahas materi kitab. Misalnya kitab fiqh Fathu al-Qarib. Pelajaran fiqh dengan materi utama kitab ini langsung saja dimulai pembahasan bab Thaharah (bab tentang tata cara bersuci). Tidak ada pengantar atau sedikit uraian tentang siapa pengarang, di mana dia lahir dan meninggal, siapa saja gurunya, bagaimana saja kisah hidupnya yang layak dijadikan teladan dan lain sebagainya.
Kalau pun kemudian akhirnya santri mengetahui nama pengarang suatu kitab yang dipelajari, itu adalah hasil pencariannya sendiri. Misalnya dengan cara mengeja nama pengarang yang tertera di sampul kitab. Nama yang tertera itu biasanya ditulis dengan lengkap sekali, sebagaimana khas budaya penulisan nama pengarang di zaman-zaman keemasan Islam. Dari nama itu dapat diketahui anak dan silsilah keturunan, negeri asal, mazhab pemikiran pengarang (baik i’tiqad maupun fiqh) dan lain-lain. Di sampul itu juga kerap diterakan tahun wafat si pengarang.
Di sini perlu dicatat bahwa keadaan yang diceritakan di atas mungkin sudah tidak sama lagi, sebab pengalaman subjektif penulis terjadi sekian puluh tahun yang lalu. Saat ini mungkin sudah banyak guru-guru yang mencoba memperkenalkan biografi pengarang kitab yang akan diajarkannya kepada santri. Perubahan ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh pendidikan lanjutan guru-guru di mana dia diberi wawasan baru tentang perlunya mengenali biografi pengarang ketika seseorang mempelajari bukunya. Faktor lain yang rasanya juga memungkinkan perubahan itu adalah akses terhadap informasi yang makin gampang saat ini. Sebelum ada internet, seorang guru atau santri masih kesulitan mendapat literatur rujukan kecuali yang tersedia dalam bentuk cetak entah di perpustakaan atau di toko buku. Di zaman google dan wikipedia saat ini, nyaris informasi apa pun yang ingin diketahui tersedia dan bisa diakses dengan mudah.
Sampai di sini pertanyaan yang muncul adalah mengapa pengenalan terhadap biografi pengarang itu tidak dilazimkan oleh para guru Tarbiyah Islamiyah? Kalau pun saat ini sudah mulai dilazimkan, itu terjadi karena kesadaran tentang arti penting biografi pengarang diperoleh guru lewat pendidikannya setelah tamat dari Tarbiyah Islamiyah. Jika guru-guru yang mengajar hanya lulusan Tarbiyah Islamiyah, besar kemungkinan dia tidak akan mengenali arti penting pengenalan terhadap biografi ini. Dan oleh karena itu dia akan mengulangi cara belajar yang dulu dia terima dari gurunya: tanpa “ba-bi-bu” dia akan langsung menghajar pelajaran tanpa memberikan pengantar terlebih dahulu. Jika diungkapkan dengan cara yang lebih abstrak, pertanyaan di atas akan berbunyi: mengapa wacana keilmuan yang beredar dan diedarkan dalam proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah tidak terlalu mengindahkan aspek biografi pengarang. Lebih jauh lagi, bagaimana wacana keilmuan tersebut memahami dan memosisikan pengarang dan status kepengarangan?
Sebelum pertanyaan ini dicoba menjawabnya, masih ada satu pertanyaan lagi yang kiranya lebih mendasar dan realistis. Apa pentingnya pertanyaan tentang biografi dan status kepengarangan tersebut untuk dijawab? Bukankah tradisi belajar-mengajar dengan cara langsung ke materi kitab tanpa perlu tahu biografi pengarangnya itu sudah berjalan selama kurang lebih 100 tahun, mungkin tidak hanya di sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah, melainkan pesantren-pesantren lain, baik yang sifatnya tradisional maupun modern? Lagi pula, bukankah di sekolah-sekolah yang non-pesantren seperti SMP, SMA dan SMK juga tidak pernah diuraikan penulis buku-buku yang dipelajari? Guru fisika, misalnya, tidak akan menghabiskan waktu menguraikan sejarah hidup seorang doktor fisika pengarang buku yang dipelajari murid-muridnya.
Baca Juga: Memaknai Kitab Suci Pendidikan Inyiak Canduang Bag-i
***
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dicoba menjawabnya dengan meminjam pendapat seorang pemikir Prancis berkepala plontos dan dikabarkan kena HIV menjelang akhir hayatnya di tahun 1984. Pendapatnya yang akan dipinjam berkaitan dengan masalah perbedaan antara nama-biasa yang dipakai untuk menyebut atau memanggil seseorang dan nama-pengarang yang dipakai untuk menyebut atau merujuk seseorang yang dikenal sebagai penulis sebuah teks atau sekumpulan teks (buku, artikel, makalah, fiksi, non-fiksi, keagamaan, ilmiah, sastra dan sebagainya). Dalam sebuah artikel berjudul “Apa itu Pengarang” terdapat kutipan sebagai berikut.
Nama-pengarang bukanlah unsur tutur bicara biasa [yang dipakai untuk menyebut atau memanggil seseorang]. Nama-pengarang menjalankan suatu fungsi, yaitu sebagai alat untuk mengklasifikasi (memilah-milah). Sebuah nama-pengarang dapat mengelompokkan sekumpulan teks ke dalam satu kategori dan membedakannya/memisahkannya dari kumpulan teks yang lain. Nama tersebut juga menetapkan hubungan-hubungan berbeda antar satu teks dengan teks yang lain.[1]
Di dalam kutipan di atas terdapat dua kata kunci yang relevan buat kepentingan kita di sini: klasifikasi teks dan hubungan (relasi) teks. Nama pengarang berfungsi untuk mengelompok-ngelompokkan berbagai teks. Pengelompokkan itu bisa didasarkan pada kemiripan antar teks, mana teks yang asal mana yang turunan, penjelasan timbal balik antar dua teks, satu teks membuktikan keaslian teks lain, atau kesamaan manfaat/faidah satu teks bagi teks lain. Nama tersebut juga berfungsi untuk menetapkan hubungan inklusi (mencakup) atau ekslusi (mengecualikan) satu teks ke dalam kelompok teks tertentu.
Dalam khazanah pengetahuan di madrasah Tarbiyah Islamiyah dan pesantren tradisional pada umumnya, nama Syafi’i bukanlah sekadar nama seseorang yang bernama “Syafi’i”, melainkan adalah nama-pengarang yang memiliki fungsi seperti diuraikan di atas. Dalam wacana fiqih/hukum Islam khususnya, dan wacana pemikiran Islam pada umumnya, nama tersebut berfungsi mengelompokkan berbagai teks fiqh dari yang paling awal/tua, yang dikarang sendiri oleh Imam Syafi’i, sampai yang paling muda seperti kitab masalah puasa yang dikarang oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, ke dalam satu kelompok teks, yakni kelompok teks fiqh bermazhab Syafi’iah. Nama tersebut menjadi simpul pengelompokkan, mulai dari kitab fiqh yang tebal berjilid-jilid sampai yang paling tipis, karena di dalam beragam teks fiqh yang tersebar di sepanjang waktu sepeninggal Imam Syafi’i sebagai pendiri salah satu mazhab fiqh terdapat suatu benang merah yang konsisten dan koheren yang memungkinkan kitab-kitab (teks-teks) itu dikelompokkan ke bawah nama Imam Syafi’i. Dengan begitu kitab-kitab yang ada di bawah nama tersebut dikenal misalnya dengan sebutan “kitab-kitab Syafi’iah”, “kitab mazhab Syafi’i” dan sebutan lain yang senada.
Demikian pula dengan kitab-kitab lain, misalnya kitab tauhid Aqwalul Mardhiyah karangan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Kitab ini masih dipelajari sampai sekarang di beberapa madrasah Tarbiyah Islamiyah sebagai pengantar ilmu tauhid. Kitab ini tergabung ke bawah nama-pengarang bernama Abu Hasan al-Asyar’i sebagai pioner i’tiqad ahlus sunnah wal jamaah karena adanya hubungan afiliasi (hubungan asal-usul) pemikiran perihal kalam dan tauhid dalam kitab Aqwalul Mardhiyah itu dengan kitab-kitab yang di sampulnya tertera nama Abu Hasan al-Asyari sebagai pengarang. Nama Abu Hasan al-Asyari sebagai nama-pengarang juga menyisihkan dan membedakan diri dari kelompok teks yang berada di bawah nama Abu Mansur al-Maturidi, misalnya.
Di sini yang jadi poin adalah nama yang tertulis di sampul buku atau kitab saat diposisikan sebagai nama-pengarang (author’s name) memiliki suatu fungsi penting dalam wacana. Nama Syafi’i sebagai nama-pengarang tidak sama fungsinya dengan nama biasa, misalnya, nama Muhammad yang dipakai memanggil seorang manusia yang lahir di Gaza pada tahun 150H/767 M dari seorang bapak bernama Idris anak al-Abbas anak Utsman anak Syafi’i anak as-Saib anak ‘Ubayd anak ‘Abdu Zayd anak Hasyim anak al-Muththalib anak ‘Abdu Manaf anak Qushay. “Syafi’i” sebagai nama-pengarang berfungsi untuk klasifikasi dan penentuan relasi antarteks.
***
Fungsi nama-pengarang sebagaimana yang disinggung di atas tidak sama di setiap waktu dan tempat, dan tidak sama pula di setiap wacana. Berdasarkan penelitian yang dia lakukan, pemikir yang kita kutip sebelumnya mengatakan bahwa di zaman sekarang yang serba harus ada bukti sahih, kisah-kisah legenda dan mitos justru tidak memerlukan nama pengarang, contohnya saja legenda Malin Kundang. Keabsahan Malin Kundang sebagai sebuah legenda tidak memerlukan otentifikasi pengarang karena sejarah dan perjalanan waktu dianggap sebagai bukti yang lebih dari cukup bahwa legenda itu memiliki kegunaan dalam kebudayaan, misalnya dalam wacana moralitas. Lain halnya di zaman Abad Tengah. Di masa itu teks-teks pengetahuan yang di zaman sekarang kita namai sebagai ilmu eksakta, seperti kosmologi, astronomi, kedokteran, ilmu pengetahuan alam atau geografi baru dipandang sahih dan dapat dipercaya jika nama pengarangnya dicantumkan dengan eksplisit. Nama-nama yang terdapat dalam pernyataan seperti “Hippocrates mengatakan bahwa bla-bla-bla” atau “Pliny menceritakan pada kita bahwasanya bla-bla” bukan hanya sekadar tanda bahwa pernyataan ini didasarkan pada otoritas seorang pemikir, dalam hal ini Hippocrates sebagai bapak kedokteran di zaman klasik Yunani dulu dan Pliny sebagai salah seorang bapak ilmu sejarah. Nama-nama tersebut adalah cap/stempel yang menandai bahwa suatu wacana sudah terbukti benar dan dapat diterima apa adanya (a proven discourse).[2]
Selepas Abad Tengah, sekitar abad 17 dan 18 saat terjadi Revolusi Ilmu Pengetahuan, pandangan baru tentang nama-pengarang muncul. Kali ini teks-teks ilmiah, seperti matematika, fisika, dan lain-lain diposisikan di tengah sistem konseptual yang anonim dari kebenaran dan metode yang mapan, yakni kebenaran dan metode ilmiah. Di zaman ini rumus-rumus fisika, kimia atau fisika, dalam wacana ilmu eksakta tidak memerlukan nama-pengarang sebagai cap untuk menjamin keotentikan dan kesahihannya. Kebenaran rumus itu dijamin bukan dengan nama si penemu atau si pengarangnya, melainkan keterbuktiannya berdasarkan eksperimen dan verifikasi ilmiah.[3] Inilah salah satu sebab mengapa di sekolah-sekolah umum, seperti SMP atau SMA, pelajaran eksakta maupun pelajaran ilmu sosial yang berakar pada metode ilmiah tidak memusingkan diri dengan siapa pengarang buku-buku ajar yang dipelajari. Sebaliknya, di wacana lain dan di era yang lebih belakangan, misalnya di dalam wacana ilmu-ilmu humaniora dan sastra, justru nama-pengarang diperlukan ada. Jika suatu teks filsafat atau uraian antropologis tentang suatu budaya tidak mencantumkan nama-pengarang, maka diupayakan melacaknya lewat teks tersebut. Pelacakan ini dilakukan untuk melihat adanya pengaruh latar belakang kehidupan si pengarang terhadap pandangan-pandangan yang dia tuliskan ke dalam teksnya. Pendek kata, nama-pengarang diperlukan untuk melakukan kritik ideologis atas teksnya setelah teks tersebut berhasil diklasifikasi ke dalam kelompok teks tertentu dan berhasil ditetapkan hubungannya dengan teks-teks lain. Contoh sederhana adalah saat membaca teks artikel politik Islam yang menyatakan kewajiban melaksanakan jihad dengan mengangkat senjata demi menegakkan khilafah, pembaca akan menilik siapa penulis artikel itu dan berusaha menemukan biografinya. Dari biografi ini akan terlihat asal-muasal pendapatnya tentang jihad dengan kekerasan tersebut. Dengan kata lain, nama-pengarang diperlukan untuk mengetahui posisi teks yang dia karang di tengah-tengah peta ideologis (paham) yang ada.
***
Sampai di sini mari kita kembali pada pertanyaan di awal tadi. Mengapa di dalam wacana pengetahuan agama yang beredar dan diedarkan dalam lembaga pendidikan Tarbiyah Islamiyah nama-pengarang tidak menduduki peran yang penting-penting amat untuk diuraikan secara panjang lebar.
Jawabannya adalah bahwa nama-pengarang dalam wacana pengetahuan agama di sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah menduduki posisi yang sama dengan yang berlaku di Abad Tengah. Nama-nama pengarang diposisikan sebagai cap atau tanda dari suatu wacana yang sudah terbukti, yang tak perlu dipertanyakan lagi dengan dalih apa pun. Ketika tersebut atau tertulis nama-nama pengarang semisal Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam al-Asyari, dan imam-imam yang lain, nama-nama itu tidak perlu dikenali latar belakangnya (baik biografis, sosial-budaya, sosial-ekonomi, maupun sosial-politik) karena wacana yang termaktub dalam teks-teks karangan mereka sudah proven (dianggap sudah terbukti) dan oleh karena itu tinggal diterima.
Sebuah contoh sederhana akan memperjernih apa yang dimaksud di sini. Di kalangan warga Tarbiyah Islamiyah yang berbicara dalam konteks wacana ketarbiyahan, “Sulaiman Arrasuli” sebagai nama-pengarang teks yang termaktub di pusara beliau “Teroeskan membina Tarbijah Islamijah ini sesoeai dengan peladjaran jang koe berikan” adalah cap dan stempel penjamin kebenaran yang tak dapat diganggu-gugat dari makna dan pesan yang terkandung di dalam teks tersebut. Budaya wacana yang selama ini berlaku di sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah dalam memperlakukan nama-pengarang sebagaimana diungkapkan sebelumnya memang tidak akan mempersoalkan dan menyelidiki dalam konteks apakah pesan Inyiak Canduang itu dibuat, kapan beliau nyatakan, siapa yang mendengar dan menyaksikan beliau berpesan seperti itu dan lain sebagainya. Wacana di sekolah Tarbiyah Islamiyah menerima pesan itu sudah terbukti dengan sendirinya karena ada cap keotentikan dan kesahihannya, yakni “Sulaiman Arrasuli” sebagai sebuah nama-pengarang.
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Tarekat Taqlid dan Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Argumentasi lain yang dapat dikemukakan untuk mendukung pendapat bahwa fungsi nama-pengarang bagi sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah dalam wacana pengetahuan agama yang beredar dan diedarkan dalam proses belajar mengajarnya sama dengan fungsi yang berlaku di Abad Tengah adalah kenyataan kurang terasanya pengaruh ilmu jarh wa ta’dil dalam musthalah hadits ketika mengkritisi atau menyikapi nama-nama pengarang kitab yang dipelajari. Ilmu jarh wa ta’dil adalah bagian dari ilmu musthalah hadits yang berguna dalam menyelidiki kualitas ke-dhabit-an para perawi hadits dan bertujuan mengategorisasi para perawi berdasarkan kualitas sehingga bisa dibedakan mana hadits yang “kuat” dan mana yang “lemah” dari segi periwayatannya. Meski sangat canggih dan berdaya kritis, ilmu ini tidak terlalu populer di sekolah Tarbiyah Islamiyah. Berdasarkan pengalaman penulis, ilmu ini hanya dipelajari dalam kurikulum MA, bukan kurikulum pesantren. Dia juga tidak populer dalam arti hanya dipakai untuk konteks yang sangat sempit, yakni dalam musthalah hadits. Seandainya fungsi nama-pengarang di sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah berbeda dari fungsi yang berlaku di Abad Tengah, katakanlah fungsinya sama dengan fungsi nama-pengarang di dalam khazanah ilmu humaniora dan ilmu sosial zaman sekarang, sudah barang tentu prinsip, konsep serta teori-teori dasar dalam ilmu jarh wa ta’dil tersebut menginspirasi telaah dan pengenalan sosok-sosok yang ada di balik nama-pengarang yang tertera dalam kitab-kitab yang dipelajari.
[1] Michel Foucault, “What is an Author?” dalam Michel Foucault, Language, Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, Oxford: Basil-Blackwell, 1977, hlm. 123.
[2] Michel Foucault, “What is an Author?”, ibid., hlm. 125-126.
[3] Foucault.
Leave a Review