scentivaid mycapturer thelightindonesia

Glorifikasi PKS di Ranah Minang

Glorifikasi PKS di Ranah Minang
Ilustarsi dari https://www.facebook.com/pkssumbar/photos

PKS di Ranah Minang memang “mamacik” belakangan ini tapi itu sebuah glofikasi dan simplikasi yang mengabaikan sistem politik modern yang disebut koalisi. Dan tidak benar pula PKS diterima begitu lempang oleh semua kalangan di Sumatera Barat. Sebaliknya, tak sedikit yang kritis, keki dan berseberangan. Alasannya macam-macam.


Sebelumnya Baca Rubrik Menulis dari Kampung 2 (Wajah Aswaja di Kampung Saya)

Oleh: Raudal Tanjung Banua

Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas bersuku-bangsa Minangkabau dan memeluk agama Islam, dikenal teguh memegang konsepsi suku dan agamanya: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). Hanya saja konsepsi itu terkesan masif ketika berhadapan dengan situasi perubahan sosial-politik yang sangat kencang belakangan. Perubahan kadang dianggap menyentuh puncak marwah “urang awak” terutama saat muncul kasus-kasus menghebohkan terkait syariah.

Salah satu isu yang bertiup kencang dan dianggap mencoreng proses demokrasi adalah politik identitas yang mengacungkan syariat dan membawa-bawa adat. Meski pembahasan perkara ini jauh dari tuntas, dan mungkin memang hil yang mustahal untuk bisa tuntas. Mengingat politik dan identitas tak bisa serta merta dipisahkan. Ia ibarat berada, pinjam sebaris sajak Chairil Anwar, “di batas pernyataan dan impian”.

Bukankah politik modern ala partai politik dan sistem demokrasi yang digadang-gadang, juga penuh simbol, lambang, basis, sejarah, trah dan seterusnya? Itu tak bisa lepas sepenuhnya dari aroma identitas, bukan? Barangsiapa berlebihan menuduh seseorang atau sekelompok puak memainkan politik identitas, ingatlah bahwa proses melekat dan melepasnya “identitas politik” itu, dalam batas-batas tertentu, nyaris jadi milik semua golongan, tak peduli sekutu atau seteru. Yang diperlukan adalah sikap sadar diri. Supaya tahu batas-batas yang pantas untuk dipolitikkan.

Maka jangan dikira politik identitas itu milik satu kaum. Potensinya untuk mencuat di semua lini kehidupan sama besarnya, sepanjang usaha “sadar diri” dianggap ikhtiar sekadar. Persoalannya, kenapa dalam konstelasi tersebut wajah Sumbar disorot amat kentara? Mungkinkah karena daerah ini mengusung dua atribut sekaligus: ya, adat, ya, agama? Keduanya memang kerap dipandang berpotensi membentuk konfigurasi politik identitas, alih-alih identitas politik.

Warna “puak” dan “agama” ini terutama kentara jika dipandang dari luar, tak terkecuali oleh kalangan perantau Minang sendiri. Salah satu yang kerap jadi indikasi, jika bukan simplikasi, adalah pilihan politik orang Sumbar. Karena dipersepsi taat adat taat agama, maka hal pertama yang dicocok-cocokkan dengan pilihan warganya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebuah partai yang kuat dalam simbol agama, dan rapi struktur organisasinya, mengingatkan kita pada rapinya ormas Muhammadiyah yang menjadi naungan banyak orang Minang.

Terbukti kemudian, sejak Pemilu 2010 hingga Pemilu 2019, kader PKS “mamacik” (memegang pucuk pimpinan) sebagai gubernur Sumbar, termasuk sejumlah bupati/walikota. (Anehnya, pembuktian itu justru mengabaikan sistem politik modern yang disebut koalisi). Kota Padang, juga cukup lama di bawah kendali “orang” PKS sebelum akhirnya diambil-alih “orang” PAN—di mana PKS kini bergeser jadi gubernur.

Lagi pula, dalam batas-batas tertentu, PKS menerima dengan “ikhlas” semacam glorifikasi yang mengelaborasi kecenderungan orang Minang kini: hidup sejahtera, suka beramal. Dunia jalan, akhirat kena. Terlepas baru mimpi atau sudah teraih, yang jelas itu semua kudu disosialisasikan melalui upaya-upaya wadag. Sebutlah dalam tata cara berpakaian, cara merawat jenggot, gerakan anti maksiat, atau memperbanyak rumah tahfidz.

Meski madrasah dan sekolah sudah lama menjadi lahan amaliah Perti dan Muhammadiyah, termasuk tentu dalam fiqih berpakaian dan merawat anggota badan. Dan tradisi hafiz (hapal Quran) sudah jadi khas NU atau Perti sejak dulu, hanya tidak dilembagakan saja menjadi rumah tahfidz dan sejenisnya.

Sementara gerakan anti-maksiat juga ada sejak lama. Sejak saya masih remaja, lazim terdengar kabar bahwa bagi yang berlainan jenis menginap di hotel Kota Padang, wajib memperlihatkan surat nikah. Itu sebagai contoh. Dan ingat pula heboh skenario jebakan atas perempuan penghibur di sebuah hotel di Padang, yang katanya mau membongkar praktik maksiat. Penyusun skenarionya tak lain Ade Rosiade dari Gerindra, justru sebagai sinyal kepada walikota Padang yang waktu itu masih dipegang Mahyeldi Ansharullah dari PKS.

Dalam hal pernyataan tokoh “seberang” atau wacana yang dianggap kontradiktif—misalnya soal intoleransi atau Islam Nusantara—tangkisan seolah datang dari PKS yang sedang pasang badan. Padahal kadang PKS tak nongol dalam tangkis-menangkis itu. Malahan yang kerap di depan adalah kalangan MUI Sumbar.

Begitu pula dalam hal Perda Syariah. MUI Sumbar dan tokoh-tokoh adat merupakan pendukung utama Perda Syariah. Pihak eksekutif (bupati/walikota) menginisiasinya dengan mengajukan draft dan persetujuan ke legislatif (Gugun El Guyani dan Moh. Tantowi, Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam, Vol. 1/No.1 Juni 2021). Malahan, di kalangan partai, pendukung Perda Syariah (tingkat provinsi) didominasi Golkar, Demokrat dan Gerindra. Sedangkan partai ber-platform agama seperti PKS, PPP, PAN dan PKB, perolehan kursinya lebih sedikit (Riki Dhamparan Putra, Berdiang di Perapian Buya Syafii, 2001).

Dan tak ada garansi bahwa MUI Sumbar maupun tokoh-tokoh adat selalu cocok dengan PKS. Boleh jadi ada yang berseberangan. Tapi entah bagaimana ceritanya, PKS dianggap klop dengan simpul-simpul Ranah Minang, dan bahkan dalam berpolitik, daerah ini dianggap identik dengan istilah “PKS-PKS-an”. Suatu istilah yang menjadikan PKS seolah basis dan rujukan standar.

***

Selama di kampung, saya mendapat gambaran yang lebih kompleks tentang fenomena dan kecenderungan politik orang kampung. Meski tentu tak dapat disebut tuntas, apalagi sepenuhnya sahih, tapi gambaran itu setidaknya saya dapatkan setelah mengubah posisi; dari yang semula berada di luar, kini berada di dalam. Dari yang semula memandang dari rantau, kini menyaksikan langsung dari kampung halaman.

Maka dalam kesempatan ini langsung saja saya narasikan ungkapan seorang sumber. Bahwa tidak benar PKS diterima begitu lempang oleh semua kalangan di Sumatera Barat. Sebaliknya, tak sedikit yang kritis, keki dan berseberangan. Alasannya macam-macam. Ada yang menganggapnya eksklusif. Ada yang tak suka karena PKS dianggap kurang berpihak pada kebudayaan. Padahal, ingat, selain agama, tumpuan orang Minang itu adalah adat (kebudayaan), yang melengkapi konsepsi ABS-SBK tadi.

Jika “orang” PKS (termasuk yang sudah diamanahkan sebagai gubernur) abai pada kebudayaan, atau hanya menganggap kebudayaan sebatas “pidato” dan “pantun”, sama saja mereka hanya mengambil sepenggal konsepsi adiluhung Minangkabau. Tapi ada juga alasan persiangan interen yang membuat seorang tokoh terdepak dan seorang lain menggantikan. Dan alasan-alasan semacam itu yang memang tak kalis dalam dunia politik di mana pun.

Di atas semua itu, jangan lupakan pilihan politik orang Sumbar itu beragam! Ini yang esensial dan seolah dilupakan. Selain PKS, ada Demokrat, Nasdem, Gerindra, Golkar, PAN, hingga PDIP, PKB, Berkarya, Perindo dan Kasih Bangsa, semua ada. Nantilah diurus soal besar kecilnya suara, yang jelas kan ada. Bupati/walikota di Sumbar rupa-rupa warnanya. Ada dari PAN, PKS, Golkar, Gerindra, PPP bahkan PDIP pun ada, seperti bupati Dharmasaraya dan mantan bupati Kepulauan Mentawai. Itu pun tak bisa diklaim partai asal si calon saja, sebab ada mekanisme koalisi yang menyatukan dua atau lebih partai pengusung paslon.  

Meski konon, orang Minang tidak memilih lambang (partai) tapi orang (sosok/figur). Mungkin itu paradigma sekarang. Sebab jika sekilas ditengok ke belakang, hal ini berbeda dengan masa Orde Baru sedang berjaya. Terlepas dari keterbatasan pilihan, Golkar adalah pilihan lama orang Minang, jauh sebelum ia bernama partai. Pada zaman itu, orang Minang tampak ingin membalik keadaan pasca PRRI yang rontok berhadapan dengan rezim Orde Lama. Rezim Orde Baru dengan mesin politik Golkar-nya muncul jadi sahabat baru.

Terbukti dari kabinet ke kabinet tokoh-tokoh Minang selalu diakomodasi. Saya masih ingat tiap kali ada pengumuman Kabinet Pembangunan, kami anak sekolah di kampung diminta mencatat nama-nama menteri. Kami mencatat cepat-cepat ketika Bapak Presiden mengumumkannya di televisi hitam-putih milik tetangga. Ada tambahan tugas khusus: mencatat berapa dan siapa saja orang Minang yang jadi menteri.

Namun begitu, PPP tetap dapat suara karena di situ ada KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (wah, sosok sudah dipandang juga ketika itu!). Akibatnya, kampung saya “dihukum” untuk tidak dibangun. Jalan tak diaspal, listrik tak jadi masuk dan muara batang Surantih tempat pelabuhan bagan (kapal ikan) tak jadi dikeruk dan tak sepotong papan pun didirikan sebagai dermaga. “Lekat tangan” Golkar terutama hanya dirasakan orang di kota utama Minang seperti Padang, Padangpanjang dan Bukittinggi dan sekitarnya. PDI (waktu itu belum PDIP) tetap saja ada yang memilih terutama ketika Golkar semakin tinggal janji.

Pada awal masa Reformasi, PAN besutan Amien Rais muncul sebagai idaman. Sumbar sebagai basis Muhammadiyah, bagaimanapun dapat momentum untuk dikelola. Tanpa harus ribut-ribut pada isu politik identitas karena cukup tahu batas. Waktu itu saya ingat, salah seorang perantau Minang di Yogyakarta dengan yakin meminta adik kelasnya (seorang aktivis mahasiswa dan dekat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah) setelah wisuda untuk segera terbang ke Padang. Bawa rekomendasi tokoh Muhammadiyah dan bergabunglah dengan PAN, insyaallah karier kau bakal cepat naik di politik, katanya yakin.

Tapi sekali-dua kali musim Pemilu, sihir PAN jadi biasa saja. Orang kampung saya terbiasa menyambut (jika perlu dengan takjub) seseorang atau sekelompok orang yang dianggap punya kelebihan tertentu, tapi setelah “lima tahun” tak ada hal signifikan yang ia perbuat, maka semua biasa kembali. Itulah ibaratnya PAN. Dan untung aktivis mahasiswa yang juga kawan saya tersebut tak jadi pindah ke Padang.

Lalu muncul Partai Demokrat dengan sosok SBY sebagai idola baru; santun, berpengalaman dan cerdas. Saya bayangkan kehadirannya seperti membawa tapak-tilas orang pada pilihan lama mereka, Golkar dengan tokoh-tokoh tipikal itu. Begitu juga Nasdem saya kira. Menariknya, PKB yang dianggap partainya “wong Jatim” dapat tiga kursi di DPRD Sumbar dan tiga kursi pula di DPRD Kabupaten Pesisir Selatan, dalam Pemilu 2019 lalu.

Dukungan paling gemuruh tentu saja kepada Gerindra dalam dua kali Pemilu belakangan. Terutama dengan sosok ketua umumnya, Prabowo, yang dianggap “selera” orang Minang; tegas, berwibawa, cinta bangsa, sayang ulama. Tapi apakah sambutan akan sebesar dua Pemilu lalu jika Gerindra dengan sosok Prabowo maju kembali, saya ragu.

PKS dengan segala dinamikanya, sama belaka posisinya dengan partai itu semua. Tapi kenapa ketika ada kasus-kasus yang dianggap menyerang Minang dan kemudian ditangkis, atau kasus itu muncul di Sumbar sendiri, selalu muncul anggapan bahwa yang heboh itu adalah orang PKS? Di kalangan kawan-kawan di Yogya, saya biasa mendengar ungkapan begini,”PKS beraksi lagi di Minang.” Atau yang lebih menohok,”Dasar wong PKS-an!”

Ketika heboh pernyataan kontroversial Menag Yaqut Cholil Qoumas tentang azan dan suara anjing, ada tokoh Minang berteriak lantang,”Haram baginya menginjak tanah Minang!” Jujur, pikiran saya waktu itu langsung tertuju pada PKS. Seperti otomatis. Mungkin karena sikap fanatik bela agama itu identik dengan PKS (ingat aksi-aksi bela agama dan bela Palestina). Atau saya sendiri yang kurang up-to-date. Terbukti, ketika berada di kampung, sumber saya bilang,”Apak tu tak suka PKS hingga ke tulang!”

Nah! Dia lalu menyebut sejumlah nama tokoh lain yang membuat saya tercengang. Tercengang, sebab melihat dari luar, penampakan profil tokoh-tokoh tersebut identik dengan gaya PKS-an. Baik ABS-SBK sebagai basis dan motif geraknya, maupun isu-isu khas yang ditanggapinya. Padahal, sekali lagi saya mengecek sumber, di antara mereka ternyata banyak yang kurang nyambung dengan PKS. Penyebabnya, ya, macam-macam, namanya orang hidup. Tapi seperti tadi disinggung: ada karena konflik internal/koalisi, karena eksklusif, kurang gaul, dan iklim politik jadi garing karena kurang mengakomodasi kebudayaan, dan lain-lain. Hal yang juga pasti dimiliki partai politik lain, sebagai kelebihan atau kekurangannya masing-masing.

Karena itu, wahai pembaca budiman, hentikan menuduh Sumbar sebagai ajang PKS-PKS-an—terutama dalam konteks isu-isu adat, agama serta undang-undang syariah. Karena dalam isu dan tuduhan itu, banyak pihak bisa bereaksi secara “murni dan konsekuen” jika hal itu mengenai puncak marwah mereka. Meski tak kalah banyak pula yang bereaksi karena kebetulan mengenai “puncak kada” mereka. Ini dua hal yang berbeda.

Menganggap Sumbar atau Ranah Minang identik dengan PKS, niscaya glorifikasi yang nyata. Kecuali kalau ente memang mau menjadikan Sumbar sebagai basis PKS nomor wahid—setidaknya untuk penggiringan opini!

Wallahu’alam bissawab.

Selanjutnya Baca Menulis dari Kampung (4): Sebuah MTI “Perjuangan” di Tabek Tinggi

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.