Syekh Sulaiman Arrasuli, atau yang biasa disebut dengan Inyiak Canduang, merupakan salah seorang ulama ranah Minang. Ia dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1871 di canduang, Agam, Sumatera Barat. Inyiak Canduang juga dikenal sebagai seorang pendiri organisasi islam yang (lumayan) besar di Indonesia, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau PERTI.
Inyiak Canduang dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Ayah dan kakeknya merupakan ulama yang disegani di Canduang. Karena hidup dalam nuansa islami sejak kecil, ia lebih paham tulisan menggunakan arab melayu terlebih dahulu/ pegon, ketimbang huruf latin. Ini terlihat dari beberapa karyanya yang kebanyakan berbahasa melayu menggunakan huruf arab melayu.
Salah satu karyanya adalah Nasehat Siti Budiman. Bagaimana sosok Siti Budiman sebagai protagonis dijelaskan oleh Inyiak Canduang sebagai pelaku yang hidup di Minangkabau. di jelaskan bahwa hidup di Minangkabau mempunyai tiga karakter. Sebagai individu, sebagai makhluk komunal, dan sebagai hamba tuhan yang taat. Manusia yang hidup sebagai individu harus mempunyai budi. Budi di Minangkabau diartikan sebagai perbuatan baik. Hal ini termaktub dalam sebuah adagium:
Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nan indah iyolah bahaso
Orang yang berbudi tahu kedudukannya dimana. Tetap rendah hati dan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan kultur budaya setempat. Budi juga diartikan sebagai kapasitas manusia untuk mengukur dirinya dalam bertindak dan bertanggung jawab. Disempurnakan oleh pepatah lain “raso pareso” sebagai tolak ukurnya. Kemudian dikuatkan dengan “alua nan patuik” bukan “nan patuik di alua”. Sehingga, semua elemen diatas melahirkan “baso basi” yang menjadi dasar hidup di alam Minangkabau.
Sedangkan manusia sebagai makhluk komunal, manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, seharusnya saling bekerja sama dalam setiap hal. Gunanya adalah “ringan samo di Jinjiang, barek samo dipikua”. Juga manusia sebagai manusia makhluk yang tidak bisa sendiri dan membutuhkan orang lain untuk menyempurnakan pekerjaannya, maka semua bentuk manusia, apapun sukunya, harus saling tolong menolong dan saling menghargai. Adagium telah menjelaskan hal ini:
Nan buto paambuih lasuang
Nan lumpuah ka panjago rumah
Nan pakak palatuih badia
Nan kuaik paangkek baban
Nan cadiak lawan baiyo
Nan bodoh ka disuruah suruah
Terakhir, manusia sebagai hamba tuhan, sepatutnya dan seharusnya melaksanakan ketentuan yang telah diberikan. Salah satu aturan tuhan adalah berpengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan. Masyarakat Minangkabau dari dahulu sudah mengajarkan untuk menjadikan guru siapapun dalam kehidupan. Bahkan alam semesta sebagai ayat kauniyah pun dapat dijadikan sebagai guru. Seperti termaktub dalam adagium:
Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Salodang ambiak ka niru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru
Pelajaran besar yang diutarakan oleh Inyiak Canduang dalam nasehat Siti Budiman, dimana Siti Budiman sebagai protagonis, memberikan sebuah gambaran dari suatu daerah yang damai dengan struktur yang sangat baik dan manusiawi. Bagaimana menjadi manusia yang memanusiakan, berpengetahuan, dan menjadi hamba yang taat kepada entitas yang lebih tinggi. Bagaimana Inyiak Canduang mengambarkan sosok Siti Budiman yang memiliki semua itu, sehingga seluruh persoalan dapat diselesaikan dengan jawaban yang endingnya membahagiakan.
Jika melihat realitas sekarang, dimana ketiga aspek/ karakter tersebut tidak lagi terdapat di tubuh manusia yang hidup. Tidak mengherankan yang terjadi sekarang seperti yang kita rasakan. Bagaimana semua diobrak abrik oleh nafsu yang bergejolak, tidak manusiawi, dan sok merasa paling benar. Sesuatu yang tidak sependapat dengannya akan dijadikan sebagai musuh yang harus dihilangkan seperti hama. Sesuatu yang bukan miliknya, dengan penuh nafsu, berusaha dengan tanpa malu agar itu menjadi haknya. Dan bagaimana seorang yang mengaku mendapat sesuatu, lalu mengoar-ngoarkan bak satria tanpa takut mengganggu hak orang lain.
Masih banyak carut marut dunia dengan semua ketidak sempurnaannya melingkupi ruang ruang jiwa manusia. Bahkan sudah mencapai titik alam bawah sadar. Semua seakan tidak peduli dengan tetangga yang kekurangan, anak yatim yang terlantar pendidikannya karena tidak ada biaya, fakir miskin yang menyembunyikan tangisnya didalam karung beras yang hanya ditemani oleh beberapa butir beras yang akan ditanak, janda tua yang harus membungkus labu siam demi memenuhi haknya lambung, dan masih banyak lagi. Kepedulian manusia hanya terletak pada “panjat sosial” yang unfaedah.
Andai Inyiak hidup dizaman sekarang, ia akan mengoarkan laku Muhammad Arif sembari meluruskan kumisnya dan menyela nyela jenggotnya. Di nisan yang sudah memudar warnanya, di bawah keramik yang dihiasi bunga bunga, di rantai yang sudah mulai berkarat, dan di tugu yang tetap tabah berdiri disamping menjadi kawulanya, “jadilah seperti Arif, jadilah seperti Arif, jadilah seperti Arif. Sesungguhnya menjadi seperti Arif adalah kearifan sejak dalam pikiran. Sesungguhnya menjadi seperti Arif adalah titik keseimbangan menjadi manusia. Sesungguhnya menjadi seperti Arif adalah kemuliaan berfikir, keluhuran budi, pertanggung jawaban yang mantap, dan rahasia yang besar. Sesungguhnya menjadi seperti Arif adalah laku yang tepat, jiwa yang tenang, dan tubuh yang tahan banting terhadap carut marut sesuatu yang fana ini. Jadilah seperti Muhammad Arif, jadilah seperti Muhammad Arif, dan jadilah seperti Muhammad Arif……………………” suara itu bergumam rendah dari balik tanah yang dihiasi kerikil putih dan rumput hijau sedikit menguning.
Leave a Review