Syekh H. Anwar dilahirkan di desa Seribandung, suku pedalaman Sumatera bagian Selatan pada 1902 M., dikenal dengan sebutan Penesak[1] [istilah ini juga ditulisnya dalam pendahuluan kitabnya ini], mengadopsi istilah studi Mestika Zed dan Peeters[2] sebagai daerah alam uluan (tradisional). Ayahnya, H. Kumpul bin H. Marudin dan ibunya, Kawah Maseha binti Gemuk Rasib[3] adalah sosok orang tua yang hidup sederhana dan taat beragama. Dasar agama yang kuat dan haus akan ilmu ditanamkan oleh kedua orang tuanya.
Dalam keterbatasan apa yang dimiliki orang tuanya, ia tidak surut guna memperdalam ilmu agama Islam. Seribandung sebagai desa kelahirannya dan menetap, ditinggalkan demi memperdalam agama Islam ke desa-desa untuk menemui kiai-kiai setempat, yang sudah dulu dan lama belajar di Makah secara talaqqi. Di Meranjat misalnya, Syekh H. Anwar menemui Kiai Hamid belajar tauhid, di Kayuagung memperdalam ilmu al-Qur’an, di Sakatiga memperdalam ilmu alat (nahwu dan sharaf), desa atau daerah yang dikunjunginya itu merupakan wilayah di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tidak hanya di daerah itu saja, menurut penuturan Kiai H. Hizbullah Abdul Mutholib Sakatiga[4] (w. 2017 M) setelah Syekh H. Anwar belajar di Sakatiga, ia lalu ke Jambi didampingi oleh ayah tercinta dan temannya, Kiai H. Bahri Pandak dan Kiai H. Ali, di sana juga berjumpa dengan Kiai H. Hasan Qolay Campangtiga (OKU Timur), dan Kiai H. Mallawie Husein (l. 1904 M). Tahtul Yaman nama desa tempat Syekh H. Anwar memperdalam ilmu agama Islam tahun 1923 M., madrasah ini berdiri sejak tahun 1915 M. Guru Gemuk begitu murid-murid memanggilnya, salah satu guru yang masyhur dan wara’, selain itu juga, guru lainnya adalah Guru H. Abu Bakar, Guru Uzier. Berkat keuletan dan kesabarannya, disiplin ilmu seperti nahwu, sharaf, tafsir, hadis, faraidh serta aljabar ia kuasai. Tidak hanya terhenti di madrasah ini, keinginan kuat Syekh H. Anwar menggali agama hingga sampai ke kota suci Makah pada 1927 M, di sinilah ia lalu berjumpa dengan para ulama dunia, tidak sedikit berasal dari Nusantara, di antara gurunya, Syekh Muhammad al-Masysyâth, Syekh Mukhtar Betawi dan lainnya. Ia juga bertemu dengan teman sebayanya berasal dari Campangtiga, yaitu Kiai H. Daud Rusydi (w. 1987 M).
Baca Juga: Syekh Ongku Tanjuang dan Syekh Ongku Tobek
Pola pendidikan di Madrasah Shawlatiyah Makah dan Madrasah Sa’adatud-Darain Jambi berpengaruh dengan pemikiran dan pengamalan keagamaan Syekh H. Anwar. Selepas mengembara ilmiahnya itu, cita-cita luhur mengembangkan dan menyiarkan Islam di tanah air menjadi semangatnya untuk terus berdakwah menerapkan di daerah asalnya, dan sekitar. Usaha itulah yang kemudian menjadi cikal bakal madrasah yang didirikannya tahun 1932 M., dibantu oleh Kiai H. Mulkan bin Tohir (w. 1961 M). Seiring waktu, madrasahnya didatangi oleh berbagai orang yang ingin belajar agama, nama Syekh H. Anwar masyhur di kalangan ulama di Sumatera hingga Singapura[5], ribuan murid belajar kepadanya. Pola pembelajaran dengan ciri melayu itu, merupakan cikal bakal pesantren Melayu di Sumbangsel abad ke-20, sebagai pesantren tertua di Sumatera Selatan.
Di samping membuat lembaga pendidikan agama dan berdakwah dari desa ke desa, Syekh H. Anwar masih menyempatkan untuk menulis berbagai disiplin ilmu. Sejauh informasi didapati ada sebelas karya (kitab) –kebanyakan beraksara Arab-Melayu–[6] sebagian dari karyanya diajarkan di madrasah yang diasuhnya. Kecintaannya akan ilmu pengetahuan disalurkan kepada anak-anaknya, sebut saja Kiai H. Ahmad Dumyati yang dikirimnya ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Mudo Waly, tidak heran maka Syekh Abdul Wahab Muridillah yang berasal dari Aceh pernah menjadi guru di madrasahnya. Jaringan silaturahmi Syekh H. Anwar melalui hubungan anak-anaknya terjalin dengan baik. Selain itu, anak lainnya, Kiai H. Fakhrurrazi dan Nyai Halimah dikirim ke MTI Padang untuk belajar di sana, bertemulah dengan Kiai H. Sirojuddin Abbas dan Nyai Ummi Syamsiah. Hubungan itu terus berjalan dengan harmonis, selepas Kiai Fakhrur belajar di Padang kemudian dikirim untuk mendalami ilmu di Universitas Al-Azhar Cairo. Inilah cara Syehk H. Anwar membentuk generasi setelahnya, anaknya disiapkan untuk dapat bermanfaat di tengah-tengah umat.
Sosok Syekh H. Anwar (w. 1959) menjadi ujung tombak berkembangnya paham ahlus sunnah wal jama’ah di Sumbagsel, –tanpa meniadakan sosok ulama lain– dengan jaringan (network) murid-muridnya yang menyatu di tengah-tengah umat. Sungguh jiwa dan hidupnya untuk menyiarkan agama Islam, sebagaimana langkah yang ditempuh oleh para ulama pendahulu dalam menyiarkan Islam di bumi Nusantara. []
* Tulisan ini telah dimuat pada pengantar editor dengan judul Pergumulan Intelektual Syekh H. Anwar Seribandung, Sebuah Pengantar atas bukunya Muhammad Daud berjudul Syekh H. Anwar Seribandung: Cahaya Islam dari Uluan Palembang (2017; Mata Aksara, Jakarta).
[1] Suku Penesak, disebut juga suku Sasak, dikatakan demikian berasal dari kata “terdesak”, mundur ke belakang. Kata terdesak ini sesuai dengan realitas historis bahwa suku ini dari tata bahasanya dianggap sebagai orang Melayu Palembang, bahkan dari beberapa sumber wawancara mereka ini dianggap sebagai orang-orang Palembang asli yang dulunya mendiami Kraton Palembang. Dedi Irwanto M. Santun dkk, Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang, 2010, Eja Publisher, Yogyakarta, h. 91. Ada dua versi tentang migrasi suku ini ke daerah uluan. Versi pertama, sumber lisan, bahwa mereka berasal dari masa akhir Sriwijaya dan masa awal berdirinya Kerajaan Palembang sebagai pendahulu Kesultanan Palembang awal. Mereka dianggap pewaris kebudayaan Hindu-Buddha di zaman Sriwijaya yang merasa tidak mau mengakui kekuatan Islam yang baru muncul. Akibatnya, mereka bermigrasi ke pedalaman dengan naik perahu masuk ke sungai Ogan dan menyebar di Tanjung Lebak Penesak yang bertanah talang. Mereka dikenal juga sebagai suku seniman dengan seni mendirikan rumah, membuat perhiasan dari emas, perabotan rumah tangga dari almunium dan kerajinan pandai besi khas Palembang. Versi kedua, menyebutkan bahwa suku ini eksodus ke daerah pedalaman pada masa yang lebih muda. Ketika pecah Perang Banten dan Palembang, yang diikuti oleh kekalahan Banten tahun 1596 M, sehingga mereka masuk ke daerah pedalaman di uluan. Dari dua versi, tampaknya versi pertama lebih mendekati, jika dihubungkan dengan bahasanya yang lebih condong ke Melayu Palembang, dari pada Palembang-Jawa atau Bahasa Banten pada masa Kesultanan Palembang.
[2] Ibid, h. 1-2, dalam Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950, Jakarta, LP3ES, 2006. Jaroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, INIS, Jakarta, 1997.
[3] Hj. Amiah binti H. Abdullah bin Nyahat (l. 1931 M, murid Syekh H. Anwar), “Wawancara Pribadi”, Seribandung, tahun 2003.
[4] H. Hizbullah A. Mutholib (pjs. Mudir Pesantren Sakatiga, 1984), “Wawancara Pribadi”, Indralaya, tanggal 23 November 2013.
[5] Syekh H. Anwar di Singapura pernah berdakwah menyiarkan Islam bersama Syekh Jamil Jaho, setidaknya pola pendidikan Melayu di Singapura terpengaruh dengan metode yang disampaikan oleh Syekh H. Anwar. Maka syiar Seribandung sebagai icon pesantren yang didirikannya itu, muncul sosok Ahmad Syukur dari Singapura belajar ke Pesantren Seribandung, termasuk dari Malaysia 10 orang murid.
[6] Hafidhuddin, “Studi Islam Melayu: Melacak Karya-karya Kyai H. Anwar Seribandung-Palembang”, dalam Jurnal Tamaddun, Vol. XVI No. 2 Des 2016, Fak. Adab UIN Raden Fatah Palembang, h. 257 dan seterusnya.
Leave a Review