scentivaid mycapturer thelightindonesia

Hadis Tanpa Fikih, Apa Jadinya?

Hadis Tanpa Fikih, Apa Jadinya
Foto Ilustrasi/Dok. https://www.wallpaperbetter.com/id/search?q=kendi&page=2

Hadis Tanpa Fikih

Oleh: Yendri Junaidi

Aneh kalau ada yang berkata, “Kesampingkan akal di hadapan Sunah”, atau “Agama Islam sudah sempurna. Kita cukup Copy Paste saja,” dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seolah-olah sebuah nash, baik ayat maupun hadis, bisa langsung diamalkan tanpa dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal. Tak ada yang lain.

Dari dulu para ulama sudah memperingatkan akibat kalau sebuah hadis tidak dipahami dengan baik. Hebatnya, yang memperingatkan itu justru para ulama hadis sendiri. Walaupun memang, banyak dari ulama masa itu yang menghimpun antara hadis dan fikih, riwayah dan dirayah, penukilan dan pemahaman. Tapi tidak sedikit juga yang keahliannya hanya sekadar meriwayatkan saja, tidak memahami apa yang diriwayatkannya.

Ini yang disentil oleh Imam Ibnu al-Jauzi رحمه الله dalam kitabnya Talbis Iblis. Ia mengatakan bahwa diantara bentuk talbis (kerancuan) yang dilemparkan Iblis kepada ashab hadits adalah mereka menghabiskan usia untuk mengumpulkan berbagai jalur periwayatan hadis, mengejar sanad yang tinggi, menghimpun matan-matan yang asing dan langka, lalu mereka mengabaikan sesuatu yang jauh lebih penting dari itu; memahami substansi hadis.

Baca Juga: Dalilnya Apa? Nalar atau Hadis?

Ibnu al-Jauzi menceritakan suatu kisah yang cukup menggelikan. Ia berkata, “Sebagian ahli hadis meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melarang seseorang untuk mengairi tanaman orang lain. Mendengar hadis itu, beberapa dari mereka berkata, “Kami, sebelum ini, kalau ada air yang berlebih di kebun kami, memang kami alirkan ke kebun tetangga kami. Tapi sekarang kami menyesal dan mohon ampun kepada Allah سبحانه وتعالى.”

Ibnu al-Jauzi berkata, “Mereka (pembaca dan pendengar hadis itu) tidak memahami bahwa yang dimaksud dalam hadis itu adalah larangan menggauli budak yang sedang hamil (jadi ia bahasa kiasan atau majazi, bukan hakiki).”

Imam al-Khattabi رحمه الله juga pernah menceritakan kisah sejenis. Ia berkata, “Ada diantara guru kami yang meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم :

نهى عن الحلق قبل الصلاة يوم الجمعة

“Beliau melarang al-halq/al-hilaq sebelum salat di hari Jumat.”

Ia membacanya dengan lam yang sukun pada kata الحَلْق (yang berarti memangkas rambut). Lalu ia berkata, “Sudah 40 tahun lebih aku tidak pernah memotong rambut sebelum salat di hari Jumat.”

Saya (al-Khattabi) berkata padanya, “Kata الحلق itu tidak dibaca الحَلْق , melainkan الحِلَق yang merupakan bentuk jamak dari kata الحلقة (yang berarti berhalaqah atau melingkar dalam sebuah majelis). Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang hal itu dilakukan sebelum salat Jumat agar orang fokus pada khutbah dan menyiapkan diri secara maksimal untuk salat.

Mendengar itu ia berkata, “Terima kasih, engkau telah mencerahkanku.” (Begini semestinya ketika seseorang ditunjukkan kekeliruannya, sekalipun datang dari muridnya).

Baca Juga: Menyoal Hadis Jariyah: (di Mana Allah?)

☆☆☆

Tulisan ini tidak untuk merendahkan atau mendiskreditkan para perawi hadis. Karena tanpa mereka tentu banyak hadis yang tidak sampai pada kita hari ini. Hanya saja setiap orang memiliki kompetensi masing-masing. Tidaklah sesuatu yang tercela ketika seseorang ahli di satu bidang tapi sangat awam di bidang yang lain. Karena itu, ambillah ilmu dari ahlinya. Masalah akidah ambil dari ulama ushuluddin, masalah halal dan haram ambil dari ulama fikih, masalah riwayat ambil dari ulama hadis, dan seterusnya.

Mengambil masalah halal dan haram dari ulama hadis tentu sesuatu yang keliru. Kalau untuk masalah halal haram saja keliru apalagi untuk masalah akidah. Kecuali kalau ulama itu kompeten di segala bidang, dan ini sangat jarang, tentu bisa dijadikan sebagai rujukan.

Karena itulah Imam Ibnu al-Jauzi menegaskan:

واعلم أن عموم المحدثين حملوا ظاهر ما تعلق من صفات الباري سبحانه على مقتضى الحس فشبهوا لأنهم لم يخالطوا الفقهاء فيعرفوا حمل المتشابه على مقتضى الحكم

“Ketahuilah, umumnya para muhaddits memaknai apapun yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah secara zahir kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Akhirnya mereka melakukan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini karena mereka tidak berbaur dengan para fuqaha untuk bisa memahami bagaimana seharusnya memaknai mutasyabih dalam konteks muhkam.”

والله تعالى أعلم وأحكم

Yendri Junaidi
Alumni Perguruan Thawalib Padangpanjang dan Al Azhar University, Cairo - Egypt