scentivaid mycapturer thelightindonesia

Haji Rasul: Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau serta Pembela Kunut Subuh dan Jahar Bismillah

Haji Rasul: Pembawa Muhammadiyah ke Minangkabau serta Pembela Kunut Subuh dan Jahar Bismillah
Ilustrasi/dok. Buku Hamka, Ayahku

Haji Rasul

Minangkabau (baca: Sumatera Barat) ialah daerah pijakan Muhammadiyah periode awal di luar Jawa. Beberapa disertasi dan tesis mengenai Muhammadiyah di Minangkabau telah ditulis, di antaranya yang populer Dr. Alfian dengan judul terjemahannya: “Politik Modernism Muhammadiyah di Indonesia” (Cornell University), yang fokus penelitiannya ialah Minangkabau, selain Yogyakarta.

Di daerah ini, Minangkabau, organisasi modernis Muhammadiyah cukup berkembang disokong oleh ulama-ulama yang tergolong kepada “Kaum Muda” ketika itu. Ulama-ulama dari kaum muda telah menguatkan pengaruh sekitar tahun 1906, di waktu sebagian ulama mendapat pengaruh Majalah al-Urwatul Wusqa (yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani) dan al-Manar (diasuh oleh Rasyid Ridha, Mesir). Salah seorang tokoh utama “Kaum Muda” di Minangkabau ialah Syekh Doktor fid Din Abdul Karim Amrullah (1879-1949), atau yang lebih dikenal dengan “Inyiak Deer” atau “Haji Rasul”, beliau ialah ayahanda dari Buya Hamka.

Buya Hamka dalam bukunya yang terkenal “Ayahku” menuliskan tentang awal mula Muhammadiyah masuk ke Minangkabau. Ketika itu ayahnya -Haji Rasul- melawat ke Yogyakarta, beliau bertemu dengan pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Sangat besar sambutan Kiai Ahmad Dahlan kepada Haji Rasul, sebab Majalah al-Moenir (terbitan Padang yang salah satu redaksinya ialah Haji Rasul) ternyata telah sampai ke Yogyakarta, dan majalah tersebut menyokong paham ulama-ulama Muhammadiyah. Apatah lagi, konon Kiai Ahmad Dahlan juga satu guru dengan Haji Rasul di Mekah, yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916). Bertemulah kedua ulama ini dengan hangatnya; keduanya saling isi-mengisi, Haji Rasul memberikan ide-ide segar kepada Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Ahmad Dahlan menitipkan Muhammadiyah kepada Haji Rasul.

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Ulama Besar Minangkabau

Pada tahun 1925, menurut catatan Buya Hamka, pulanglah Haji Rasul ke kampung halamannya Sungai Batang, Maninjau. Di Sungai Batang ini pertama sekali dibuka cabang Muhammadiyah untuk daerah Minangkabau. Dibentuk sebuah pengurus cabang yang diisi oleh murid-murid Haji Rasul, termasuk anak beliau, Buya Hamka, namun Haji Rasul tidak pernah tercatat menjadi anggota Muhammadiyah, meski beliau dalam muktamar-muktamar Muhammadiyah menjadi tetamu kehormatan, sederajat dengan Kiai Mas Mansur.

Sampul depan kitab al-Syir’ah: karya Haji Rasul

Meski digolongkan kepada “Kaum Muda”, dan menjadi pionirnya, dan bertindak sebagai pembawa “Muhammadiyah” ke Minangkabau, Haji Rasul tetap dalam pendiriannya. Pendiriannya dalam soal agama dituangkan dalam karya tulisnya, yang sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 31 judul. Dari karya-karya ini kita bisa mengenal secara mendalam mengenai kepribadian dan pemikiran Haji Rasul sebenarnya, yang saat ini banyak disalahpahami oleh sebagian peneliti.

Salah satu karyanya yang cukup populer ialah “al-Syir’ah fi Radd ‘ala man Qala al-Qunut fi al-Shubh Bid’ah wa anna al-Jahr bi al-Basmallah Bid’ah aidhan” (Bukittinggi: Drukkerij Tsamaratul Ikhwan, 1938), yang secara sederhana judul ini bermakna: “al-Syir’ah (pengumuman) penolak orang yang mengatakan kunut subuh bidah dan menjaharkan (mengeraskan suara) bismillah bid’ah”. Dalam karyanya ini Haji Rasul mengupas dalil-dalil, berupa hadis-hadis dan qaul fuqaha mengenai kunut subuh dan menjaharkan bismillah. Kesimpulannya kunut subuh tidak bidah, malah sebaliknya, kunut subuh ialah sunat diamalkan. Begitu pula mengenai menjaharkan bismillah dalam salat jahar (salat magrib, isya dan subuh berjamaah) bukan merupakan bid’ah, malah menjaharkan bismillah disyari’atkan, terbentang dalam dalil-dalil yang sharih.

Baca Juga; Syekh Batu Hampar dan Jejak Tokoh Pendidikan Tradisional Surau di Pedalaman Minangkabau

Begitulah sosok ulama-ulama silam: baju boleh berupa-rupa warna, namun yang namanya prinsip pantang diubah, dianjak, digeser walau sedikit pun; mereka ialah ulama-ulama yang berprinsip dan teguh dalam prinsip tersebut sampai badan berkalang tanah. Begitu pula yang dipegang oleh generasi yang digolongkan kepada “ulama modernis” berikutnya, seperti Prof. Mahmud Yunus, Buya Hamka dan Buya MD Dt. Palimo Kayo. Penulis mendapat kesaksian mata dari tokoh-tokoh yang pernah menyaksikan mereka ini. Dari Abuya Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno (87 tahun), Pimpinan Madrasah al-Manar Batu Hampar Payakumbuh, kesaksian pandangan mata beliau, ketika Mahmud Yunus dan Buya Datuak Palimo Kayo ketika diundang ke Batu Hampar, mereka dijadikan imam salat subuh, dan mereka berkunut subuh. Begitu juga Buya Hamka, ketika mengimami salat subuh di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Padang juga berkunut subuh. Hal ini diungkap oleh Abuya Drs. H. Abdul Jalal, dosen senior usul fikih dan fikih IAIN Imam Bonjol Padang.

Al-Fatihah….. Rahimahumullah, semoga mereka –ulama besar Minangkabau itu- mendapat tempat yang selayak-layaknya di sisi Allah. Amin.

*Tulisan ini berdasarkan

  1. Kitab “al-Syir’ah fi al-Radd ‘ala Man Qala al-Qunut…” (1938)
  2. Buku “Ayahku” dan “Islam dan Adat Minangkabau” (Hamka), buku-buku lainnya.
  3. Kesaksian mata Abuya H.Sya’rani Khalil Dt. Majo Reno dan Abuya Drs.H. Abdul Jalal.
Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota