scentivaid mycapturer thelightindonesia

Hatta dan Kelompok Muda pada H-1 Kemerdekaan

Buku Berjuang dan Dibuang/Desip Trinanda

“Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan karena itu, ia tidak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan itu setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan kembali.”

Mohammad Hatta

Demikian disampaikan Hatta dalam pidatonya di tengah lapangan Ikada 8 Desember 1942, setelah setahun meletusnya perang Pasifik. Kegigihan Hatta dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan melawan penjajahan memang tak diragukan lagi, seperti yang disinggung sebelumnya di Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta dan Bung Hatta: Pendidikan Politik . Sekarang saya akan melanjutkan ulasan ke jilid III, berjudul Menuju Gerbang Kemerdekaan, sekaligus jilid penutup dari buku tersebut.

Dalam jilid III ini, Hatta memulai bukunya dengan cerita kedatangan Jepang ke Indonesia pasca kekalahan Belanda dalam perang Pasifik, pada 9 Maret 1942. Kedatangan Jepang tersebut bagi Hatta berbeda dengan Belanda sebelumnya. Jepang berjanji membantu memerdekakan Indonesia. Hal tersebut terlihat ketika Hatta ditawari Jepang sebuah pekerjaan. Sebelum menerima, Hatta bertanya kepada Pemerintah militer Jepang: Apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Lalu dijawab: Sama sekali tidak, Jepang datang ke Indonesia untuk menolong memerdekaan Indonesia dari penjajah (lihat halaman 19).

Pada akhirnya Hatta menerima tawaran tersebut, tetapi bukan sebagai pegawai pemerintahan melainkan sebagai adviser. Dengan menjadi adviser Hatta dapat membantu masyarakat dari tekanan pemerintah militer Jepang, menasehati pemerintah Jepang, dan menolak perintah dari militer Jepang. Karena pada saat Jepang menguasai Jawa, semua partai dibubarkan dan pergerakan kemerdekaan rakyat dilarang (lihat halaman 39).

Janji Jepang dan Persiapan Kemerdekaan

Pernyataan janji yang diberikan oleh pemerintah militer Jepang terhadap Hatta akhirnya ditepati. Tepat pada permulaan September 1944, tersebar ucapan PM Koiso yang menggantikan Tojo sebagai perdana menteri Jepang, bahwa ia akan memerdekakan Indonesia (lihat halaman 64). Semenjak itu, banyak perubahan terjadi di Jawa. Jepang membolehkan lagu Indonesia Raya dinyanyikan kembali, bendera Merah Putih dikibarkan bersama bendera Jepang (Hinomaru), bahkan pada akhir Desember 1994, beberapa orang Indonesia diangkat sebagai wakil ketua departemen di pemerintahan militer Jepang. Untuk menyikapi janji tersebut, pada Mei 1945, dibuat sebuah Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia tersebut dipimpin oleh dr. Radjiman Wediodiningrat yang ditunjuk oleh pemerintah militer Jepang (Gunseikan). Badan tersebut terdiri dari 60 anggota.

Pada 29 Mei 1945, sidang panitia dibuka oleh ketua panitia dengan menanyakan.

“Apa dasar negara yang akan kita bentuk?” ujar Radjiman

Pada awalnya, pertanyaan itu tidak dijawab oleh kebanyakan anggota sidang, karena khawatir terjadi pertikaian filosofis. Pada hari ketiga, terjadi perdebatan sengit antara golongan yang mengusungkan negara Islam dan golongan mempertahankan negara yang bebas dari agama. Baru pada hari keempat, tepatnya 1 Juni 1945, Soekarno berpidato. Pidato tersebut di kemudian hari kita kenal sebagai embrio lahirnya apa yang kita kenal dengan Pancasila.

Pada permulaan Agustus 1945, Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia dibubarkan, diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno (Ketua) dan Hatta (Wakil), dengan anggota 9 orang dari Jawa dan 12 orang dari luar Jawa. Pada 9 Agustus, Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat diutus oleh pemerintah militer Jepang ke Tokyo, tempat panglima seluruh angkatan perang Jepang sekaligus bertemu dengan Jenderal Teruchi.

Baca Juga: Pelajaran Hidup dari Mohammad Hatta

Sampai di Tokyo, Jenderal Teruchi mengucapkan selamat dan menyampaikan pidato bahwa pemerintah Jepang Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pernyataan tersebut dijawab oleh Soekarno: Kapan putusan Tokyo tentang kemerdekaan Indonesia dapat kami ucapkan kepada rakyat Indonesia? Jenderal Teruchi menjawab, terserah kepada Panitia Persiapan. Kapan saja dapat. Itu sudah menjadi urusan tuan-tuan (lihat halaman 68).

Setelah kembali ke Indonesia, mereka disambut oleh jenderal dari Gunseikan sekaligus diajak ke istana Gunseireikan (pemerintahan tertinggi militer Jepang). Di sana disampaikan putusan Tokyo. Kedepannya panitia persiapan dapat melaksanakan Indonesia merdeka.

Tak lama sesudah itu, datang kabar yang dibawa Sjahrir kepada Hatta bahwa Jepang minta berdamai dengan Sekutu. Sjahrir mengusulkan kepada Hatta supaya kemerdekaan Indonesia lebih baik disampaikan Soekarno melalui corong radio ketika itu juga. Jangan sampai dilakukan oleh Panitia Persiapan. Hal ini dimaksudkan agar kemerdekaan Indonesia tidak dicap oleh sekutu sebagai ‘’Indonesia merdeka buatan Jepang’’.

Hatta sebenarnya setuju dengan apa yang disampaikan Sjahrir, tetapi Hatta bertanya-tanya, apakah Soekarno sanggup menyatakan kemerdekaan kepada rakyat atas nama rakyat? Sedangkan ia sebagai ketua Panitia Persiapan. Jika Soekarno menyatakan, maka ia akan dianggap merampas hak Panitia Persiapan. Setelah berdiskusi, Hatta dan Sjahrir pergi ke rumah Soekarno untuk menyampaikan maksud Sjahrir.

Setelah sampai di rumah Soekarno, Sjahrir menyampaikan maksudnya, namun Soekarno tidak yakin. Karena informasi tersebut berasal dari radio yang dikuasai oleh Sekutu ketika itu. Soekarno juga menambahkan bahwa ia tidak berhak bertindak sendiri dalam menyatakan kemerdekaan Indonesia, dalam artian yang berhak adalah Panitia Persiapan. Namun setelah Soekarno-Hatta, dan Mr. Subardjo pergi ke RealAdmiral baru ia yakin bahwa Jepang telah minta damai dengan sekutu. Hal tersebut mereka dapati setelah menemui Admiral Maeda yang hanya menundukkan kepala saat ditanya.

Desakan untuk Memproklamasikan Kemerdekaan

Setelah mendapatkan kepastian bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Hatta mengusulkan kepada Soekarno bahwa besok tanggal 16 Agustus 1945 diadakan rapat Panitia Persiapan. Namun, pada sore 15 Agustus 1945 datang dua orang pemuda ke rumah Hatta: Soebadio Sartrosatomo dan Soebianto. Mereka dengan gigihnya mengusulkan bahwa kemerdekaan Indonesia disampaikan oleh Soekarno sendiri sebagai pimpinan rakyat, atas nama rakyat. Hatta menjawab bahwa pelaksanaan kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan besok oleh Panitia Persiapan. Pemuda tersebut emosi, sehingga menyatakan bahwa Hatta tidak revolusioner, Hatta menjawab bahwa tindakan semacam itu bukanlah revolusi, tetapi putsch, seperti yang dahulu dilakukan oleh Hitler di Muenchen tahun 1923, tetapi gagal (lihat halaman78).

Pada malam hari, ketika Hatta mengetik teks proklamasi untuk dibacakan besok pagi kepada Panitia Persiapan, datang Subarjdo ke rumah Hatta. Subarjdo mengajak Hatta pergi ke rumah Soekarno, karena ketika itu Soekarno sedang dikerumuni oleh para pemuda untuk mendesak supaya memproklamirkan kemerdekaan tanpa Panitia Persiapan. Pemuda terus mendesak, bahkan Wikana mengatakan kepada Soekarno ‘’Jika tidak mau mengucapkan kemerdekaan sebelum jam 24:00, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah’’.

Baca Juga: Bung Hatta: Pendidikan Politik

Mendengar perkataan Wikana, Soekarno emosi dan mengatakan ‘’ini leherku, tarik saja aku ke pojok sana, tidak perlu menunggu hari esok’’. Wikana menjawab, maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan ingin memperingatkan bahwa besok rakyat akan membunuh orang-orang yang dicurigai pro-Belanda. Keadaan ketika itu sangat menegangkan, Soekarno-Hatta, Subardjo, dan Dr. Boentaran pergi ke tengah rumah untuk berdiskusi. Pada akhirnya, mereka memperoleh sebuah kesepakatan bahwa jika pemuda tetap menginginkan kemerdekaan terjadi pada malam hari itu juga, silahkan cari pemimpin yang lain. Namun pemuda hanya diam, dan pertemuan tersebut bubar (lihat halaman 79-80).

Pada waktu pagi 16 Agustus 1945, Hatta bangun untuk makan sahur, ketika itu bulan puasa. Ternyata Soekarni dan kawan-kawannya telah menunggu Hatta di luar rumah, mereka mengatakan karena Soekarno tidak ingin mengumumkan kemerdekaan Indonesia tadi malam, pemuda memutuskan untuk bertindak sendiri. Nanti menjelang jam 12:00 tengah hari, 15.000 rakyat, mahasiswa, dan Peta akan menyerbu dan melucuti Jepang. Bung karno dan bung Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk meneruskan pimpinan pemerintah Republik di sana. Hatta mencoba meyakinkan pemuda, ia mengatakan bahwa tindakan seperti itu hanya fantasi belaka, berbenturan dengan realitas. Bahkan Hatta menilai bahwa tindakan tersebut akan membunuh revolusi, karena tentara Jepang masih utuh di Jawa. Pada akhirnya Soekarno dan Hatta tetap dibawa ke Rengasdengklok.

Atas perintah dari Gunseikan kepada Mr. Subardjo untuk menjemput Soekarno-Hatta, mereka hanya sebentar di Rengasdengklok. Subarjdo juga bercerita kepada Soekarno-Hatta bahwa tidak terjadi apa-apa di Jakarta. Dalam tengah perjalanan pulang ke Jakarta, Soekarni, Soekarno-Hatta berangkat satu mobil. Mereka melihat langit terlihat merah, lalu Soekarni berkata, “Bung, rakyat sudah mulai berontak, lebih baik kita kembali ke Rengasdengklok’’. Soekarno tak langsung percaya dengan pernyataan itu. Soekarno menyuruh sopir untuk melihat apa yang terjadi. Setelah sopir kembali, lalu diceritakan bahwa hal itu berasal dari petani membakar jerami.

Setelah sampai di Jakarta, Hatta menyuruh Subardjo menelepon hotel Des Indes supaya menyiapkan satu ruangan untuk melanjutkan rapat Panitia Persiapan. Namun hotel tidak membolehkan, karena ketika itu tidak boleh melakukan kegiatan di hotel di atas jam 22:00. Subarjdo mengusulkan untuk menghubungi Admiral Maeda untuk meminjamkan ruangan, dan permintaan itu diterima oleh Maeda. Lalu Hatta menyuruh Subarjdo untuk menghubungi semua anggota Panitia Persiapan supaya datang ke rumah Maeda pukul 24:00 untuk melanjutkan rapat yang tidak jadi tadi pagi.

Baca Juga: Dalam Masa-masa Gelap Pancasila

Sebelum melakukan rapat dengan Panitia Persiapan, terjadi kejadian yang menegangkan antara Soekarno-Hatta dengan pembesar Jepang. Melalui perantaraan telepon dari jenderal Miyoshi, Hatta mendapatkan undangan dari Sumobuco, Mayor Jendral Nishimura untuk datang ke rumahnya. Pada awalnya, Mayor Jendral Nishimura bertanya seputar cerita di Rengasdengklok, sekaligus mengeluarkan pernyataan bahwa Jepang tidak membolehkan perubahan status quo setelah menyerah kepada Sekutu. Dalam artian Jepang tidak membolehkan rapat Panitia Persiapan yang akan diadakan.

Mendengar pernyataan seperti itu, Hatta langsung naik darah, ia menyatakan bahwa semua rakyat Indonesia sudah tahu, Jepang kalah oleh Sekutu. Selanjutnya Hatta bertanya, apakah itu janji dan perbuatan Samurai? Dapatkah samurai menjilat musuhnya ketimbang mendapatkan nasib yang kurang jelek? Apakah samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya, tetapi hilang semangatnya ketika kalah? Jenderal Miyoshi langsung gugup mendengar pernyataan Hatta.

Setelah itu, Soekarno-Hatta langsung menuju ke rumah Maeda, di sana telah berkumpul Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa pemimpin pergerakan, serta banyak pemuda-pemuda di jalan menunggu hasil pembicaraan. Setelah sampai, Soekarno-Hata, Subarjdo, Soekarni, dan Sayuti Malik pergi ke ruang tamu rumah. Di sini terdapat cerita yang seakan membuat situasi tidak begitu “serius”, tak seorangpun di antara mereka membawa teks proklamasi yang sebelumnya telah di buat tanggal 22 Juni 1945 atau yang sekarang disebut dengan Piagam Jakarta. Pada akhirnya, teks ringkas dibuat seketika itu juga, Soekarno mengusulkan supaya Hatta yang menulis karena anggapan bahwa bahasa Hatta yang terbaik, setelah itu baru dipersoalkan bersama-sama. Namun apa tanggapan Hatta? “lebih baik Bung yang menuliskan dan aku yang memikirkannya”. Pada keesokan harinya, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi dibacakan di depan rakyat di halaman rumah Soekarno, bendera Merah Putih dinaikkan, lagu Indonesia Raya dinyanyikan, serta diiringi dengan sorak rakyat gembira. Hal tersebut bertanda bahwa, Indonesia telah merdeka, bernegara, dan berdaulat. Berkaitan dengan itu, Meutia Farida Hatta Swasono menyatakan, dua hal yang membuat Hatta gembira dalam hidupnya, “ketika memproklamirkan Indonesia merdeka dan ketika menerima penyerahan kedaulatan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia’’.[]

Desip Trinanda
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dan aktif berdiskusi di Surau Tuo Institute Yogyakarta.