scentivaid mycapturer thelightindonesia

Hj. Syamsiyah Abbas Tokoh Perti dan Pendidikan Perempuan Minangabau #1

HJ. SYAMSIYAH ABBAS TOKOH PERTI DAN PENDIDIKAN PEREMPUAN MINANGKABAU

Hj. Syamsiyah Abbas (w. 2006) adalah satu dari beberapa tokoh perempuan Minangkabau yang jarang dibincangkan. Namanya tidak sepopuler Rohana Kudus (w.1972), Rahmah El-Yunusiah (w.1969), Rasuna Sa’d (w.1965), atau Zakiyah Daradjat (w.2013). Walaupun  peran dan kiprahnya mungkin tidak sebesar nama-nama yang populer itu, namun ia tetap layak dihargai dan dikenang. Tak elok kiranya jika perempuan yang semasa hidupnya biasa dipanggil ummi Syamsiyah  ini dilupakan begitu saja. Peran dan perjuangan ummi Syamsiyah  adalah salah satu kontribusi dari sekian banyak kontribusi tokoh perempuan Minangkabau dalam bidang pendidikan, agama, sosial, dan politik.

Ummi Syamsiyah jarang dikenal karena memang namanya tidak banyak tercantum dalam buku, jurnal, majalah, atau tulisan-tulisan lainnya. Ia tidak memiliki catatan perjalanan hidup sendiri atau otobiografi, juga tidak ada murid atau kerabatnya yang menulis biografinya secara utuh. Kalaupun nama “Ummi Hj. Syamsiyah Abbas” dilacak melalui mesin pencari canggih, semisal; Google, maka hanya akan ditemukan tujuh artikel yang memuat namanya. Itu pun tidak semua artikel yang bercerita tentang perannya, tetapi hanya sekedar  mencantumkan bahwa seorang Hj. Syamsiyah Abbas pernah ada dalam  sebuah peristiwa yang sedang diceritakan.

Tulisan yang cukup menarik dimuat dalam www.sindonews.com dengan judul “Menciptakan Kartini yang Mandiri dan Punya Harga Diri”. Artikel ini ditulis oleh Nur’aini Ahmad, dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Penulisnya menyebutkan bahwa Hj. Syamsiyah Abbas adalah satu dari sekian nama perempuan pejuang yang dimiliki oleh negeri ini (Nur’aini Ahmad, www.sindonews.com, 21-04-2014). Juga ada artikel yang ditulis oleh Apria Putra di blog pribadinya tentang sekolah yang ia dirikan. Artikel itu berjudul “Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Putri Bengkaweh Tinggal Sejarah” (Apria Putra, http://surautuo. blogspot.co.id, 07-10-2013).

Sebagian tokoh di kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), di mana ummi Syamsiyah lahir, memperoleh pendidikan, dan banyak beraktivitas di kelompok ini, menyebutkan bahwa ummi Hj. Syamsiyah Abbas memiliki satu atau dua karya tulis dalam bentuk buku. Hanya saja, sampai saat ini sangat susah menemukan bukunya tersebut. Sebagian orang lagi berpendapat bahwa ummi Syamsiyah memang tidak memiliki karya tulis. Anggapan ini didasarkan karena memang mereka tidak pernah menemukan langsung atau mendengar bahwa ia memiliki karya tulis dalam bentuk buku.

Salah satu tulisan ummi Syamsiyah yang agak mudah ditemukan adalah artikel dalam Majalah Panjimas No. 625, tanggal 10 Oktober 1989 dengan judul “Pemantapan I’tikad Ahlussunnah Waljamaah dan Pengamalannya Sesuai Khittah Jama’ah Tarbiyah Islamiyah”. Tulisan ini dalam rangka diskusi tentang mazhab fikih dan tauhid yang dianut kalangan Perti. Salah satu kutipan tulisannya yang cukup menggelitik: “bisakah di Tarbiyah (Perti–pen.) itu meninggalkan i’tikad ahlussunnah waljama’ah untuk meluaskan perjuangan Islami?”.

Meksipun ummi Syamsiyah tidak memiliki karya tulis dalam bentuk buku atau melahirkan banyak artikel sebagaimana tokoh-tokoh lainnya, namun ia tetap memiliki banyak karya, sehingga ia layak dihargai dan dikenang atas karyanya itu. Karyanya yang tidak dapat terbantahkan adalah murid-murid perempuan yang pernah dididik di sekolah yang ia dirikan, Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Bengkaweh, Agam. Produk yang dihasilkan dari sekolah itu bukanlah dalam bentuk karya tulis, tetapi karya hidup.

Berdasarkan uraian di atas, perlu kiranya menghadirkan kembali sosok ummi Hj. Syamsiyah Abbas dalam bentuk karya tulis, dengan maksud mengingatkan para pembaca akan peran dan kiprahnya selama ini. Di tengah giatnya kampanye “meningkatkan peran perempuan”–dalam berbagai bang– oleh aktivis feminisme-gender, maka menghadirkan tulisan tentang sosok Hj. Syamsiyah seolah mengingatkan mereka dan segenap generasi hari ini untuk tidak buta sejarah. Tulisan ini diharapkan menjadi bagian dari upaya untuk tidak buta sejarah tersebut.

Baca Juga: Tarbiyah Islamiyah dan Sejarah Politiknya

Ummi Hj. Syamsiyah Abbas dan Kiprahnya

Hj. Syamsiyah Abbas lahir di Bengkaweh pada tahun 1911 dan wafat pada 14 Januari 2006 (14 Dzulhijjah 1426 H.). Bengkaweh adalah salah satu dusun di Nagari Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kata “Abbas” di ujung namanya diambil dari nama ayahnya, Syekh Abbas Qadhi, seorang ulama besar yang mendirikan Arabiah School di Bukittinggi dan organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah bersama para sahabatnya, seperti Syekh Sulaiman Arrasuli (w.1970), Syekh Jamil Jaho (w.1945), dan Syekh Abdul Wahid Asshalihi Tobek Godang (w.1950) (Alaidin Koto, 1997:191). Syamsiyah Abbas adalah adik kandung dari Sirajuddin Abbas (w.1980), seorang ulama yang produktif menulis dan pernah menjabat Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan anggota MPR pada zaman Orde Baru.

Semasa hidupnya, ummi Syamsiyah banyak berperan dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, sosial, sampai politik. Bidang pendidikan, dibantu oleh kakak kandungnya, Sirajuddin Abbas, ummi Syamsiyah mendirikan MTI Putri di kampungnya, Bengkaweh. MTI ini dikenal dengan sebutan MTI Putri Bengkaweh. Di samping itu, ia juga mendirikan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Abdi Pendidikan Bengkaweh dan STKIP Ahlussunnah Tarok. Kiprahnya dalam bidang sosial terlihat dari keaktifan ummi Syamsiyah dalam organisasi keagamaan yang didirikan ayahnya. Ia aktif dan menjadi pimpinan Pengurus Besar (PB) Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) semenjak 1950. Dalam bidang politik, ia juga sempat menjadi anggota konstituante (MPR sekarang), sama seperti kakaknya, Sirajuddin Abbas. Ummi Syamsiyah juga pernah menjadi penasihat gubernur Sumatera Barat selama tiga tahun dan menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Sumatera Barat selama lima tahun.

Keluarga dan lingkungan tampaknya cukup mempengaruhi kehidupan ummi Syamsiyah. Ia dilahirkan dalam keluarga yang taat dan alim dalam agama. Ayahnya, Syekh Abbas Qadhi adalah ulama besar yang berpengaruh dan disegani di zamannya. Syekh Abbas Qadhi, sekembalinya dari menuntut ilmu di Mekkah, pernah mendirikan Arabiyah School dan organisasi Perti bersama rekannya, Syekh Sulaiman Arrasuli Canduang, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Abdul Wahid Ashshalihi Tabek Gadang. Kakak kandung ummi Syamsiyah, Sirajuddin Abbas, juga merupakan ulama terkenal yang sangat produktif menulis tentang i’tikad Ahlussunnah Waljamaah dan mazhab Syafi’i. Tidak kurang dari 16 judul karangannya, dan enam di antaranya ditulis dalam bahasa Arab. Di samping aktif mengurus Ormas Perti, Sirajuddin Abbas juga pernah menduduki beberapa jabatan penting di negara, seperti Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan anggota MPR pada zaman Orde Baru. Oleh karenanya, tidak heran jika Sirajuddin Abbas dijuluki “ulama politisi” pada zamannya.

Di samping kehidupan keluarga, lingkungannya terhitung sebagai lingkungan yang agamis. Nagari Ladang Laweh tercatat telah melahirkan sejumlah ulama besar, di antaranya Syekh Abdussalam, Syekh Abdul Malik, Syekh Abdullah Khatib, dan Syekh Abbas Qadhi sendiri. Di Nagari Bangkaweh juga terdapat Surau Batu Lamo, yaitu sebuah lembaga pendidikan agama yang didirikan pada tahun 1901. Di surau ini Syekh Ibrahim Musa Parabek (w.1963) juga pernah menjadi guru, pada saat ini, Surau Batu Lamo telah berganti nama menjadi Masjid al-Ihsan. Keberadaan keluarga dan lingkungan inilah yang tampaknya sangat berpengaruh dalam diri seorang Syamsiyah Abbas. Ia terpupuk untuk menjadi seorang yang menggeluti dunia pendidikan agama serta menerjuni aktivitas sosial dan politik.

Beberapa tahun sebelum meninggal, ummi Syamsiyah mengalami sakit-sakitan. Selama ia sakit, banyak pejabat negara saling bergantian mengunjunginya. Dikatakan oleh Itin, wanita yang merawat ummi Syamsiyah selama lebih kurang sembilan tahun (sampai ia meninggal), banyak menteri yang datang ke rumahnya untuk membesuk ummi Syamsiyah. Azwar Anas, mantan Gubernur Sumatera Barat, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), juga sering mengunjungi ummi Syamsiyah ke rumahnya. Setelah ummi Syamsiyah meninggal pada 2006, orang-orang dari Thailand dan Malaysia pun banyak menziarahi kuburannya. Hal ini membuktikan bahwa kiprah ummi Syamsiyah tidak hanya diketahui oleh orang-orang di negeri sendiri, tetapi juga di luar negeri.

Baca Juga: Syekh Batu Hampar dan Jejak Tokoh Pendidikan Tradisional Surau di Pedalaman Minangkabau

Kiprah Ummi Syamsiyah dalam Pendidikan

Kiprah ummi Syamsiyah dalam bidang pendidikan terlihat dari upayanya mendirikan beberapa lembaga pendidikan, yaitu MTI Bengkaweh, STKIP Ahlussunnah Tarok, dan STKIP Abdi Pembangunan Bengkaweh. Dari ketiga lembaga pendidikan yang ia dirikan, tampaknya ia lebih dikenal sebagai pendiri MTI Bengkaweh. Hal ini dikarenakan selain dilahirkan dalam keluarga tokoh Perti, MTI yang ia dirikan tergolong unik dibanding MTI-MTI lainnya. MTI Bengkaweh merupakan MTI pertama, dan berkemungkinan juga satu-satunya, yang mengkhususkan dirinya hanya untuk kaum perempuan. Dari 360 MTI yang tercatat pada 1954, MTI Bengkaweh adalah satu-satunya MTI yang menyelenggarakan pendidikan khusus untuk putri.

Tentang tahun pendirian MTI ini terdapat beragam pandangan. Pada prasasti yang didirikan dekat makamnya tertulis bahwa MTI Bengkaweh didirikan tahun 1940. Apria Putra dalam catatannya yang dimuat di blog pribadinya juga mengatakan bahwa MTI didirikan pada tahun 1940 (Apria Putra, http://surautuo.blogspot.co.id, 07-10-2013). Muhammad Kosim, penulis tesis tentang kontribusi Syekh Sulaiman Arrasuli dalam bidang pendidikan, menulis dalam blog pribadinya bahwa sekolah ini didirikan pada tahun 1938, dan pada tahun 1940 tercatat telah memiliki murid sebanyak 250 orang (Kosim, http://mhdkosim.blogspot.co.id, 13-05-2010). Sementara, dalam Ma’loemat Oemoem dan instruksi pengurus Perti yang dimuat dalam Majalah Soearti disebutkan bahwa sekolah MTI mulai dibuka pada tahun 1939 (Maandblad Soearti, 1937-1939;5-23).

Pendirian MTI Bengkaweh ini seolah membantah anggapan umum bahwa ulama kalangan Perti yang notabene terdiri dari ulama kaum tuo (yang tradisionalis) hanya terdiri dari kaum laki-laki. Walaupun di MTI-MTI yang muai didirikan sekitar 10 tahun sebelumnya (tahun 1928) telah banyak murid-murid putri yang belajar, namun kehadiran MTI Bengkaweh ini sekaligus memunculkan nama Hj. Syamsiyah Abbas sebagai ulama perempuan di kalangan Perti. Hj. Syamsiyah Abbas ternyata mampu mengambil peran yang selama ini hanya diisi oleh kaum laki-laki. Hj. Syamsiyah Abbas mengambil peran yang sangat besar dalam MTI, mulai dari mendirikan, memimpin jalannya lembaga, sampai terjun langsung menjadi tenaga pengajar atau guru.

Langkah yang diambil ummi Syamsiyah terbilang cukup berani dan progresif di zamannya. Ia membuktikan bahwa perempuan itu bukanlah kaum yang cengeng, lemah dan selalu menjadi nomor dua. Ia menunjukkan pada khalayak bahwa perempuan juga mampu berdiri sejajar dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, karier, sosial, dan politik. Namun demikian, dalam pengelolaan MTI yang ia dirikan, ummi Syamsiyah juga senantiasa berpesan pada murid-muridnya bahwa kesejajaran perempuan dan laki-laki tidaklah dalam segala hal. Ada situasi, kondisi, dan waktu di mana perempuan tidak akan pernah mampu sejajar dengan laki-laki. Salah satu contoh konkretnya adalah pada saat salat berjamaah, di mana perempuan tidak boleh menjadi imam selama masih ada laki-laki. Tampaknya pengalaman hidup, baik di keluarga maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya turut mempengaruhi pemikiran ummi Syamsiyah. Walaupun ia mampu tampil sebagai tokoh atau ulama wanita dan memperoleh pendidikan agama yang sangat baik, namun proses yang ia tempuh tidaklah sama dengan kakak laki-lakinya, Sirajuddin Abbas. Meski sama-sama mendapatkan pendidikan dasar (mengaji) dari ibunya, namun kakaknya dapat menuntut ilmu dari beragam ulama yang ada di Minangkabau saat itu, bahkan sampai ke Makkah. Kesempatan seperti itu tidaklah didapatkan oleh ummi Syamsiyah semasa mudanya.

*Berlanjut ke : Hj. Syamsiyah Abbas dan Tokoh Perti dan Pendidikan Perempuan Minangkabau #2

*Tulisan pernah dimuat di Kafa‟ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V No.2 Tahun 2015, diterbitkan ulang di website ini untuk pendidikan

Etri Wahyuni
Guru Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang