Pada dasarnya, anak-anak yang dapat diperintahkan untuk salat -termasuk salat berjamaah- adalah anak-anak yang sudah berakal (mulai memiliki kematangan dalam berpikir) sehingga dapat memahami aturan, larangan, dan perbedaan antara mana yang baik dan buruk. Ulama mendefinisikan kondisi kematangan anak tersebut dengan istilah tamyiz atau anak mumayyiz. Kondisi tamyiz ini biasanya diketahui oleh orang tuanya sendiri. Imam Nawawi RA menyebutkan dalam kitabnya al-Majmu’ syarh al-Muhadzzab
Apabila anak-anak telah mencapai kondisi berakal, maka mereka termasuk orang-orang yang dinilai salatnya, sehingga sah kalau ia menjadi Imam. Pernyataan “mencapai kondisi berakal” itu adalah maksud dari perkataan “apabila telah sampai usia tujuh tahun”, karena yang dimaksud dengan mencapai usia tujuh tahun tersebut adalah mencapai masa tamyiz/anak-anak mumayyiz. Tamyiz itu berbeda kondisinya dengan kondisi anak-anak secara umum. Tamyiz dapat muncul pada anak-anak usia tujuh tahun, kadang anak-anak sebelum tujuh tahun sudah tamyiz, bahkan tidak jarang anak-anak yang sudah berusia tujuh tahun, sepuluh tahun atau lebih, tetapi belum juga tamyiz.
Rasulullah SAW bersabda:
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضاجِعِ
Perintahkan kepada anak-anakmu untuk salat ketika mereka menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka ketika menginjak sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Kita dapat pahami dari isyarat hadis dan pendapat ulama di atas bahwa anak-anak yang belum tamyiz sebenarnya belum dianjurkan untuk datang ke masjid untuk ikut salat berjamaah. Anak-anak yang belum tamyiz alangkah lebih baiknya berada di rumah dengan ibunya, dididik di rumah hingga nantinya mereka mencapai kondisi tamyiz tersebut. Anak-anak yang belum tamyiz biasanya susah diatur dan berpotensi merusak ketenangan masjid. Padahal suasana yang tenang sangat diperlukan di masjid agar dapat melaksanakan ibadah dengan khusyuk dan tertib. Selain itu, anak-anak yang belum tamyiz belum mampu menjaga dirinya dari najis, sehingga dikhawatirkan dapat mengotori masjid dan para jamaah.
Bca Juga: Kajian Hadis Bolehkah Perempuan Jadi Imam Salat
Namun, tidak jarang kita temukan anak-anak yang belum tamyiz tersebut tetap dibawa ke masjid oleh orang tuanya karena beberapa alasan. Apabila alasan tersebut bersifat mendesak, maka tentu saja dapat diterima.
Anak-anak memiliki aturan tersendiri dalam berjamaah, khususnya di masjid. Barisan anak-anak dalam salat jamaah adalah berposisi setelah saf jamaah dewasa, karena saf jamaah laki-laki dewasa menjadi prioritas. Imam Nawawi RA dalam kitabnya Al-Majmu’ syarh al-Muhadzzab mengatakan:
إذَا حَضَرَ كَثِيرُونَ مِنْ الرِّجَالِ وَالصِّبْيَانِ يُقَدَّمُ الرِّجَالُ ثُمَّ الصِّبْيَانُ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ
Apabila banyak jamaah yang hadir terdiri dari laki-laki dewasa (baligh) dan anak-anak maka didahulukan (dikedepankan) para laki-laki dewasa, kemudian mengikuti setelahnya anak-anak. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i.
Dalilnya adalah hadis Rasulullah SAW bersabda:
ليَلِنِي منكم أولو الأحلام والنهى، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
Hendaklah berdiri di belakang saya orang-orang dewasa, kemudian yang berumur di bawah mereka, dan seterusnya (H.R. Muslim)
Jadi aturannya, saf pertama di dalam masjid pada dasarnya diisi oleh laki-laki yang sudah baligh, begitu seterusnya. Apabila laki-laki baligh tersebut banyak, maka mereka mengisi saf-saf terdepan terlebih dahulu, baru setelahnya diisi oleh anak-anak. Apabila saf laki-laki dewasa tidak penuh, maka dipenuhkan oleh anak-anak dengan memposisikan mereka di paling kiri dan kanan setelah jamaah dewasa.
Masalahnya, bolehkah anak-anak yang belum baligh berada menyelingi barisan jamaah laki-laki dewasa? ilustrasinya adalah anak-anak diposisikan di antara jamaah laki-laki yang sudah baligh. Di beberapa masjid, banyak yang melarang anak-anak untuk berada pada saf jamaah laki-laki dewasa dengan berbagai alasan seperti anak-anak tersebut dapat memutus saf yang mengurangi fadhilah berjamaah atau karena anak-anak tersebut tidak suci karena belum berkhitan.
Dalam literatur fikih mazhab Syafi’i tidak kita temukan penjelasan yang terang bahwa keberadaan anak-anak dalam saf jamaah laki-laki dewasa dapat dianggap memutuskan jamaah. Yang ada hanyalah aturan bahwa posisi jamaah dalam salat didahulukan yang telah baligh, baru diikuti oleh anak-anak. Akan tetapi, bagaimana jika anak-anak tersebut telah lebih dahulu datang ke masjid dan menempati posisi saf di depan bersama barisan saf laki-laki dewasa? Mayoritas ulama mazhab Syafi’i pada dasarnya menyatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Mahfuzh al-Turmusi dalam kitabnya
(ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى
Laki-laki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di saf belakang imam (saf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah saf lelaki penuh maka selanjutnya saf yang diisi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari laki-laki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini berlaku ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan saf awal. Namun, Jika mereka mendahului pada saf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati saf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari saf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.”
Baca Juga: Hukum Mengqadha Salat
Sebagian ulama mujtahid dalam mazhab Syafi’i bahkan menyukai menempatkan anak-anak di antara laki-laki dewasa di safnya. Imam Nawawi RA mengemukakan pendapat yang dihikayatkan oleh Syekh Abu Hamid al-Isfarayaini, Muhammad al-Bandaniji, Qadhi Abu Thayyib al-Thabari, dan lain-lain yang menyatakan bahwa:
وَفِيهِ وَجْهٌ حَكَاهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَصَاحِبَا الْمُسْتَظْهِرِيِّ وَالْبَيَانِ وَغَيْرُهُمْ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقِفَ بَيْنَ كُلِّ رَجُلَيْنِ صَبِيٌّ لِيَتَعَلَّمُوا مِنْهُمْ أَفْعَالَ الصَّلَاةِ
Disukai menempatkan anak-anak di antara dua laki-laki dewasa (dalam salat jama’ah) agar anak-anak itu dapat belajar tentang perbuatan-perbuatan terkait salat dari mereka.
Jadi, para jamaah bisa saja menggunakan pendapat ini untuk memposisikan anak-anak di antara jamaah dewasa dengan tujuan lebih mendidik dan mengajar anak secara langsung tentang salat.
Kebolehan ini tentu lebih penting dilaksanakan ketika ada kondisi atau hajat yang sangat penting, seperti anak yang agresif dan hanya bisa tenang jika disandingkan dengan orang tuanya atau orang lain yang ditakutinya, karena dikhawatirkan sekiranya anak kecil itu jauh dari pengawasan mereka, maka anak itu akan mengganggu ketenangan jamaah lain. Begitu juga terhadap anak kecil yang belum mumayiz dan butuh pendampingan seperti balita berusia dua sampai lima tahun yang memang harus dekat dengan orang tuanya.
Sebagian masyarakat juga melarang anak-anak berada pada saf jamaah dewasa karena anak tersebut belum dikhitan/disunat. Dikhawatirkan pada kulup kemaluannya terdapat najis yang menghalanginya dari sah salat. Oleh karena itu, demi kehati-hatian masyarakat dapat bertanya kepada orang tua si anak apakah sebelum berangkat ke masjid tadi sudah membersihkan anaknya dari najis yang mungkin menempel di pakaian dan badannya, termasuk di kulupnya? Kalau orang tuanya menjawab sudah, maka sudah tidak ada masalah kebolehan anak itu berada di saf. Kalau orang tuanya menjawab tidak tahu, atau anak itu datang sendiri ke masjid, maka pada dasarnya kondisi seseorang adalah suci, sampai ditemukan bukti bahwa ada najis yang melekat di badan dan pakaiannya. Walau tetap setiap muslim harus meneliti kesucian badan dan pakaiannya sebelum salat, baik ia dewasa maupun masih anak-anak.
Kesimpulannya; Pertama, anak-anak yang dibawa ke masjid adalah yang sudah tamyiz, sementara yang belum tamyiz sebaiknya di rumah saja.
Kedua, anak-anak yang belum tamyiz dapat dibawa ke masjid untuk berjamaah kalau memang ada kondisi yang mendesak.
Ketiga, aturan saf anak-anak adalah setelah saf dewasa. Kalau saf pertama sudah penuh, maka saf anak-anak berada di belakangnya, tetapi kalau saf pertama tidak penuh diisi oleh orang dewasa, maka dapat diisi oleh anak-anak di sebelah kanan dan kirinya.
Keempat, anak-anak yang datang duluan ke masjid, lalu mengisi saf di depan (bersama orang dewasa), maka sebaiknya dibiarkan saja (asal sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan), jangan dilarang apalagi dimarahi, karena dapat membuat hati mereka kecil dan takut.
Kelima, dalam kondisi atau hajat yang sangat penting, seperti anak yang agresif atau butuh didampingi orang tuanya, maka boleh menempatkan anak tersebut di saf dewasa berdekatan dengan orang tuanya. Menurut pendapat ulama mujtahid lain dalam mazhab Syafi’i dibolehkan menempatkan anak-anak di antara dua dewasa dalam safnya dengan tujuan mendidik anak tersebut.
Keenam, orang tua harus memastikan bahwa anak kecil yang ia bawa ke masjid sudah dalam kondisi suci dari najis. Orang tua harus memeriksa kesucian anak tersebut agar tidak menimbulkan was-was para jamaah lainnya. []
Wallahu a’lam
Leave a Review