Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian II
Baca Sebelumnya: Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian I
Mazhab kedua, para ulama yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis daif hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail al-a’mal). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadis, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Mula Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.
Akan tetapi, al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hadis daif dapat diamalkan. Beliau mengutarakan:
إن شرائط العمل بالضعيف ثلاثة: الأول: متفق عليه، وهو أن يكون الضعف غير شديد، فيخرج من انفرد من الكذابين والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه. الثاني: أن يكون مندرجا تحت أصل عام، فيخرج ما يخترع بحيث لا يكون له أصل أصلا. الثالث: ألا يعتقد عند العمل به ثبوته، لئلا ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم ما لم يقله
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadis daif ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadis daif tersebut tidak parah kedaifannya. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini. Kedua, hadis tersebut harus berada dalam koridor syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadis yang sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat Islam tidak dapat diterima. Ketiga, ketika mengamalkan hadis tersebut tidak disertai keyakinan bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal dari beliau.
Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadis daif dalam masalah keutamaan-keutamaan amal, beliau menyebutkan:
قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال لأنه إن كان صحيحا في نفس الأمر فقد أعطي حقه من العمل به. والألم يترتب على العمل به مفسدة تحليل ولا تحريم ولا ضياع حق للغير
Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadis daif dalam hal keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadis tersebut ternyata benar keberadaannya (sahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadis tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian -terbukti daif – maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain.
Baca juga: Kajian Hadis Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu
Mazhab ketiga, para ulama yang mengatakan bahwa mengamalkan hadis daif adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi. Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian. Beberapa penulis hadis kontemporer (seperti Nashiruddin al-Albani dan semisalnya) lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar’i. Lagipula hadis-hadis sahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadis daif.
Dari tiga mazhab ini, tampak bahwa pendapat yang bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat kedua. Hal itu menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama dalam masalah beramal dengan hadis daif tersebut yang menunjukkan bahwa hadis daif yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadis yang divonis palsu, melainkan hadis yang belum jelas kemungkinan kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan hadis lain yang menentangnya atau jika hadis tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal dengan hadis tersebut demi menjaga hak-haknya.
Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis daif dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah SWT, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama. Mereka mengatakan bahwa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadis daif termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.
Menurut pandangan Syeikh Nuruddin ‘Itr, seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadis daif diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar’i yang sudah baku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar’i, baru kemudian muncullah hadis daif tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat.
Contoh hadis daif yang dapat diamalkan:
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:
حدثنا أبو أحمد المرار بن حمويه ثنا محمد بن المصفى ثنا بقية بن الوليد عن ثور بن يزيد عن خالد بن معدان عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من قام ليلتي العيدين يحتسب لله لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”
Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa yang mendirikan salat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati”.
Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqah, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid’ah Qadariyah (sekte Qadariyah). Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid’ahannya tersebut, sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label “Hafizh” kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (daif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba’ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut, sehingga hadis tersebut dianggap daif.
Baca Juga: Realisasi Konsep Maqad al-shariah ibn qayyim al-Jauziyyah dalam Pemahaman Hadis Nabawi
Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya disukai (mustahabb) sesuai dengan hadis daif ini, karena hadis daif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (salat pada malam hari) dan mengisi malam tersebut dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.
Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariat dan teks-teks syar’i secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.
Baca Selanjutnya: Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian III
Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian II
Leave a Review