Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif
Baca Sebelumnya Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian II
Bagaimana Meriwayatkan Hadis Daif?
Adapun sekadar meriwayatkan hadis daif dalam masalah selain akidah, hukum halal dan haram, seperti dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), kisah, nasihat dan semisalnya, para ulama telah membolehkannya selama hadis tersebut tidak divonis maudhu’ (palsu) atau sejenisnya tanpa menerangkan bahwa hadis tersebut adalah daif. Riwayat-riwayat semacam ini sangatlah banyak dan populer. Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sejumlah riwayat hadis daif dalam kitabnya, al-Kifayah. Demikian pula Imam Ahmad, beliau mengatakan:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد، وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم في فضائل الأعمال أو مالا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Apabila kami meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah SAW yang berkenaan dengan hukum halal dan haram, sunnah dan hukum-hukum lainnya maka kami memperketat dalam masalah sanad, adapun jika berkenaan dengan fadhail amal ataupun yang tidak berhubungan dengan hukum maka kami mempermudahnya.
Kendatipun demikian, para ulama tetap memperhatikan sisi ketelitian dalam periwayatan mereka. Mereka tidak meriwayatkan hadis-hadis daif dengan menggunakan ungkapan jazm (memastikan) ketika menyebutkan bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seseorang tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis daif dengan ungkapan: “Rasulullah SAW bersabda demikian”, atau “melakukan hal demikian” atau “menyuruh demikian” atau kalimat-kalimat sejenisnya yang memberi kesan jazm (kepastian) bahwa semua itu benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, lafazh yang harus digunakan adalah: “diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata demikian”, atau “terdapat kabar dari Rasulullah bahwa beliau mengatakan demikian”, “diceritakan bahwa beliau berkata demikian” atau kalimat-kalimat sejenisnya.
Baca Juga: Analisis Hadis tentang Kebolehan Menyusui Orang Dewasa
Adapun riwayat yang masih mengandung keraguan, maka dapat digunakan kalimat: “Rasulullah SAW bersabda demikian, dengan asumsi bahwa riwayat ini benar (sahih atau hasan)”.
Akan tetapi para ulama terdahulu sering menggunakan kalimat “ruwiya” (diriwayatkan, dengan bentuk pasif) untuk hadis-hadis yang sahih dengan asumsi bahwa hadis tersebut sudah sangat populer di kalangan mereka pada waktu itu.
Beberapa Pernyataan Ulama tentang Hukum Beramal dengan Hadis Daif
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
قد ثبت عن الإمام أحمد وغيره من الأئمة أنهم قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا
Telah jelas dari Imam Ahmad bin Hanbal dan juga dari selain beliau, bahwa mereka berkata: Apabila kami meriwayatkan tentang masalah Halal dan Haram, maka kami memperketat, dan apabila kami meriwayatkan tentang masalah fadhail al-a’mal (keutamaan) dan sejenisnya, maka kami mempermudah.
Ibnu Muflih Al-Hanbali berkata dalam “Al-Adab Asy-Syar’iyyah”:
والذي قطع به غير واحد ممن صنف في علوم الحديث حكاية عن العلماء أنه يعمل بالحديث الضعيف في ما ليس فيه تحليل ولا تحريم كالفضائل، وعن الإمام أحمد ما يوافق هذا. ا.هـ
Sesuatu yang telah dipastikan oleh lebih dari satu orang yang pernah menulis dalam Ilmu Hadis adalah bahwa hikayat dari para ulama mengenai bolehnya beramal dengan Hadis daif dalam masalah yang bukan penghalalan atau pengharaman, misalnya fadhail al-a’mal (keutamaan). Riwayat dari Imam Ahmad juga sesuai dengan itu.”
Syihabuddin Ar-Ramli berkata dalam Fatawinya:
قال الحاكم: سمعت أبا زكريا العنبري يقول الخبر إذا ورد لم يحرم حلالاً ولم يحلل حراماً ولم يوجب حكماً، وكان فيه ترغيب أو ترهيب، أغمض عنه وتسهل في روايته …إلخ اهـ
Al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Zakaria Al-Anbari berkata: sebuah kabar/hadis apabila telah datang tanpa mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan tidak mewajibkan suatu hukum, sedangkan di dalamnya terdapat anjuran dan ancaman, maka dibiarkan dan dimudahkan saja periwayatannya…
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawanya berkata:
مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ وَمَنْ أَخْبَرَ عَنْ اللَّهِ أَنَّهُ يُحِبُّ عَمَلًا مِنْ الْأَعْمَالِ مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ شَرْعِيٍّ فَقَدْ شَرَعَ مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَمَا لَوْ أَثْبَتَ الْإِيجَابَ أَوْ التَّحْرِيمَ ؛ وَلِهَذَا يَخْتَلِفُ الْعُلَمَاءُ فِي الِاسْتِحْبَابِ كَمَا يَخْتَلِفُونَ فِي غَيْرِهِ بَلْ هُوَ أَصْلُ الدِّينِ الْمَشْرُوعِ . وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛ وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ ذَلِكَ. فَإِذَا رُوِيَ حَدِيثٌ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَحَبَّةِ وَثَوَابِهَا وَكَرَاهَةِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ وَعِقَابِهَا : فَمَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَأَنْوَاعُهُ إذَا رُوِيَ فِيهَا حَدِيثٌ لَا نَعْلَمُ أَنَّهُ مَوْضُوعٌ جَازَتْ رِوَايَتُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ بِمَعْنَى : أَنَّ النَّفْسَ تَرْجُو ذَلِكَ الثَّوَابَ أَوْ تَخَافُ ذَلِكَ الْعِقَابَ
Apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama mengenai bolehnya beramal dengan Hadis daif maksudnya bukan penetapan anjuran dengan Hadis yang tidak dapat dijadikan hujah, karena anjuran juga termasuk hukum syar’i maka tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i. Maka barangsiapa mengabarkan dari Allah bahwa Dia menyukai amalan tertentu tanpa dalil syar’i maka ia telah membuat syariat dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah sebagaimana seandainya ia menetapkan kewajiban atau keharaman. Maksud mereka sebenarnya adalah: beramal dengan apa-apa yang telah tetap bahwa amalan itu disukai atau dibenci oleh Allah, baik melalui nash maupun ijmak seperti tilawatul Quran, Tasbih, Doa, sedekah, membebaskan budak, berbuat baik kepada orang, tercelanya berdusta, khianat dan sebagainya. Maka apabila diriwayatkan tentang keutamaan sebagian amalan yang disunnahkan beserta pahalanya atau tercelanya sebagian amalan beserta hukumannya, maka ukuran pahala dan hukuman beserta macamnya itu apabila diriwayatkan melalui Hadis yang tidak maudhu’, maka BOLEH meriwayatkannya dan mengamalkannya. Dengan artian, bahwa hati ini berharap pahala tersebut atau takut dari hukuman tersebut.
Baca Juga: Kajian Hadis Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu
Al-Khallal dalam al-Madkhal ila Madzhabi Ahmad berkata:
مَذْهَبُهُ – يَعْنِي: الإِمَامَ أَحْمَدَ – أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مُعَارِضٌ قَالَ بِهِ
Mazhab beliau (yaitu Imam Ahmad) adalah bahwa hadis daif apabila tidak ditemukan penentangnya, maka beliau akan mengambilnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkata:
اشتهر أن أهل العلم يتسامحون في إيراد الأحاديث في الفضائل وإن كان فيها ضعف، ما لم تكن موضوعة
Telah masyhur/populer bahwa Ahli Ilmu (ulama) saling mentolerir penyebutan hadis-Hadis tentang fadhoil meskipun di dalamnya ada kelemahan selama tidak sampai maudhu’.[]
Selesai!
Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian III
Wallahu A’lam
Hukum Beramal dengan Menggunakan Hadis Daif Bagian III
Leave a Review