scentivaid mycapturer thelightindonesia

Hukum Haji dengan Utang (bag 1)

Hukum Haji dengan Hutang
Ilustrasi/Dok. Istimewa
Pengertian dan Dalil Pensyariatan Haji

Haji (الْحَجُّ) menurut bahasa adalah الْقَصْدُ yang berarti sengaja (untuk mendatangi tempat tertentu). Menurut sebagian kelompok, haji berarti sengaja (mendatangi tempat tertentu) dengan tujuan untuk mengagungkannya.[1] Menurut istilah para fuqaha, haji adalah:

قصد موضع مخصوص (وهو البيت الحرام وعرفة) في وقت مخصوص (وهو أشهر الحج) للقيام بأعمال مخصوصة وهي الوقوف بعرفة، والطواف، والسعي عند جمهور العلماء، بشرائط مخصوصة[2]

“Sengaja ke tempat tertentu (yakni baitullah al-haram dan arafah) pada waktu tertentu (yakni pada bulan-bulan haji) untuk mendirikan amalan-amalan tertentu yaitu wukuf di arafah, thawaf dan sa’i menurut jumhur ulama, dengan syarat-syarat tertentu.”

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap mukallaf yang memiliki kemampuan setidaknya sekali seumur hidup. Dalil wajibnya adalah sebagai berikut:

Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97:

ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين

“Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan haji ke baitullah bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepada baitullah. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran: 97)

Ayat ini secara tegas menyatakan tentang kewajiban menunaikan haji.

Hadis dari Ibn Umar RA:

بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصيام رمضان، والحج من استطاع إليه سبيلا،

“Islam dibangun atas lima (pondasi): bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke baitullah bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa haji adalah salah satu rukun Islam yang harus dipatuhi dan ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu mengadakan perjalanan kepadanya

Hadis dari Abu Hurairah RA:

خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا فقال رجل: أكل عام يا رسول الله؟ فسكت حتى قالها ثلاثا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم.

“Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami, beliau bersabda: Wahai Manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu untuk menunaikan haji, maka berhajilah kamu. Seorang laki-laki bertanya: apakah ia diwajibkan setiap tahun ya Rasulullah ?. Rasulullah pun diam sehingga laki-laki itu bertanya sampai kali yang ketiga, Rasulullah pun bersabda: kalau aku katakan iya, tentunya ia menjadi wajib dan kamu tidak akan mampu menunaikannya”. (H.R. Muslim)

Baca Juga: Bernazar dan Hukumnya

Ijma’

Seluruh ulama telah ijma’ bahwa haji wajib ditunaikan oleh setiap mukallaf yang diberikan kemampuan sekali seumur hidupnya, dan bahwa haji itu termasuk urusan agama yang diketahui dengan mudah (al-ma’lum min al-din bi al-dharurah) serta dianggap kafir orang yang mengingkari kewajibannya.

Syarat Wajib Haji

Syarat wajib haji adalah beberapa kriteria yang jika seseorang telah memenuhinya maka ia wajib serta dituntut untuk melaksanakan haji. Syarat wajib haji tersebut adalah:

  1. Islam, maka haji tidak diwajibkan bagi orang kafir (non muslim)
  2. Berakal,
  3. Baligh,
  4. Merdeka,
  5. Memiliki kemampuan (al-istitha’ah)[3]

Seorang muslim yang tidak memenuhi kriteria di atas tidak diwajibkan untuk melaksanakan haji.

Syarat Sah Haji

syarat sah haji adalah hal-hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melaksanakan haji sebelum ia masuk ke dalam proses ibadah haji. Syarat sah tersebut adalah:

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Miqat Zamani (yakni menunaikan haji di bulan haji yaitu syawwaldzulqa’dah dan 10 hari pertama bulan dzulhijjah)
  4. Miqat Makani (yakni menunaikan haji di tempat-tempat yang sudah ditentukan untuk pelaksanaan haji, seperti tempat ihram, tempat wukuf, tempat thawaf, tempat sa’i dan lain-lain)[4]

Seorang muslim yang tidak memenuhi kriteria tersebut maka hajinya tidak sah.

Makna al-Istitha’ah Menurut Ulama

Al-istitha’ah menurut bahasa adalah الطَّاقةُ yang berarti kemampuan, kesanggupan, atau memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu. Adapun yang dimaksud dengan al-istitha’ah dalam haji menurut para ulama di antaranya adalah sebagai berikut:

Menurut al-Syafi’i:

أن يكون الرجل مستطيعاً ببدنه، واجداً من ماله يبلغه الحج[5]

Bahwa seseorang sanggup dengan dirinya dan memiliki harta yang bisa menyampaikannya untuk haji.”

Menurut al-Kassani:

هي سلامة الأسباب والآلات، ومن جملة الأسباب، سلامة البدن عن الآفات المانعة عن القيام بما لا بد منه في سفر الحج؛ لأن الحج عبادة بدنية فلا بد من سلامة البدن[6]

“Yang dimaksud dengan al-istitha’ah dalam haji adalah selamat (baiknya kondisi) sebab dan alat. Di antara sebab tersebut adalah fisik yang sehat dari penyakit yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hal-hal yang mesti ia lakukan dalam perjalanan menuju haji. Karena haji adalah ibadah badaniyah (ibadah fisik), maka mesti baik kondisi fisiknya.”

Menurut ibn Qudamah:

أن يجد زاداً وراحلة بآلتهما مما يصلح لمثله، فاضلاً عما يحتاج إليه، لقضاء دينه، ومؤنة نفسه وعياله[7]

“Bahwa seseorang memiliki bekal dan kendaraan dengan alat keduanya yang bisa menyampaikannya (ke haji), dimana apa yang ia miliki tersebut berlebih dari kebutuhannya untuk membayar utang, biaya dirinya sendiri dan biaya keluarganya.”

Tafsir al-istitha’ah Menurut Hadis

Ada banyak hadis yang menafsirkan makna al-istitha’ah dalam haji, di antaranya adalah sebagai berikut:

Hadis dari ibn Umar RA

قام رجل إلى النبي -صلى الله عليه وسلم- فقال: من الحاجُّ يا رسول الله؟ قال: «الشعث التفل، فقام رجل آخر، فقال: أي الحج أفضل؟ قال العج والثج، فقام رجل آخر، فقال: ما السبيل يا رسول الله؟ قال: الزاد والراحلة

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata: “siapa yang berhaji itu ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang kusut rambutnya dan bau badannya”. Laki-laki yang lain pun berdiri dan bertanya: “haji apakah yang lebih utama?”. Rasulullah SAW bersabda: “mengeraskan suara dan mengalirkan darah hewan”. Lalu berdiri laki-laki yang lain dan bertanya: “Ya Rasulullah, apakah al-Sabil itu ?”. Rasulullah SAW bersabda: “Perbekalan dan Kendaraan”. (H.R. al-Tirmidzi)

Hadis dari ibn Abbas RA

أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: قال: «الزاد والراحلة» يعني قوله تعالى: ﴿مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Rasulullah SAW bersabda: “Bekal dan Perjalanan”, yakni tentang firman Allah Ta’ala مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. (H.R. Ibn Majah)

Hadis dari Sa’id bin Jubair RA

في قوله تعالى: ﴿مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً﴾ قال: من وجد زادا وراحلة فقد وجب عليه الحج

tentang firman Allah Ta’ala ﴿مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً﴾, Rasulullah bersabda: Seseorang yang memperoleh bekal dan kendaraan, sungguh ia telah diwajibkan untuk menunaikan haji. (H.R. Ibn Abi Syaibah)

Al-istitha’ah Menurut Para Ahli Fikih
Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-istitha’ah (kemampuan) tersebut adalah mencakup bekal dan kendaraan. Al-Sarakhsi berkata:

ولم يشترط رسول الله- صلى الله عليه وسلم- أمن الطريق، فدَلَّ أنّ ذلك ليس من شرائط الوجوب، إنما شرط الوجوب ملك الزاد والراحلة للذهاب والمجيء، وملك نفقة من تلزمه نفقته من العيال كالزوجة والولد الصغير[8]

Rasulullah SAW tidak mensyaratkan keamanan dalam perjalanan. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan jalan tidak termasuk syarat wajib haji. Sesungguhnya yang menjadi syarat wajib haji adalah memiliki bekal dan kendaraan untuk pergi serta pulang, dan memiliki nafkah untuk orang-orang yang wajib ia nafkahi dari keluarganya seperti istri dan anak yang masih kecil.

Pernyataan al-Sarakhsi tersebut dikuatkan oleh al-Kassani, yakni bahwa al-istitha’ah itu ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan adanya perbekalan dan kendaraan karena pada dasarnya dua hal ini adalah sebab-sebab yang bisa menyampaikan seseorang ke tanah suci (untuk berhaji). Al-Kassani berkata:

وإنّما فسّر النبي -صلى اللّه عليه وسلم- الاستطاعة بالزّاد والرّاحلة، لكونهما من الأسباب الموصلة إلى الحج[9]

Sesungguhnya penafsiran al-istitha’ah oleh Nabi SAW dengan bekal dan kendaraan karena dua hal ini termasuk di antara hal yang menjadi sebab untuk menyampaikan seseorang kepada haji

Khusus untuk perempuan, Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa menurut mazhab Hanafi disyaratkan adanya keamanan dalam perjalanan. Hal ini meniscayakan adanya mahram atau suami yang baligh dan berakal. Bekal atau nafkah mahram yang akan menemaninya tersebut merupakan tanggung jawab si perempuan.[10]

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat –sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili- bahwa al-istitha’ah yang dimaksud adalah adanya hal yang memungkinkan seseorang untuk sampai ke tanah suci menurut kebiasaan.[11] Menurut mereka, dalam al-istitha’ah tidak disyaratkan adanya kemampuan perbekalan bagi orang yang memiliki usaha (yang bisa menghidupinya) atau bagi orang yang kebiasaannya adalah hidup dengan bantuan orang lain serta kuat prasangkanya bahwa ada orang lain yang akan menanggung bekalnya. Oleh karena itu wajib baginya menunaikan haji.

Mazhab Maliki juga berpendapat bahwa apabila seseorang sanggup untuk berjalan kaki ke Baitullah al-Haram, maka hal tersebut dianggap mencukupi (dalam hal) kendaraannya sehingga ia tidak disyaratkan memiliki kendaraan, karena kesanggupan untuk berjalan menempati tempat kendaraan. Dalam hal ini, mazhab Maliki berpendapat bahwa makna al-istitha’ah bukanlah adanya bekal dan kendaraan tetapi al-istitha’ah adalah adanya kemampuan untuk sampai ke Baitullah.

Tentang hadis yang menyatakan bahwa al-istitha’ah adalah bekal dan perjalanan, al-Qarafi berkata:

وجوابه أنه خرج مخرج الغالب، فلا مفهوم له، أو لعله حال مفهوم السائل، وظاهر قوله تعالى: ﴿مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً﴾ يقتضي أن كل أحدٍ على حسب حاله، فإن الاستطاعة القدرة، لقوله تعالى: ﴿وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ﴾ [النساء: 129]. ويؤكده أن من كان دون مسافة القصر لا تعتبر الراحلة في حقه إجماعا، فلو كانت شرطا في العبادة لعمَّت، وكذلك الزاد، قد يستغني عنه من قربت داره، فليسا مقصودين لأنفسهما، بل للقدرة على الوصول[12]

Jawaban atas hadis tersebut, bahwa sesungguhnya hadis menempati tempat kebiasaan (artinya bahwa penyebutan bekal dan kendaraan adalah hal yang biasanya dianggap sebagai adanya kemampuan). Oleh karena itu hadis tersebut tidak bisa dipahami bahwa al-istitha’ah adalah bekal dan kendaraan. Atau barangkali hadis tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan orang yang bertanya (dalam hadis tersebut). Sedangkan zhahir firman Allah Ta’ala tersebut menghendaki bahwa setiap orang sesuai dengan kondisinya. Oleh karena itu makna al-istitha’ah adalah kemampuan (secara umum). Sama seperti al-istitha’ah dalam pernikahan pada firman Allah surat al-Nisa’ ayat 129.

Hal tersebut dikuatkan bahwa orang yang jaraknya tidak jauh (dari Baitullah) tidak dihitung kesanggupannya dalam hal adanya kendaraan sebagai syarat diwajibkannya haji secara ijma’. Seandainya adanya kendaraan adalah syarat dalam ibadah, maka hal itu juga berlaku umum (sehingga orang yang jaraknya dekat namun tidak memiliki kendaraan juga tidak diwajibkan haji). Seperti itu pula adanya bekal. Maka ada orang yang dicukupkan bekalnya oleh tetangganya. Oleh karena itu, makna al-istitha’ah tidaklah dibatasi hanya pada keduanya (bekal dan kendaraan) tetapi yang dimaksud adalah kesanggupan (secara umum) untuk sampai ke Baitullah.

Al-Dasuqi juga berpendapat:

الاستطاعة التي هي شرطٌ في الوجوب، عبارةٌ عن إمكان الوصول، من غير مشقّةٍ عظيمةٍ مع الأمن على النّفس والمال، ويزاد على ذلك في حقّ المرأة، أن تجد محرمًا من محارمها يسافر معها أو زوجًا[13]

Al-istitha’ah yang menjadi syarat wajib haji adalah suatu ibarat dari kemungkinan seseorang untuk sampai ke Baitullah tanpa adanya kesulitan yang besar serta adanya keamanan atas dirinya dan hartanya. Dan bagi wanita ada tambahannya yaitu memiliki mahram atau suami yang menemaninya dalam perjalanan.

Al-Khirasyi berpendapat:

وحيث فسَّر الاستطاعة، بإمكان الوصول، دخل فيه إمكان السير، وأمن الطريق[14]

Dan ketika ditafsirkan al-istitha’ah dengan kemungkinan untuk sampai ke Baitullah, maka masuk juga dalam penafsiran tersebut adanya kemungkinan untuk melakukan perjalanan dan keamanan dalam perjalanan.

Dari hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mazhab Maliki berpendapat yang dimaksud dengan al-istitha’ah adalah adanya kemampuan secara umum yang bisa memungkinkan seseorang untuk sampai ke Baitullah. Kriteria kemampuan tersebut tidak terbatas hanya kepada adanya bekal dan perjalanan saja, tetapi jika seseorang menilai dirinya bisa sampai ke Baitullah untuk menunaikan haji, maka hal tersebut sudah dianggap memenuhi maksud al-istitha’ah yang menjadi salah satu syarat diwajibkan haji baginya.

Mazhab Syafi’i

Fuqaha’ mazhab Syafi’i berpendapat bahwa al-istitha’ah untuk menunaikan fardhu haji itu ada dua macam yaitu istitha’ah mubasyarah dan istitha’ah bi inabah al-ghair ‘anhu. Maksud istitha’ah mubasyarah adalah kemampuan fisik dan harta, sedangkan istitha’ah bi inabah al-ghair ‘anhu adalah kemampuan harta saja. Istitha’ah mubasyarah memiliki 11 syarat, yakni:

  • Ada biasa perjalanan pergi pulang
  • Ada kendaraan
  • Aman dalam perjalanan
  • Ada air dan bekal di tempat yang mungkin menyediakan keduanya dengan harga mitsil
  • Untuk perempuan, maka ditemani suami atau mahram
  • Bisa tetap berada di atas kendaraan tanpa adanya kesulitan yang berarti
  • Adanya bekal dan lain-lain yang disebutkan ketika orang-orang keluar dari kampungnya
  • Ada masa –setelah lengkapnya kesanggupan tersebut- yang memungkinkannya untuk sampai ke Makkah dengan tanpa kesulitan sesuai kebiasaan
  • Ada teman perjalanan jika merasa tidak aman kalau sendiri
  • Hal-hal tersebut di atas diperoleh dari harta yang ia usahakan sendiri atau lewat utang
  • Bagi yang buta, ada orang yang akan menuntunnya[15]

Baca Juga: Hukum Seputar Rambut

Sedangkan istitha’ah bi inabah al-ghair ‘anhu atau yang disebut dengan istitha’ah dengan harta saja maka hanya berlaku pada orang yang sudah wafat atau orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya.[16]

Oleh karena itu, orang yang memiliki kesanggupan dari sisi fisik dan memiliki harta yang bisa menyampaikannya ke haji, maka al-istitha’ah telah terdapat padanya, sehingga ia tidak boleh digantikan hajinya oleh orang lain. Al-Syafi’i berpendapat:

إذا كان “الرّجل مستطيعًا ببدنه، واجدًا من ماله، ما يبلّغه الحجّ، فتكون استطاعته تامّةً، ويكون عليه فرض الحجّ، لا يجزيه ما كان بهذا الحال إلّا أن يؤدّيه عن نفسه[17]

Jika seseorang telah memiliki kesanggupan dari segi fisik dan memiliki harta yang bisa menyampaikannya ke haji, maka istitha’ah telah sempurna padanya. Ia diwajibkan untuk menunaikan haji dan hajinya harus ia kerjakan dengan dirinya sendiri serta tidak sah digantikan oleh orang lain.

Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-istitha’ah pada haji adalah adanya bekal dan kendaraan.Ibn Qudamah berpendapat:

والاستطاعة مفسرة بالزاد والراحلة، فيجب المصير إلى تفسيره[18]

Al-istitha’ah ditafsirkan (oleh hadis) dengan adanya bekal dan kendaraan. Oleh karena itu wajib memakai tafsir tersebut.

Al-Buhuti berpendapat:

الاستطاعة: ملك زاد يحتاجه في سفره ذهابا وإيابا من مأكول ومشروب وكسوة، وملك راحلة في مسافة بعد عن مكة، ولا يعتبر ملك راحلة في دونها أي مسافة القصر عن مكة، للقدرة على المشي فيها غالبا، ولأن مشقتها يسيرة[19]

Al-istitha’ah yang dimaksud adalah memiliki bekal yang ia butuhkan dalam perjalanannya pergi pulang berupa makanan, minuman dan pakaian. Dan memiliki kendaraan pada perjalanan yang jauh dari Makkah. Namun memiliki kendaraan ini tidak dipandang pada selain jarak jauh tersebut(artinya jarak yang dekat dari Makkah) karena adanya kesanggupan untuk berjalan kaki pada jarak pendek tersebut menurut kebiasaan, ini karena kesulitan yang dimiliki (orang yang berjalan kaki karena jaraknya pendek) tidak begitu berarti.

Dalam hal ini, Fuqaha’ Hanbali mensyaratkan adanya kendaraan bagi yang jaraknya jauh dari Makkah, tetapi tidak mensyaratkannya bagi yang jaraknya dekat, kecuali yang lemah untuk berjalan kaki.Ibn Qudamah berkata:

فأما المكي ومن بينه وبين مكة دون مسافة القصر، فلا يشترط في حقه راحلة، ومتى قدر على الحج ماشياً لزمه؛ لأنه يمكنه ذلك من غير مشقةٍ شديدة[20]

Penduduk Makkah atau orang yang jaraknya pendek ke Makkah tidak disyaratkan baginya adanya kendaraan. Ketika ia sanggup berjalan kaki untuk haji, maka ia diwajibkan menunaikan haji, karena ia mungkin melakukan perjalanan tanpa kesulitan yang berarti.

Orang yang memiliki bekal dan kendaraan untuk pergi pulang, atau memiliki usaha yang bisa menghasilkan bekal dan kendaraan baik berupa uang atau benda, maka ia wajib menunaikan haji. Hal ini karena ia telah memenuhi al-istitha’ah yang menjadi syarat wajib haji.

Selain dua hal di atas, Fuqaha’Hanbali juga mensyaratkan adanya penunjuk jalan bagi orang yang tidak tahu jalan ke Makkah atau penuntun bagi yang buta, dan disyaratkan juga keamanan perjalanan serta kelapangan waktu.[21]

Mazhab Zhahiri

Mazhab Zhahiri menyatakan bahwa yang dimaksud al-istitha’ah adalah sehat jasmani dan memiliki kecukupan harta. Ibn Hazm berkata:

واستطاعة السّبيل الذي يجب به الحجّ، إمّا صحّة الجسم والطّاقة على المشي والتّكسّب من عملٍ أو تجارةٍ ما يبلغ به إلى الحجّ ويرجع إلى موضع عيشه أو أهله، وإما مالٌ يمكّنه منه ركوب البحر أو البرّ والعيش منه حتى يبلغ مكّة ويردّه إلى موضع عيشه أو أهله، وإن لم يكن صحيح الجسم إلاّ أنّه لا مشقّة عليه في السّفر برًّا أو بحرًا، وإما أن يكون له من يطيعه فيحجّ عنه ويعتمر بأجرةٍ أو بغير أجرةٍ إن كان هو لا يقدر على النّهوض لا راكبًا ولا راجلاً فأيّ هذه الوجوه أمكنت الإنسان المسلم العاقل البالغ فالحجّ والعمرة فرضٌ عليه[22]

Istitha’ah dalam berjalan yang mewajibkan haji itu adakalanya berupa kesehatan jasmani, kesanggupan untuk berjalan dan mengusahakan harta –baik dari bekerja atau berniaga- yang akan menyampaikannya kepada haji serta kembali ke tempat asalnya atau keluarganya. Dan adakalanya berupa harta yang memungkinkannya untuk berkendaraan di laut dan darat serta menghidupinya hingga ia sampai ke Makkah dan kembali ke tempat asalnya atau keluarganya, sekalipun fisiknya tidak sehat namun hal ini tidak memberikan kesusahan baginya untuk menempuh perjalanan darat dan laut. Atau adakalanya ia memiliki orang yang sanggup menggantikannya, maka orang tersebut bisa menggantikannya, baik dengan upah atau tidak. Ini khusus bagi orang yang tidak memiliki kesanggupan untuk bangkit (lemah fisiknya), baik berkendaraan atau berjalan kaki. Manasaja bentuk-bentuk di atas yang terdapat pada seorang manusia, muslim, berakal dan baligh,  maka haji dan umrah wajib baginya.

Dari beberapa pendapat mazhab di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa secara umum ada dua pendapat tentang makna al-istitha’ah:

  • Pendapat jumhur selain mazhab maliki menyatakan bahwa al-istitha’ah yang dimaksud adalah adanya bekal dan kendaraan.
  • Pendapat mazhab maliki yang menyatakan bahwaal-istitha’ah yang dimaksud adalah kemampuan secara umum yang bisa memungkinkan seseorang untuk sampai ke Baitullah. Artinya standar kemampuan tersebut diukur sesuai porsi masing-masing. Jika seseorang merasa sudah mampu menurut ukurannya untuk melakukan haji tanpa kesulitan yang berarti, maka ia sudah diwajibkan untuk menunaikan haji.

Pendapat jumhur yang memaknai al-istitha’ah dengan bekal dan perjalanan, mensyaratkan kriteria bekal tersebut sebagai berikut:

  • Bekal tersebut mencukupi dirinya dalam perjalanan pergi pulang
  • Bekal tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya berupa nafkah keluarga, anak, pembantu, hewan ternak, kitab-kitab, tempat tinggal dan lain-lain selama ia melaksanakan perjalan haji.
  • Bekal tersebut juga melebihi dari utang yang mesti ia bayar.[23]

Jika salah satu syarat bekal di atas tidak terpenuhi, maka gugurlah kewajiban haji baginya.

Dari dua pendapat tentang maksud al-istitha’ah di atas, penulis melihat bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur fuqaha’ yang menafsirkan al-istitha’ah dengan adanya bekal dan kendaraan. Penguatan pendapat tersebut karena beberapa alasan berikut:

  • Banyak dan kuatnya hadis yang menjelaskan penafsiran Nabi SAW bahwa al-istitha’ah yang dimaksud pada haji adalah adanya bekal dan kendaraan.
  • Pada dasarnya, syariat Islam mensyaratkan adanya kemampuan secara umum seperti kemampuan fisik dalam pelaksanaan ibadah apapun. Oleh karena itulah perintah shalat, zakat, puasa dalam al-Qur’an tidak dikaitkan dengan pensyaratan adanya kemampuan. Berbeda dengan perintah haji yang dikaitkan dengan kemampuan, hal ini menunjukkan bahwa maksud kemampuan dalam haji tersebut bukanlah kemampuan secara umum semisal kemampuan fisik saja seperti pada ibadah lain, melainkan kemampuan tertentu yang sifatnya lebih dari kemampuan biasa seperti harta (bekal) dan kendaraan).
  • Haji adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesiapan bekal serta kendaraan. Perjalanan panjang tersebut tidak cukup hanya memiliki kesiapan berjalan kaki atau berprasangka bahwa akan ada orang yang bisa diminta tolong dalam perjalanan (seperti pendapat mazhab Maliki). Membebani manusia dengan berjalan kaki ke Makkah adalah sebuah kesulitan, sedangkan syariat Islam bertujuan untuk mengangkat kesulitan yang berarti dalam pelaksanaan Ibadah. Begitu juga dengan prasangka akan adanya orang yang akan menolong bersifat tidak pasti. Dikhawatirkan jika nanti tidak ada orang yang akan menolong maka akan menimbulkan kesulitan tersendiri.

[1] Lihat, Ibn Manzhur, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, 1990), Cet. ke-1, Jilid 8, h. 280

[2] Kementerian Wakaf Kuwait, Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Dar al-Salasil, 1427 H), Jilid. 17, h. 23

[3] Ibid., h. 27 – 28

[4] Ibid., h. 39 – 41

[5] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, (Manshurah: Dar al-Wafa’, 2001), Jilid 2, h. 157

[6] Abu Bakr bin Mas’ud al-Kassani, Badai’ al-Shanai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), Jilid 2, h. 293

[7] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-‘Umdah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), Jilid 1, h. 158

[8] Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1989), Jilid. 4, h. 163

[9] Al-Kassani, Op.Cit., h. 122

[10] Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2010), Jilid. 3, h. 94

[11] Ibid., h. 95

[12] Ahmad bin Idris al-Qarafi, Al-Dzakhirah, (Maroco: Dar al-Gharb al-Islami, 1994), Jilid 3, h. 177

[13] Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid 2, h. 9

[14] Al-Khirasyi, Syarah Mukhtashar al-Khalil, (Kairo: Maktabah Isa al-Halabi, tt), Jilid 2, h. 284

[15] Al-Sayyid al-Bakri Syatha al-Dumyathi, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, (Kairo: Maktabah Isa al-Halabi, tt), jilid 2, h. 281 – 282. Lihat juga, Yahya bin Syarf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin,  (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1991), Jilid 3, h. 10

[16] Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Ibid.

[17] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Op.Cit., h. 113

[18] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (Kairo: Dar al-Hadits, 1997), Jilid 3, h. 166. Lihat juga, Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Kafi fi Fiqh ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), Jilid 1, h. 380

[19] Manshur bin Yunus al-Buhuti, Syarh Muntaha al-Iradat, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2003), Jilid 1, h. 517

[20] Ibn Qudamah, Op.Cit.

[21] Manshur bin Yunus al-Buhuti, Op.Cit., h. 517

[22] Ibn Hazm al-Zhahiri, Al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010), Jilid 7, h. 53

[23] Wahbah Zuhaili, Op.Cit., h. 95

Zamzami Saleh
Calon Hakim Pengadilan Agama, Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah MTI Canduang. Alumni al-Azhar Mesir dan Pascasarjana di IAIN IB Padang.