scentivaid mycapturer thelightindonesia

Hukum Islam itu Bukan Living Law: Tanggapan untuk Yusril Ihza Mahendra

Yusril Ihza Mahendra sedang Menyampaikan Living Law
Ilustrasi/Dok. Istimewa

Saya tidak meragukan kapasitas Yusril Ihza Mahendra –selanjutnya YIM- sebagai ahli hukum. Kapasitas dan popularitas beliau sangat diakui di Indonesia. Bahkan dalam beberapa makalah mengenai hukum, saya kerap merujuk kepada buku-buku beliau. Namun ketika melihat pernyataan beliau tentang hukum Islam kening saya sedikit berkernyut. Khususnya pada bagian yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah “living law” (Republika, 24/12). Apa pasal?

Hukum Islam sebagai living law yang dimaksud YIM adalah hukum Islam merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dari sini, saya melihat ada kekeliruan yang mesti diluruskan terkait pengertian hukum Islam tersebut. Seolah-olah pernyataan ini menandaskan bahwa hukum Islam di Indonesia tumbuh dari masyarakat, kemudian semerta-merta bisa disatukan melalui fatwa MUI. Lebih lanjut, YIM juga meminta keterlibatan negara untuk memfasilitasi.

Meski demikian, di sini saya tidak akan membahas persoalan terlibat atau tidaknya negara atau aparaturnya dalam mengawali fatwa MUI. Di samping karena telah banyak yang membahas, perkaranya juga sudah jelas. Negara atau aparatur negara tidak bisa terlibat langsung untuk mengawal fatwa MUI karena fatwa sejatinya bukan hukum positif. Apa yang bisa dilakukan negara terkait fatwa MUI paling banter hanyalah himbauan. Dengan demikian, Saya hanya fokus kepada hukum Islam yang disampaikan oleh YIM sebagai “living law”. Benarkah hukum Islam itu “living law”? Lalu, hukum Islam yang mana yang dimaksud?

Baca Juga: Islam Agama yang Diskriminatif?

Sekilas Tentang Hukum Islam

Saya sepakat jika dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia bukan ius constitutum dan juga bukan pula ius constituendum, namun saya tidak sepakat jika dikatakan bahwa hukum Islam adalah “living law”. Sebab terma living law sebenarnya lebih merujuk kepada hukum yang hidup di tengah masyarakat. Jika dipaksa untuk mengategorikan maka hukum adat lah yang lebih tepat dengan terma ini, karena ia memang tumbuh di masyarakat. Tapi hukum Islam tidak sesederhana itu untuk didefinisikan sebagai “living law”.

Bagaimana bisa hukum Islam yang jelas-jelas disentuh oleh berbagai penafsiran dikatakan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat? Apalagi, hukum Islam yang dipahami di Indonesia lebih didominasi oleh hukum Islam yang diadopsi dari fikih klasik. Termasuk dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Definisi klasik tidak bisa dikultuskan jika kita masih mau mengatakan bahwa hukum Islam itu dinamis seperti yang dikatakan YIM. Bahkan jika mesti dilegalisasi ia mesti disesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan.

Adalah Michiel Otto dalam buku Sharia Incorporated mengatakan, terma hukum Islam (Islamic Law) atau sharia dikepung oleh kekacauan antara teori dan praktik, antara makna agama dan hukum, antara perspektif dalam dan luar, antara manifestasi masa lalu dan sekarang. Oleh karenanya, perlu pengakuan bahwa bermacam cara yang dilakukan oleh pembuat hukum, sarjana keagamaan, hakim, akademisi, dan lain yang merujuk kepada hukum Islam, mesti dianalisis dan dikategorikan.

Oleh sebab itu, ia menawarkan empat kategori dari sharia tersebut, pertama divine sharia (hukum Islam yang abstrak yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah) kedua, classical sharia (hukum Islam klasik, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih), ketiga, historically transferred sharia (keseluruhan interpretasi hukum Islam yang ditransmisikan lebih dari 1000 tahun) keempat, contemporary sharia (hukum Islam kontemporer). Lantas, Hukum Islam yang mana yang dimaksud oleh YIM sebagai “living law”?

Keempat kategori ini setidaknya menjelaskan bahwa perlu ke hati-hatian untuk mengatakan bahwa “hukum Islam itu begini atau begitu”. Sebab ia tidak tunggal, kecuali negara memang melegalisasi fatwa tersebut dalam bentuk perundang-undangan. Jika demikian, perkaranya jelas. Ia merupakan hukum positif yang perlu melibatkan aparatur negara dalam penegakannya.

Di sisi lain, secara motode hukum Islam itu ‘ditemukan’ dengan sumber utama al-Quran dan Sunnah. Ia tidak sama dengan hukum-hukum lain yang metodenya ‘dibuat’ atau ‘diciptakan’ seperti hukum Eropa. Apa yang dilakukan MUI adalah salah satu bentuk penemuan hukum tersebut. Hukum memakai atribut agama lain adalah bentuk penemuan hukum oleh MUI yang kemudian dijadikan fatwa. Lalu apakah hukum ini telah disepakati oleh seluruh umat Islam di Indonesia dan mesti diikuti secara membabi buta dengan dalih kepastian hukum? Secara tegas ini bisa dijawab, bahwa fatwa sejatinya tidak wajib diikuti -baik itu dipandang dalam perspektif fikih klasik sekalipun- karena ia hanya legal opinion.

Baca Juga: Ulama dalam Konflik Sosial

Hukum Islam itu Hukum Tercatat

Jika hukum dibagi berdasarkan dua kategori; tertulis dan tidak tertulis. Maka di sini, perlu ditambahkan bahwa hukum Islam merupakan hukum tercatat. Jika ditilik dari sejarah awal -bahkan sampai sekarang- hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Dengan berbagai metode hukum Islam ditemukan oleh ahli fikih yang kemudian diabadikan dalam kitab-kitab fikih. Itu adalah hukum tercatat.

Seiring berkembangnya zaman, penemuan hukum Islam tidak jalan di tempat, ia dinamis. Kedinamisannya ditandai dengan munculnya berbagai pendekatan-pendekatan dalam mengkaji hukum Islam, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, filosofis dan sebagainya.

Dengan demikian, hukum Islam itu tidak sesederhana fatwa MUI. Jika hukum Islam mesti diseragamkan di Indonesia, satu-satunya cara adalah legislasi atau menjadikannya hukum positif sebagaimana yang dilakukan pada masa orde baru terhadap Undang-undang perkawinan. Jika langkah ini dianggap berat dan naïf, lalu mengapa fatwa MUI mesti diikuti bersama? Barangkali pertanyaan ini perlu direnungkan.[] Tulisan ini juga terbit di qureta.com

Mhd Yazid
Alumni MTI Canduang, saat ini kuliah Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.