Rabbighfirli wa Li Walidayya
Banyak ditemukan di masyarakat ada yang membaca doa “rabbighfirli wa li walidayya” setelah membaca surat al-Fatihah sebelum ãmin dalam salat. Sebagian mengatakan bahwa tambahan doa ini adalah bidah, sementara sebagian lagi tetap mengamalkannya karena begitu diajarkan oleh ulama mereka. Bagaimana hukumnya?
Permasalahan ini cukup sukar dijawab karena dalam literatur mazhab Syafi’i klasik tidak ditemukan bahasannya. Akan tetapi, salah seorang imam hadis bernama al-Bayhaqi RA dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra menuliskan sebuah riwayat sebagai berikut:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ قَالَ ( غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ) قَالَ : رَبِّ اغْفِرْ لِى آمِينَ
Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda (setelah membaca ayat “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa lãdh dhallin”, beliau berdoa “rabbighfirli (Wahai Tuhanku ampunilah aku)”, ãmin (H.R. al-Bayhaqi).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani dalam kitabnya al-Mu’jam. Imam al-Dzahabi mengomentari hadis ini bahwa hadis ini adalah hadis munkar yang masuk kategori dhaif jiddan (sangat lemah). Dalam silsilah rawinya ada al-‘Uthoridi dan ayahnya, keduanya merupakan rawi yang banyak dikomentari oleh para ahli hadis. Begitu juga dalam rawinya ada Abu Abdillah al-Yahsubi yang dihukumi majhul (tidak diketahui statusnya dalam ilmu hadis). Hadis ini kemungkinan dihukumi munkar karena menyelisihi hadis-hadis semisal yang perawinya tsiqah yang dalam redaksi hadisnya tidak ada tambahan doa rabbighfirli tersebut.
Adapun tentang hukum mengamalkannya, sepertinya para ulama mazhab Syafi’i mutaqaddimin tidak mengamalkan hadis ini, sehingga mereka pun tidak membahasnya dalam kitab-kitab mereka. Namun, para ulama mazhab Syafi’i muta’akhirin dan era belakangan ada yang membahasnya. Di antaranya adalah Syekh Abu Bakar (al-Bakri) bin Muhammad Syatha al-Dumyati (guru dari Syekh Ahmad Khatib al-Mangkabawi/Minangkabawi) dalam kitabnya yang termasyhur I’anah al-Thalibin ‘ala Halli Alfazhi Fath al-Mu’in menguraikan sebagai berikut:
(قوله: سوى رب اغفر لي)
أي أنه يستثنى من التلفظ بشئ التلفظ برب اغفر لي، فإنه لا يضر للخبر الحسن: أنه – صلى الله عليه وسلم – قال عقب * (ولا الضالين) *: رب اغفر لي.وقال ع ش: وينبغي أنه لو زاد على ذلك: ولوالدي ولجميع المسلمين.لم يضر أيضا.اه.
(Perkataan pengarang fath al-mu’in: selain rabbighfirli) artinya dikecualikan dari membaca sesuatu adalah melafazhkan doa rabbighfirli. Sesungguhnya berdoa dengan rabbighfirli tidak memberi mudharat (kerusakan), karena ada khabar/hadis hasan bahwa Nabi Muhammad SAW berdoa dengannya selesai membaca wa lãdh dhallin, rabbighfirli. Dan kalau begitu pantas juga kalau ditambah doa tersebut dengan redaksi wa li walidayya wa li jami’il muslimin, maka juga tidak memberi mudharat (kerusakan)
Syekh Bakri Syatha ketika membahas tentang Imam yang mesti memisahkan antara wa lãdh dhallin dengan bacaan ãmin saat membaca surat al-Fatihah dalam salat, menjelaskan bahwa semestinya imam memisahkannya dengan diam sejenak dan tidak berkata apa-apa, kecuali memisahkannya dengan berdoa rabbighfirli karena ada riwayatnya. Akan lebih baik juga ditambah dengan mendoakan kedua orang tua dan seluruh umat Islam dengan redaksi wa li walidayya wa li jami’il muslimin. Berdoa ini dianggap tidak memberi kerusakan, artinya tidak membuat salat batal, serta tidak menghilangkan keutamaan imam diam sejenak untuk memberikan pemisah antara ayat wa lãdh dhallin dengan bacaan ãmin.
Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar yang dikenal dengan Sayyid Ba ‘Alawi (Mufti Negeri Hadramaut) dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin (kumpulan fatwa-fatwa para imam muta’akhkhirin) mengungkapkan sebagai berikut:
فائدة : قال الشريف العلامة طاهر بن حسين : لا يطلب من المأموم عند فراغ إمامه من الفاتحة قول رب اغفر لي ، وإنما يطلب منه التأمين فقط ، وقول ربي اغفر لي مطلوب من القارىء فقط في السكتة بين آخر الفاتحة وآمين اهـ. وفي الإيعاب : أخبر الطبراني عن وائل بن حجر قال : رأيت رسول الله دخل الصلاة فلما فرغ من فاتحة الكتاب قال : آمين ثلاث مرات ، ويؤخذ ممن ندب تكرير آمين ثلاثاً حتى في الصلاة ، ولم أر من صرح بذلك اهـ.
Al-Syarif al-‘Allamah Thahir bin Husein berkata: Seorang makmum setelah imam selesai membaca al-Fatihah tidak diwajibkan membaca “rabbighfirli”. Yang dituntut dari makmum hanyalah membaca “ãmin” saja. Membaca “rabbighfirli” hanya dituntut dari orang yang membaca al-Fatihah ketika ada diam sejenak antara surat al-Fatihah dengan bacaan “ãmin”. Dalam kitab al-I’ab, disebutkan bahwa Imam al-Thabarani mengutarakan riwayat dari Wail bin Hujr, ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW salat, ketika beliau selesai membaca surat al-Fatihah beliau berkata: “Ãmin” sebanyak tiga kali. Disimpulkan dari anjuran mengulang ãmin tiga kali ini bahkan dalam salam, tetapi aku tidak melihat ada yang menjelaskan demikian.
Uraian para ulama di atas menjelaskan hukum sebagai berikut:
Pertama, boleh hukumnya, bahkan dianjurkan berdoa rabbighfirli setelah membaca wa lãdh dhallin sebelum bacaan ãmin dalam salat, apalagi di luar salat. Kalau doa tersebut ditambah dengan redaksi wa li walidayya wa li jami’il muslimin, maka tidak apa-apa.
Kedua, dalam salat jamaah, yang membaca doa tersebut adalah yang membaca surat al-Fatihah. Artinya ketika imam yang membaca surat al-Fatihah, maka yang membaca hanyalah imam saja, tidak bagi makmum. Makmum membacanya ketika ia membaca surat al-Fatihah.
Kesimpulannya adalah bahwa perkara ini adalah perkara ikhtilaf. Bagi yang menyukai membaca doa rabbighfirli wa li walidayya setelah membaca wa lãdh dhallin sebelum bacaan ãmin dalam surat al-Fatihah, maka mereka bertaqlid kepada pendapat-pendapat ulama mujtahid di atas. Bagi yang tidak membaca, maka juga tidak apa-apa, karena bisa jadi bertaqlid kepada pendapat-pendapat ulama mujtahid lain yang tidak membacanya. Tidak ada pendapat yang lebih utama satu dari yang lain dalam masalah ini.
Jangan banyak menghabiskan waktu untuk berdebat dalam perkara yang status hukumnya masih diperselisihkan (ikhtilaf). Dalam perkara ikhtilaf, ada kaidah fikih yang dijelaskan oleh Imam al-Syuyuthi RA dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair sebagai berikut:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Masalah yang masih diperselisihkan status hukumnya, maka tidak boleh diingkari. Yang harus diingkari adalah masalah yang status ketidakbolehannya (keharamannya) telah disepakati.
Syekh Muhammad Mustafa al-Zuhaili (adik Syekh Wahbah al-Zuhaili) dalam kitabnya al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fî al-Madzahib al-Arba’ah menjelaskan tentang kaidah di atas:
فلا يجب إنكار المختلف فيه، لأنه يقوم على دليل، وإنما يجب إنكار فعل يخالف المجمع عليه، لأنه لا دليل عليه
Tidak diwajibkan menolak masalah-masalah yang masih diperselisihkan (status boleh atau tidak bolehnya), karena (pendapat-pendapat boleh atau tidak boleh itu) masih berdasarkan pada dalil. Penolakan harus diterapkan pada perbuatan yang menyalahi kesepakatan ulama (atas boleh atau tidak bolehnya), karena tidak berdasarkan dalil.[]
Wallahu A’lam
Bismillah, saya mengutarakan pendapat dari sudut pandang awam, mempertanyakan mengapa sekaliber imam2 terdahulu mengatakan hadits ini dhoif jiddan bahkan mungkar, sampai2 imam Syafi’i tidak pernah membahas apalagi mengamalkannya. Namum, imam2 setelahnya justru mengamalkannya dan mempertahankan suatu amalan yg berlandaskan pada hadist lemah yg berisiko menjadi bid’ah, dan pendapat mengenai tidak diwajibkan menolak masalah2 yg masih diperselisihkan menunjukkan bahwa ia tidak berhati2 dalam mengerjakan suatu perkara dan juga bukannya sebagai muslim kita wajib meninggalkan perkara yg syubuhat? Afwan ana tidak sependapat dengan hal ini