Hukum Mengikuti Imam yang Berbeda Mazhab
Hari ini ditemukan di masyarakat orang yang enggan untuk salat berjamaah pada masjid tertentu dengan alasan bahwa salat imam di masjid itu tidak sah menurut pandangannya, sehingga tidak boleh mengikuti imam tersebut. Apabila di suatu kampung terdapat Masjid yang salat berjamaah menggunakan mazhab Syafi’i dengan ciri khas bacaan basmalahnya dikeraskan, salat subuh dengan membaca kunut, dan semisalnya, maka biasanya yang tidak bermazhab Syafi’ agak keberatan untuk ikut berjamaah di sana. Sebaliknya, kalau di Masjid tersebut berjamaah dengan menggunakan pendapat misalnya Muhammadiyah yang tidak membaca basmalah atau tidak mengeraskan bacaan basmalah pada salat, maka masyarakat pemegang mazhab Syafi’i juga jadi enggan untuk ikut berjamaah di sana, dengan alasan salat imamnya tidak sah. Lalu bagaimana hukumnya mengikuti imam yang berbeda mazhab atau pendapat fikihnya terutama dalam masalah salat dan yang berkaitan dengannya?
Masalah seperti ini sebenarnya sudah banyak dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tanda bahwa masalah ini bukan hal yang baru. Imam Nawawi RA dalam kitabnya al-Majmu’ syarh al-Muhadzzab menjelaskan:
فِي مَسَائِلَ تَتَعَلَّقُ بِالْبَابِ (إحْدَاهَا) الِاقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إيجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبَ الْوُضُوءِ وَشِبْهَ ذَلِكَ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ (أَحَدُهَا) الصِّحَّةُ مُطْلَقًا قَالَهُ الْقَفَّالُ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْإِمَامِ (وَالثَّانِي) لَا يَصِحُّ اقتداؤه مطلقا قاله أبو اسحق الاسفرايني لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ (وَالثَّالِثُ) إنْ أَتَى بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ أَوْ شَكَكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ (وَالرَّابِعُ) وَهُوَ الاصح وبه قال أبو اسحق المروزى والشيخ أبو حامد الاسفراينى والبندنيجى والقاضي أبى الطيب والاكثرون ان تحققنا تركه لشئ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَكْنَا صَحَّ وَهَذَا يَغْلِبُ اعْتِقَادَ الْمَأْمُومِ.
Di antara masalah-masalah yang berhubungan dengan bab salat jamaah ini adalah hukum mengikuti imam yang berbeda mazhabnya dengan makmum. Seperti makmum bermazhab Syafi’i mengikut berjamaah kepada imam yang bermazhab Hanafi atau Maliki yang tidak mewajibkan pembacaan basmalah dalam al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, tidak mewajibkan adanya tertib saat berwudhu dan lain sebagainya. Dalam hal ini empat pandangan dalam internal mazhab Syafi’i. Pertama, hukumnya sah secara mutlak dengan didasarkan pada keyakinan imam. Pendapat ini diutarakan oleh al-Qaffal. Kedua, tidak sah secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Syekh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasannya adalah meski imam tersebut melakukan apa yang menjadi syarat bagi kita mazhab Syafi’i, tetapi dia tidak meyakini hal tersebut sebagai kewajiban, sehingga dia dihukumi seperti tidak melakukannya. Ketiga, jika ia (imam yang Hanafi atau Maliki) melakukan apa yang menjadi syarat sahnya salat bagi kita (makmum yang Syafi’i) maka sah, dan jika tidak melakukannya, maka tidak sah. Keempat, dan merupakan pendapat yang paling ashoh adalah jika kita (makmum yang Syafi’i) meyakini dia (imam yang Hanafi atau Maliki) tidak mengerjakan syarat-syarat yang menjadi syarat sahnya salat bagi kita (makmum yang Syafi’i), maka salat kita tidak sah, tetapi jika kita yakin atau hanya ragu dia (imam yang Hanafi atau Maliki) melakukan sesuatu yang menjadi syarat sahnya salat bagi kita (makmum yang Syafi’i), maka salat kita sah-sah saja.”
Baca Juga: Kajian Hadis Bolehkah Perempuan Jadi Imam Salat
Hukum Mengikuti Imam yang Berbeda Mazhab
Dari penjelasan Imam Nawawi RA di atas, kita dapat simpulkan ada empat pandangan dalam internal ulama mujtahid mazhab Syafi’i tentang masalah perbedaan mazhab imam dan makmum dalam perkara-perkara furu’ (cabang):
Pertama, hukumnya sah secara mutlak. Maknanya, apapun mazhab Imamnya dan pendapatnya selama imam tersebut meyakini bahwa salatnya adalah sah, maka sah bagi makmum yang bermazhab Syafi’i untuk mengikut kepadanya. Standarnya adalah keyakinan imam terhadap salatnya. Ulama mazhab Syafi’i yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah imam al-Qaffal.
Kedua, hukumnya tidak sah secara mutlak, bahkan meskipun imam itu melakukan hal-hal yang menjadi syarat bagi kita mazhab Syafi’i. Alasannya adalah meski imam tersebut melakukan apa yang menjadi syarat bagi kita mazhab Syafi’i, tetapi dia tidak meyakini hal tersebut sebagai kewajiban, sehingga dia dihukumi seperti tidak melakukannya. Ulama mazhab Syafi’i yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah imam Abu Ishaq al-Isfarayini.
Ketiga, hukumnya dilihat dulu. Jika imam itu melakukan apa yang menjadi syarat sah salat bagi kita mazhab Syafi’i, maka hukumnya adalah sah menjadi makmumnya. Namun, jika imam tidak melakukan apa yang menjadi syarat sah salat bagi kita mazhab Syafi’i, maka hukumnya tidak sah.
Keempat, jika kita sebagai makmum mazhab Syafi’i meyakini bahwa imam itu tidak melakukan apa yang menjadi syarat bagi kita mazhab Syafi’i, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Namun, jika kita sebagai makmum mazhab Syafi’i yakin atau sekadar ragu (menyangka) bahwa dia (imam yang Hanafi atau Maliki) melakukan sesuatu yang menjadi syarat sahnya salat bagi kita (makmum yang Syafi’i), maka salat kita sah-sah saja. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama mazhab Syafi’i seperti Imam Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Imam Al-Bandaniji, Qadhi Abu Thayyib al-Thabari, dan lain-lain.
Empat pendapat di atas merupakan pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama yang sudah berstatus mujtahid dalam mazhab Syafi’i, meskipun yang lebih mendekati dengan kaidah mazhab adalah pendapat yang keempat dan diikuti oleh mayoritas. Akan tetapi, semua pendapat ini bisa diikuti.
Untuk saat ini dimana kita susah mengetahui mazhab apa yang dipakai imam, maka pendapat pertama bisa kita pakai dalam kondisi tertentu, terutama kondisi menghindari fitnah. Syekh Wahbah al-Zuhaili sendiri dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu memilih pendapat bahwa jika sesuatu hal itu merupakan syarat dalam sahnya salat, maka sudut pandang diterimanya salat adalah menurut mazhab imamnya saja (pendapat pertama). Beliau menjelaskan:
وتكون الصلاة خلف المخالفين في الفروع المذهبية صحيحة غير مكروهة؛ إذ العبرة بمذهب الإمام؛ لأن الصحابة والتابعين ومن بعدهم لم يزل بعضهم يأتمّ ببعض مع اختلافهم في الفروع، فكان ذلك إجماعاً، وبه تنتهي آثار العصبية المذهبية
Salat di belakang imam yang berbeda pada pendapat mazhab itu hukumnya sah, tidak makruh, karena yang jadi standar adalah sudut pandang mazhab yang dipegang imam. Selain itu, para sahabat, tabi’in, serta para ulama setelahnya senantiasa menjadi makmum dan imam satu sama lain meski mereka berbeda pendapat dalam hal-hal cabang. Maka seolah-olah pendapat ini adalah ijmak. Dengan begitu bisa menghentikan pengaruh-pengaruh fanatisme mazhab.
Selain itu, ada uraian singkat yang perlu kita renungkan. Imam Nawawi RA mengutarakan pendapat dari salah dua ulama besar dalam mazhab Syafi’i sebagai berikut:
وَقَالَ الْأَوْدَنِيُّ وَالْحَلِيمِيُّ الامامان الجليلان من أصحابنا لوام وَلِيُّ الْأَمْرِ أَوْ نَائِبُهُ وَتَرَكَ الْبَسْمَلَةَ وَالْمَأْمُومُ يَرَى وُجُوبَهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ خَلْفَهُ عَالِمًا كَانَ أَوْ نَاسِيًا وَلَيْسَ لَهُ الْمُفَارَقَةُ لِمَا فِيهِ مِنْ الْفِتْنَةِ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ وَهَذَا حَسَنٌ
Al-Audani dan al-Halimi, dua orang imam yang besar dalam ashab mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kalau yang menjadi imam itu adalah pemimpin negeri atau orang yang ditunjuk menggantikannya (naibnya), lalu dia meninggalkan membaca basmalah (dalam al-Fatihah pada salat), sedangkan para makmum berpendapat bahwa wajib hukumnya membaca basmalah, maka hukum salat makmum yang mengikuti di belakangnya tetap dihukumi sah. Baik imam itu mengetahui bahwa ia tidak membaca basmalah (karena mungkin berpendapat bahwa basmalah tidak wajib) ataupun ia lupa membacanya. Tidak boleh makmum berniat berpisah (mufaraqah) dari imam itu, karena perbuatan memisahkan diri dari imam dapat memunculkan fitnah. Imam al-Rafi’i mengomentari pendapat itu bahwa ini adalah pendapat yang baik.
Baca juga: Hukum Membaca al-Quran dari Mushaf Saat Salat
Uraian imam Nawawi di atas ini mengisyaratkan kepada kita tentang penting menjaga diri dari fitnah di kalangan masyarakat. Bahkan, pendapat kita dalam urusan yang khilafiyah (perbedaan ijtihad dalam masalah cabang) dapat mestinya kita kesampingkan dahulu demi meraih maslahat yang lebih besar (yaitu berlanjutnya salat jamaah) dan menghindarkan kita dari munculnya fitnah. Hal ini adalah nasihat bagi kita agar dapat toleransi dan mengenyampingkan egoisme pendapat fikih kita sesaat demi tumbuhnya persatuan di masyarakat. Sehingga diharapkan ke depan masjid-masjid terdekat dari tempat tinggal kita tetap penuh meskipun diimami oleh orang-orang yang mungkin berbeda pendapatnya dengan kita. Dalam hal ini masjid dekat rumah kita misalnya diimami oleh orang yang bukan bermazhab Syafi’i, maka alangkah baiknya kita tetap salat di sana dengan mengambil pendapat ulama yang agak lapang dalam urusan itu. Hal ini lebih baik daripada kita malah tidak berjamaah, atau memilih salat berjamaah di masjid yang jauh.[]
Hukum Mengikuti Imam yang Berbeda Mazhab
Wallahu A’lam
Hukum Mengikuti Imam yang Berbeda Mazhab
Tanya ustadz, bagi yang sudah berkeluarga apakah dia lebih afdhol berjamaah dengan anak istrinya daripada berjamaah di masjid ?