scentivaid mycapturer thelightindonesia

Huruf Waw dan Semangat Persatuan Umat

Huruf Waw dan Semangat Persatuan Umat

Huruf waw dalam ayat Wa’taṣimụ biḥablillāhi jamī’aw wa lā tafarraqū adalah huruf aṭaf mengisyaratkan berkumpulnya dua hal itu dalam waktu yang sama yang mengisyaratkan kita untuk berkompromi atas perbedaan demi terwujudnya persatuan bukanlah suatu kerendahan atau kekalahan.

————-

Silih berganti sejak wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, Islam terus berkembang dan bertransformasi berikut dinamika dan berbagai problematiknya. Ketiadaan Nabi sebagai mufassir utama al-Qur’an dan tempat bertanya bagi kaum muslimin membuka jalan bagi beragamnya penafsiran al-Qur’an. Tujuaan penafsiran ini adalah upaya menjawab problem kekinian.

Dalam proses penafsiran ini ada banyak kepala yang tak satu ditambah latar belakang sosial yang mengitarinya. Mau tak mau prosesnya mempengaruhi hasil penafsiran atas Kalam Ilahi yang suci. Manusia dengan berbagai wataknya pun tak satu caranya melihat perbedaan itu. Perpecahan yang hadir memorak-porandakan kehidupan bermasyarakat tak bisa dipandang remeh.

Kadang kita lupa, takkah kita ingat bagaimana Allah ta’āla berfirman di dalam Q.S. Ali Imran [3]: 103?

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ …

Wa’taṣimụ biḥablillāhi jamī’aw wa lā tafarraqū

Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada ḥabl Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…

Pada ayat di atas dapat kita lihat bahwa Allah memerintahkan kepada kita orang-orang beriman—sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya—untuk berpegang teguh dengan ḥabl Allāh dan tidak bercerai berai.

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya meriwayatkan beberapa hadis terkait makna ḥabl Allāh di dalam ayat di atas. Semua hadis yang beliau cantumkan menjelaskan bahwa makna ḥabl Allāh pada ayat di atas adalah al-Qur’an. Sedangkan walā tafarraqū adalah perintah untuk selalu berjamaah (bersatu) dan tidak berpecah belah.

Satu hal yang ingin penulis sorot di dalam ayat ini adalah kedudukan huruf waw. Sebagaimana yang dituliskan Muhyiddin Darwisy di dalam I’rab al-Qur’ān wa Bayānuhu, waw di dalam ayat ini merupakan huruf aṭaf dengan lā tafarraqū sebagai ma’ṭūf dan i’taṣamū sebagai ma’ṭūfalaih. Huruf waw di sini mengikat dua perintah yang Allah jelaskan di dalam ayat ini.

Ibnu Aqil di dalam Syarḥ Alfiyah menjelaskan bahwa waw sebagai huruf aṭaf mengisyaratkan berkumpulnya dua hal itu dalam waktu yang sama. Atau kita bahasakan—jika kita melihat konteksnya di dalam ayat ini—waw di sini menunjukkan bahwa keharusan bagi kita untuk melaksanakan keduanya secara bersamaan. Perselisihan apakah keduanya harus dihadirkan secara bersamaan atau salah satu mendahului yang lain rasanya tak perlu kita perpanjang karena keduanya tetap menunjukkan bahwa keduanya harus dikerjakan, tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Ayat ini memerintahkan kita berpegang teguh dengan al-Qur’an dan secara bersamaan  melarang kita untuk berpecah belah. Tapi takkah kita melihat di zaman kita ini, bagaimana seseorang berpegang teguh dengan pemahamannya atas al-Qur’an akan tetapi dibuatnya manusia berpecah belah tak saling menyapa satu sama lain bahkan melahirkan pertikaian berkepanjangan? Apakah ini yang al-Qur’an inginkan? Tentu saja tidak!

Dapat kita lihat betapa pentingnya posisi waw di sini. Berpegang teguh atas suatu tafsir bukan berarti membuka jalan untuk memecah belah manusia, akan tetapi sebaliknya, persatuan yang harusnya kita junjung tinggi-tinggi. Taklah bersalah jika kita berbeda dalam menafsirkan Kalam Ilahi ini, akan tetapi bukanlah juga suatu kesalahan bagi kita untuk merawat persatuan dan berkompromi atas perbedaan yang tak seberapa itu. Allah bahkan memerintahkan keduanya secara bersamaan.

Dari huruf waw kita belajar, berkompromi atas perbedaan demi terwujudnya persatuan bukanlah suatu kerendahan atau kekalahan. Tapi itu semua adalah bentuk partisipasi kita untuk tidak menambah tajam perbedaan. Dan secara teologis, itu adalah bentuk perwujudan kita dalam melaksanakan perintah Allah ta’āla. Kalau ada jalan untuk bersatu, lalu kenapa kita memilih untuk berpecah belah? Isi kepala boleh berbeda, tapi bukanlah penghalang untuk saling bergandengan tangan.

————-

Referensi

Abu Al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Tahqiq Muhammad Husain Syamsuddin,Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1419 H), hlm. 76-77 juz 2

https://archive.org/download/72411/02_72412.pdf

Muhyiddin bin Ahmad Mushthofa Darwisy, I’rab Al-Qur’an wa Bayanuhu (Hams: Dar Al-Irsyad li Asy-Syu’un Al-Jami’iyyah, 1410 H), hlm. 11 juz 2

https://www.archive.org/download/waq9727/02_9728.pdf

Ibnu ‘Aqil Al-Mishri, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syarh Ibnu ‘Aqil ‘ala Alfiyah Ibn Malik (Kairo: Dar At-Turats, 1400 H), hlm. 226 juz 3

https://www.archive.org/download/waqshakeel/shakeel3.pdf

Muhammad Faisal Maulana
Muhammad Faisal Maulana berasal dari Pekanbaru, Riau. Mahasiswa Universitas Sidi Mohamed ben Abdellah Fez, Kerajaan Maroko dengan minat studi Tafsir Alquran dan Ushul Fikih