scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ibrahim dari Barus

Ibrahim dari Barus
Ilustrasi/Dok.https://www.artpal.com/?i=28-478

Ibrahim dari Barus Ibrahim dari Barus Ibrahim dari Barus

TAHUKAH kau kota tua yang pernah masyhur di dunia timur? Itulah Fansur. Kota itu, dengan sebutan berbeda, kini merana dengan nama yang lampus: Barus. Tapi tidak. Barus tak mungkin hilang dari ingatan sebagai tempat kelahiran nama-nama agung. Engkau tentu akan menyebut Hamzah Fansuri salah satunya, atau satu-satunya nama yang kauhapal di luar kepala. 

Ya, Syekh Hamzah Fansuri, penyair-mursyid yang berlaku sebagai anak dagang, membawa dirinya ke tempat-tempat utama di muka bumi, meski kata sebagian orang perjalanannya bersifat simbolis. Dari Kudus ke Makkah, dari Banten ke Istanbul hingga Malabar dan Coramandel, meski akhirnya di dalam rumah—dalam istana Aceh Darussalam—ia bermuka-muka dengan Rabbnya. Bukankah memang di negeri bawah angin itu ia diterima mengembangkan ajaran tasawufnya?

            Beruntunglah jika engkau pernah membaca kisah tentang Hamzah dan burung dalam sangkar. Kisah itu tetap menyebut, atau mengulang, perihal Hamzah dari Fansur (siapakah yang bisa memisahkan seseorang dengan tanah kelahirannya?). Namun di situ juga terdedah kisah pergulatan Hamzah dengan hiruk-pikuk dunia. Itu cukup menambah pengetahuanmu tentang dia, tak sebatas hafalan. Bahwa untuk menjadi sufi yang sekarang kaukenal, ia telah bertindak seperti orang gila dari pelabuhan ke pelabuhan, menenteng sangkar seekor burung. Tentu sambil terus mengasah penglihatan dan pendengaran sehingga ketika negeri bawah angin terkabar gundah, ia segera berkemas mengambil tanggung jawabnya.1 Dalam kata lain, tampilan boleh tak waras namun indra tetap awas, berpantang lengah!

            Tapi Barus bukan hanya Hamzah. Di antara wangi kapur barus atau kamfer (fansur), sesungguhnya berkisar banyak nama. Ada Hasan Fansuri, murid kesayangan Hamzah sendiri. Bukan lantaran mereka berasal dari daerah yang sama. Tapi cemerlangnya pikiran Hasan dalam naungan cahaya Wujudiyah, memikat Hamzah untuk mencintainya lebih dari yang lain. Bandingannya mungkin hanya Abdul Jamal, juga murid kesayangan. Ada pula Tuan Makhudum, kadi kerajaan yang adil, dan apalagi padanannya jika bukan bijaksana? Ya, Tuan Makhudum yang adil bijaksana. Bahkan pahlawan tanah Batak yang kaukenal, Sisingamangaraja IX, leluhurnya juga berasal dari bandar tua yang berjaya sampai akhir abad ke-16 itu.

            Dan di antara itu semua, ada satu nama yang tak patut terlupa, ialah seorang raja bernama Ibrahim, atau Syekh Batu Badan orang Barus sekarang menyebut. Tapi untuk mudah mengingatnya, baik kita sebut ia Ibrahim dari Barus…

Baca Juga: Tiga Prosa Liris Raudal

***

PERIHAL nama Tuan Ibrahim, lengkapnya Sultan Ibrahim Syah, mula-mula kudapati dari buku Sejarah Raja-Raja Barus suntingan Jane Drakard.2 Tapi jauh sebelum itu aku sudah mendengar cerita tentang seorang Minangkabau yang menjadi raja di Barus. Meskipun perihal duduk perkaranya aku tak tahu benar karena cerita itu tak menyebut nama, kecuali “konon” dan “alkisah”. Sungguh pun begitu, alur kisah dan cara orang tua-tua di kampungku menuturkannya sangat mengesankan; indah serupa orang bakaba.3 Kesan inilah tinggal lebih lama dalam diriku.

            Di dalam buku Drakard, silsilah dan nama-nama disebut dengan jelas. Tentu saja, karena buku itu menukil kronik raja-raja Barus, dari dua manuskrip berbahasa Melayu tinggalan abad ke-18. Disebutkan, pada abad ke-16, di Barus bertahta dua raja: Raja Hulu dan Raja Hilir. Raja Hulu bernama Sutan Marah Sifat, menguasai jalur perdagangan ke pegunungan. Tuan Ibrahim adalah Raja Hilir yang menguasai pantai, dan otomatis juga menguasai pelabuhan. Itu artinya perannya lebih besar. Tapi sebenarnya keduanya bekerja sama: Raja Hulu pengumpul rupa-rupa hasil hutan Bukit Barisan, Raja Hilir menampungnya di gudang dan lambung kapal.

Karena tertarik membaca literatur Barus, termasuk soal Hamzah, maka aku berkunjung ke negeri yang kini berada di Tapanuli Tengah itu. Pada hari Itsnayn Rabiul‘awal 1434 hijriah, aku mulai berziarah ke makam-makam tua di kompleks Mahligai, Papan Tinggi, Batu Badan hingga nisan tak terawat yang bertebaran di bekas wilayah Barus Raya. Adapun makam Tuan Ibrahim kutemui di belakang rumah penduduk, di Simpang Tiga Bukit, Patu Pangan, setelah kubaca petunjuk di tepi jalan.

            Saat itu aku merasa aneh, justru di Barus, Hamzah Fansuri tak berjejak. Tak ada batu nisan maupun bekas tapak rumahnya, bahkan tiada seorang pun yang tahu ketika namanya kusebut. Kecuali sebuah wisma sederhana tempatku menginap yang memakai nama mursyid Qodariyah itu, tak ada lagi selain itu. Tak apa, toh aku bisa memusatkan perhatian pada Tuan Ibrahim yang jalan hidupnya tak kalah tragis dibanding Hamzah Fansuri. Apakah karena Tuan Ibrahim memiliki hubungan asal daerah dengan diriku? Sama-sama Minangkabau dari wilayah pesisir? Mungkin saja. Tapi kurasa ini lebih karena penghormatan pada sebuah nama, asal-usul dan silsilah. Hanya dengan begitu kisah yang berserak di sepanjang aliran Sungai Aek Sarahar, ternukilkan.

            Begitulah, Tuhan menciptakan asal-usul manusia berlapis-lapis melebihi kulit bawang bahkan lapis langit yang kaukenal. Tak akan habis dirunut ke belakang, jika pun selesai di dunia, ke alam malakut pun ia menjangkau: alam rahim, alam roh, bahkan sejak alam belum terkembang. Tuan Ibrahim dari Barus, sejatinya bukan benar-benar berasal dari Barus, tapi dari tanah kelahiranku, di selatan. Tepatnya Tarusan, sebuah kecamatan yang berbatasan dengan kota Padang. Sekedar kautahu, pantai dan pulau-pulau kecil di Tarusan sangatlah indah sehingga banyak disewa investor asing, apalagi setelah kawasan Mandeh dibuka dan secara serampangan disebut sebagai “Raja Ampat di barat Tanah Air.” Celakanya, ada beberapa tempat yang menolak turis lokal. Mereka hanya mau tamu bule. Ini perlu kusinggung sedikit karena apa yang dipraktikkan di situ sekarang, pasti ditertawakan moyangku dulu.

***

ALKISAH, di Tarusan ada satu kesultanan kecil pernah tumbuh yang aslinya berasal dari Indrapura di selatan. Namun karena dikacau orang Peranggi, sebagaimana sarang serangga diguncah burung tanah, pertumbuhannya terhenti. Sejumlah bangsawannya memutuskan pergi, berlayar ke utara. Hanya raja tua yang tetap tinggal. Oleh raja tua, para pangeran diberi sebungkus tanah kampung-halaman. Jika kelak ada tanah yang sama aromanya, di sanalah kalian tinggal, katanya berpesan. Begitulah, pangeran itu berlayar hingga ke Nata, daerah yang datar, lama-lama menjadi Natal. Dihidu kepal tanah dalam bungkusan; aromanya sama belaka. Maka di Natal mereka tinggal, beranak-pinak, membangun puak.4

Mereka menyebar ke penjuru tapian nauli, tepian laut yang cantik—sekarang dikenal sebagai Tapanuli—berbaur dengan puak setempat, hidup berbilang kaum. Bahkan seorang pangeran bergerak lebih ke utara, masuk ke pedalaman lewat Batang Toru, dan beroleh pengikut di Bakara dan Pasaribu dekat Danau Toba. Dari pedalaman Lembah Silindung itu ia kembali turun ke pesisir, masih pantai barat, di utara Natal. Wilayah tempatnya turun tersebut dikenal sebagai Barus Raya, dan di sana ia naik tahta menjadi raja. Dialah Tuan Pangeran Ibrahim Syah.

Seperti Hamzah si anak dagang, Ibrahim juga membawa peruntungan dari bandar ke bandar. Ia dan rombongan diterima dan menerima. Tak ada perkara asli atau pendatang. Asal tahu saja, ketika keturunan Ibrahim berkuasa di Tarusan, keluarganya pun bukan sejak buyut tinggal di situ. Nenek-buyutnya sendiri berasal dari Indrapura, kerajaan yang berpusat di Muara Sakai, seratus kilo lagi ke selatan. Karena Indrapura diserang VOC, orang-orang istana lari menyebar ke Muko-muko, Majunto dan Bintuhan, Bengkulu. Sebagian dari mereka sudah lebih awal berlayar ke Bandar Sepuluh, melewati Pulau Cingkuk di muka kota Painan, lalu menetap di Tarusan.

Kuceritakan ini pertama-tama bukan lantaran klan Ibrahim turun-temurun menjadi raja, tapi semata begitulah sejatinya hidup di dunia: tak membedakan asli atau pribumi, anak jati atau bukan. Sebab jika klan Ibrahim pun hanya warga biasa, aku yakin mereka juga akan diterima sebagaimana orang-orang berbagai bangsa mukim dengan damai di Barus atau kota-kota lain di pantai barat Sumatera. Toh kita juga tidak tahu, sebelum di Indrapura, klan Ibrahim entah pernah ada di mana lagi. Mungkin di Persia atau Yaman, mungkin di Aden, India lalu masuk ke Sumatera. Dan jika dirunut ke atas lagi bisa jadi berhubungan dengan silsilah Rasulullah, sebagaimana silisilah raja-raja Jawa. Kita pun tak tahu, selepas keruntuhan kota Barus yang misterius itu, entah ke mana lagi keturunan Tuan Ibrahim pergi. Tapi setidaknya, makamnya yang tinggal cukup jadi penanda bahwa ia pernah di sini.

Baca Juga: Suara Toa di Bukit-Bukit

***

DI makam Tuan Ibrahim, di bawah keteduhan pohon enau, aku bersimpuh. Kuusap batu nisannya yang dibalut kain kuning lusuh. Angin tengah hari berhembus semilir, bersamaan dengan itu imajinasi dan pengetahuanku membaur. Kaba dan buah tutur orang-orang tua di kampungku mendengung kembali, menuntun anganku ke langit tinggi. Nama-nama dan silsilah yang kudapat dari buku-buku pengetahuan menggenapkan anganku tegak di bumi. Bersama semua itulah, tak terduga, diriku terasa mulai mengembarai alur kisah seolah aku ada di dalamnya.

            Tuan Ibrahim, kutahu, adalah raja yang adil, tapi ia diadu dengan Raja Aceh yang lebih digdaya. Itulah perbuatan Raja Hulu, Marah Sifat, yang merasa kalah bersaing. Utusan Raja Hulu meminta Aceh untuk mengirim pasukan ke Barus sebab dikatakan, Barus menantang Aceh berperang. Negeri bawah angin yang memang sedang menggila di pantai barat dan timur itu dengan senang hati meladeninya. Barus Hilir diserang, dan Tuan Ibrahim tak tinggal diam. Perang pecah berhari-hari, membuat pelabuhan ditinggalkan kapal-kapal. Serangan Aceh tak ubahnya gergasi, raksasa dari laut yang melumat kota dengan hasrat tak berampun. Memasuki pekan kedua, istana Ibrahim di Ujung Tanah dikepung. Tuan Ibrahim ditangkap, dan kepalanya dipenggal. Aneh bin ajaib, saat pemenggalan itu berlangsung, bibirku ikut menjerit, nama lain seketika bangkit, menyeruak di ruang kepala: Husein, Husein—Husein di Karbala!

            Bersama itu pula, sosok Hamzah Fansuri yang sejak pertama aku tiba di Barus terpaksa kulupakan, tiba-tiba ambil bagian. O, lihatlah, mursyid yang kaukira telah melupakan tanah kelahirannya itu, ternyata tidak. Sufi yang kauanggap hanya berkhidmat di bilik-bilik suci tempat memuja itu, ternyata sangat peduli pada api dan matahari. Begitulah, saat Barus diserbu, Hamzah berbenah, sebagaimana dulu ia berkemas meninggalkan Istanbul dan Coramandel menuju negeri Bawah Angin yang diguncang prahara. Ia dan murid-muridnya menyampaikan protes kepada Sultan lewat “syair-syair politik” yang sampai kini tersuruk di bawah keagungan “syair-syair sufistik”. Boleh jadi syair-syair itu telah sirna dibakar pengikut Nuruddin Ar-Raniri, musuh tasawuf sekaligus musuh politik Fansuri. Yang jelas, syekh tak tinggal diam ketika istana mengirim pasukan ke selatan. Kuamsal persis ulama Aceh di Jakarta yang memprotes operasi militer ke Serambi Makkah. Syekh bahkan meneteskan air mata ketika mendengar kepala raja Barus dipenggal.

            Kepala Tuan Ibrahim dibawa dalam bungkusan—serupa tanah kelahiran yang dibawa berlayar dari Tarusan. Tapi tidak dibuka di Natal, melainkan di bawah singgasana Sultan Aceh Darussalam. Bukan untuk membangun negeri baru, namun mempertontonkan kehancuran.

            Begitulah para musuh dipersembahkan. Penuh kehinaan.

            Tapi di luar dugaan, ketika kepala Tuan Ibrahim dipersembahkan oleh panglima perang, Sultan terlihat gemetar. Apa yang terbuka di depannya sungguh tak biasa. Wajah itu, mata itu! Wajah yang memesona, debu dan darah yang mengering tak mampu menutupi kemurniannya. Sepasang matanya masih nyala, seolah menyimpan sumber api yang tak padam oleh sakit dan derita. 

            Mata Sultan Iskandar Muda meremang, wajahnya memucat. Kepala Tuan Ibrahim tak ubahnya kepala rusa persembahan Si Purbah dalam kisah awal raja-raja Barus. Kepala rusa yang dibuat sedemikian rupa dari kain-kain leluhur Toba dan Dolok Sanggul itu, membuat Alang Pardoksi, Raja Barus awal, gemetar ketakutan sehingga bebaslah Si Purbah, klan Si Namora, dari upeti. 

Begitu pula Iskandar kini. Sultan bercambang lebat itu perlahan undur, diikuti tatapan panglimanya yang tak mengerti. Kepala itu seharusnya digalah dan diarak di jalan raya, begitu Sultan tertawa puas, sebagaimana lazimnya. Atau dijadikan bola mainan yang bergulir dari kaki-kaki prajurit. Tapi itu mustahil. Sultan toh sudah tumbang sebelum sempat meludah dan tertawa. 

Balairung heboh oleh bisik dan selidik. Sultan yang kuat dikalahkan oleh tatapan sepasang mata dari sepotong kepala yang tak berdaya, kata orang-orang. Apa yang terjadi? Apa yang akan terjadi? Tak ada yang mengerti. Ya, kami telah melihat Sultan menggigil dan nyaris ganti ditandu ke peraduan jika tidak cepat dibimbing uleebalang. Kini, para panglima pun ikut gemetar. Kepala dalam bungkusan itu menjadi momok yang mengancam.

Ada semacam sugesti yang kemudian menjalar ke seluruh angkatan perang bahkan rakyat banyak sekalian. Betapa pun jurubicara istana menjelaskan bahwa Sultan baik-baik saja, semata saking jijiknyalah maka beliau undur diri, kata mereka. Tapi para panglima yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Sultan gemetar, tak mempan membendung sumber sugesti!

Hari itu juga akhirnya tersiar kabar: Sultan jatuh sakit. Para tabib berlomba meramu obat. Hamzah Fansuri sendiri kulihat sudah selesai menyeka air mata, secepat ia kembali pada cinta Wujudiyah, dan kini ikut memberi Sultan Iskandar Muda air ramuan yang sudah didoakannya. Kecuali itu, Hamzah mulai bicara tentang penyebab sakitnya Sultan. Sultan, kata Hamzah, menyerang Ibrahim tanpa menyelidiki kebenaran kabar utusan.

Ucapan Hamzah cepat bergema, kelak mempercepat keterusirannya dari istana. Jelas ia dianggap mendukung Raja Barus, betapa pun ia berusaha bijaksana, sebagaimana ia mengolok-olok “meditasi bulan purnama” yang sering dilakukan Sultan.

Sungguh pun begitu, berkat nasihat Hasan dan Jamal, dua murid kesayangan Hamzah, akhirnya ditemukan jalan keluar: istana mesti membuat “Upacara Pula Batee”.

“Tapi bukankah upacara itu untuk raja?” protes seorang uleebalang. Ya, sebenarnya itu upacara pemasangan nisan keluarga raja dengan mengerahkan karnaval gajah dan pesta air.

“Tuan Ibrahim adalah Raja, keturunan raja…” jawab Hasan tenang.
“Tubuhnya sudah dikubur di Barus, apalagi yang diinginkan?” sela seorang orang kaya.5
“Kepalanya harus dikubur bersama tubuhnya,” tukuk Jamal. Mereka terbiasa menghadapi debat bahkan menyangkut hakikat, dengan penantang Wujudiyah yang paling keras sekalipun.

  Tercekam oleh sakit aneh Sultan yang belum ditemukan obatnya, orang istana tak bisa mengelak dari saran Hasan dan Jamal. Apalagi saat itu beredar desas-desus bahwa Raja Usuf, anak Tuan Ibrahim telah menyusup ke istana untuk membalas dendam. Maka, uleebalang dan para orang kaya atas persetujuan Sultan yang masih bisa mengangguk dengan wajah pucat di peraduan, sepakat mengadakan upacara besar-besaran mengarak kepala Tuan Ibrahim dari istana. Bukan untuk digalah dan dipermalukan. Tapi membawanya kembali ke Barus dengan hormat, disatukan dengan tubuhnya, sekaligus dengan itu Barus akan dibebaskan dari upeti. 

Tapi alasan apa harus dibuat supaya rakyat dan dunia tahu bahwa Sultan Aceh Darussalam telah berbuat tepat? Bagaimana menjawab duta besar Turki Ottoman yang dikenal jeli mengulik segala ihwal, layaknya mata-mata? Bagaimana meredam keingintahuan guru-guru dari Hejaz, Mesir dan Yaman? Hasan dan Jamal, dengan laku tasawufnya yang penuh cinta, tinggal membacakan sajak gurunya yang agung, dan itu sangat diplomatis kurasa:

Subhana Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia wasil
Itulah mahbub bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi Ia alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan6

Maka semaraklah jalanan Kutaraja di bawah bendera, samanera dan panji-panji kerajaan. Meriam-meriam ditembakkan. Gemerincing gelang-gelang perak dan tabuhan dap, mengiringi tarian dan lagu puji delapan belas biduan bidadari. Barisan tujuh puluh ekor gajah, masing-masing dengan menara merah-kuning di punggung, keluar dari benteng. Prajurit-prajurit berpedang panjang berjalan di sisinya dengan seragam yang mewah. Bunga dalam air berkendi-kendi ditaburkan kepada hadirin yang berbaris di tepi jalan. Mereka mengelu-elukan sepotong kepala terhormat yang lewat, sampai ke batas Kutaraja.7

Setelah tembakan meriam penghabisan, kepala dalam baki berselempang tujuh lapis kain sari itu pindah ke tangan pasukan berkuda yang membawanya melaju ke arah Tapaktuan, Subulussalam, Singkil, terus ke Barus Raya. Betapapun kesal dan tak habis mengerti, panglima pasukan yang mengantar kepala itu tak bisa berbuat banyak selain patuh pada kehendak takdir. Mereka yang semula maju berperang untuk kepala musuh, sekarang membawa kepala itu kembali dengan persembahan yang besar. Mereka tunduk dalam kemenangan, takluk dalam kebesaran.

Sesekali muncul niat mereka untuk menukar kepala itu dengan kepala kambing atau benda lain, tapi tak mungkin ada yang berani. Mereka tak bisa lepas dari sugesti sepasang mata dalam bungkusan aroma kesturi. Gerak-gerik mereka seolah diawasi entah oleh siapa, membuat siapa pun merasa dilaknatullah jika tak membawa kepala itu kembali bersatu dengan tubuhnya.

Begitulah cerita Raja Barus mengalahkan Raja Aceh—mengingatkanku pada anak kerbau Pagaruyung yang mengalahkan induk kerbau Majapahit. Kau toh sudah tahu kisahnya.

Yang belum kautahu mungkin keadaanku. Setelah jiwaku lelah mengembara, orang-orang menemukanku tertelungkup di bawah pohon enau. Sebelum diangkat ke serambi sebuah rumah di samping bengkel, tanganku kuat menempel ke batu nisan yang terbungkus kain kuning lusuh. Nisan itu kuamsal sepotong kepala, yang membuat aku menjerit dan menangisinya dalam irama dendang, berulang-ulang,”Kepala keramat, kepala keramat, salam hormat anak dagang!”

Itu yang diceritakan orang-orang setelah aku siuman.

Cerita yang membuat aku ganti tercengang. 

/Barus-Yogya, 2013-2014

Catatan:


*   Cerpen ini pernah disiarkan di Koran Tempo, 20 Juli 2014.

1 Kisah dimaksud ditulis Azhari, “Hamzah dari Fansur”, Koran Tempo, 31 Oktober 2010. Bagian kisah ini kemudian termaktub dalam novel Azhari, Kura-Kura Berjanggut (Bannana, 2018).

2 Lihat Jane Drakard, Sejarah Raja-raja Barus, Dua Naskah dari Barus, (Jakarta: GPU-Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2003)

3 Kaba, bakaba, tradisi tutur Minangkabau.

4 Kisah negeri Natal, sebagaimana dikutip buletin Forum Lintas Rantau (volume VII/2007) dari buku Natal Ranah Nan Data karangan Puti Balkis (Rajawali, Jakarta, 1966)

5 Uleebalang dan orang kaya, dua simbol Kesultanan Aceh Darussalam; berarti hulubalang raja dan konglomerat istana.

6 Terj. Abdul Hadi WM atas puisi Hamzah Fansuri dalam Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999). Gambaran Hamzah Fansuri bersumber dari sini.

7 Lihat Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra (Jakarta: KITLV-Pustaka Obor Indonesia, 2010).

______________________

Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Taratak, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Mukim di Yogyakarta, mengurus Akar Indonesia dan Komunitas Rumahlebah. Buku cerpennya antara lain, Parang tak Berulu (2005), Api Bawah Tanah (2013) dan Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018).

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.