Wahdat Al-Wujud
Oleh: Ridwan ARIF, Ph.D, Tuanku Bandaro
Mungkin pembaca bertanya kenapa judul tulisan ini menghubungkan ilmu logika (mantiq) dengan doktrin wahdat al-wujud. Lho, apa hubungannya ilmu logika dengan wahdat al-wujud? Sebenarnya yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah pentingnya ilmu logika dalam kehidupan sehari-hari dan dunia keilmuan. Saya mengaitkan dua hal ini di judul, karena tulisan ini lahir setelah membaca satu tulisan ringkas seseorang yang penulis baca di facebook. Sang penulis tulisan tersebut mengkritik doktrin wahdat al-wujud. Ia mewanti-wanti jamaah fesbukiah agar berhati-hati dengan doktrin wahdat al-wujud. Karena, menurut sang penulis, doktrin ini adalah sesat sebab mengajarkan persatuan khaliq dan makhluq. Penganut doktrin wahdat al-wujud, pada gilirannya, lanjut penulis, akan menjadi seorang anti-syari’at. Ini karena apabila seorang penempuh jalan sufi telah mencapai makam di mana ia merasa telah bersatu dengan tuhan (wahdat al-wujud) ia merasa tidak perlu lagi mengamalkan syari’at, jelasnya.
Saya sedikit terperangah membaca tulisan ringkas tersebut. Kenapa? Karena sepertinya penulis adalah seorang dengan latar belakang pendidikan agama atau seorang tokoh agama. Tetapi kenapa ia masih gagal paham dengan wahdat al-wujud? Memang harus diakui, wahdat al wujud adalah konsep yang rumit dan sukar dipahami; dan karena itu menjadi konsep yang kontroversi sepanjang zaman. Tetapi sebagai seorang kaum terpelajar seharusnya tidak gegabah dalam menilai dan menghakimi suatu konsep. Dari mana penulis mendapatkan pengertian bahwa yang dimaksud dengan wahdat al-wujud adalah persatuan hamba dengan tuhan atau persatuan khaliq dengan makhluq? Persatuan hamba dengan Tuhan dalam tasawuf dikenal dengan istilah ittiẖād, bukan wahdat al-wujud. Dalam tulisan ringkas ini penulis tidak menjelaskan pengertian yang benar dari wahdat al wujud, tetapi hanya ingin menyampaikan pentingnya mengetahui dan mendudukkan definisi suatu konsep sebelum mengkritik sesuatu. Di sinilah pentingnya ilmu logika.
Baca Juga: Pelajarilah Ilmu Mantiq Supaya Tidak Salah Menyimpulkan Informasi
Memang masih ada sebagian kecil aliran dalam Islam yang mengharamkan logika (ilmu mantiq) karena ilmu ini berasal dari Yunani dan merupakan ilmu alat bagi filsafat. Tetapi perlu diketahui logika tidak hanya dibutuhkan sebagai ilmu alat bagi filsafat tetapi juga sangat bermanfaat dalam kehidupan praktis sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, dalam keseharian manusia tidak lepas dari aktivitas berpikir. Ilmu logika merupakan kaidah-kaidah berpikir yang benar. Ilmu logika membimbing kita dalam proses berpikir mencari kebenaran agar tidak tersasar. Dengan kata lain, ilmu logika menyelamatkan kita dari kekeliruan berpikir. Dengan demikian, setidaknya ada dua manfaat logika dalam kehidupan sehari-hari: (1) membimbing kepada berpikir yang lurus dan (2) menilai pemikiran orang lain apakah benar atau keliru.
Salah satu persoalan dasar yang dibahas dalam logika ialah persoalan definisi. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali diskusi kita menjadi debat kusir yang kontraproduktif karena kita belum sepakat dengan definisi dari konsep yang didiskusikan. Begitu juga kita sering menghakimi atau memvonis seseorang atau kelompok tertentu dengan satu istilah yang mana kita sendiri belum mengetahui dengan jelas definisi dari istilah tersebut. Seperti tahun yang lalu kita dihebohkan dengan pernyataan seorang akademisi-popular, yang menyatakan kitab suci sebagai “fiksi”. Pernyataan ini memicu kritikan dan perdebatan. Akar masalah di sini adalah perbedaan dalam mendefinisikan istilah “fiksi”. Kembali ke penulis yang mengkritik wahdat al-wujud di atas. Penulis artikel tersebut telah gagal dalam mendefinisikan doktrin yang dinisbahkan kepada Ibn Arabi tersebut. Alih-alih mendefinisikan wahdat al-wujud dengan benar, penulis malah memberikan pengertian ittihad untuk wahdat al wujud.
Kekeliruan penulis kedua ialah, ia menuduh penganut wahdat al-wujud sebagai anti-syariat. Ini juga tidak benar. Memang harus diakui, sejak zamannya Imam Junayd al-Bahgdadi (abad ke-3 Hijriah) telah muncul individu atau kelompok yang mengaku sebagai penempuh jalan sufi dan menyatakan mereka tidak perlu lagi mengamalkan kewajiban syari’at karena sudah mencapai ma’rifat. Jadi kelompok jenis ini tidak dikaitkan dengan penganut wahdat al-wujud secara khusus. Golongan ini dalam tradisi tasawuf dipandang sebagai sufi palsu (pseudo-sufi). Sedangkan para tokoh dan penganut wahdat al wujud seperti Ibn Arabi, para murid dan pengikut beliau dikenal sebagai orang yang saleh dan berpegang teguh dengan syariat. Ibn ‘Atahaillah al-Sakandari pengarang kitab Hikam yang terkenal juga mengakui paham ini. Bahkan, dalam kitab al–Hikam beliau menegaskan bahwa semua ‘arif billah sepakat dengan doktrin wahdat al-wujud.
Baca Juga: Pakailah Ilmu Mantiq Supaya Pikiran tidak Terkilir karena Virus Korona
Jadi sebelum mengkritik suatu konsep, seseorang dituntut untuk mengerti definisi dari konsep tersebut berdasarkan kesepakatan para ahli (pakar) di bidang tersebut. Bukan mengarang definisi sendiri yang malah mengakibatkan kekeliruan dan konsekuensi yang tidak diharapkan. Sebagai penutup, jelaslah ilmu logika sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari apatah lagi dalam dunia keilmuan.[]
Kampung Dalam, 14 Safar 1442/02 Oktober 2020
Leave a Review