Ilmu Adab
Sebenarnya, kita belajar ilmu agama untuk apa? Apakah kita tidak belajar agama untuk bersaing dengan orang lain lalu berlomba untuk memperlihatkan siapa yang terpintar dan nantinya punya pengaruh besar di masyarakat nantinya? Tidak juga kita belajar agar kita bisa membanggakan di hadapan orang lain bahwa kita telah membaca kitab ini dengan syeikh fulan dan kita telah menguasai kitab itu. Apalagi kita belajar, nanti ilmunya kita pakai hanya untuk melihat kesalahan orang dan marah terhadap semua kesalahan manusia? Lebih gila lagi, jika kita belajar malah membuat kita menjadi manjaniq ulama, sehingga tidak ada satupun ulama selamat dari lisan kita. Imam A kurangnya disini, imam B itu seperti ini, syeikh C ah beliau tidak alim, syeikh D itu sahafy, syeikh E itu tidak banyak baca dst, apakah kepribadian seperti itu tujuan dalam belajar agama?
Kepribadian seperti itu tidak pernah jadi tujuan dalam pendidikan Islam. Jadi siapa saja yang belajar dan merasakan hal di atas, bahkan jika dia menguasai tingkat tertinggi dalam ilmu sekalipun, sudah seharusnya dia merenung dan berhenti sejenak, dan bertanya pada dirinya “apakah untuk ini aku belajar ilmu keislaman?”. “Apakah belajar setinggi-tingginya hanya untuk jadi orang seperti ini?” Wallahi aib, karena dari sejak awal belajar kita telah diajarkan jika belajar itu karena Allah, bukan untuk kepentingan pribadi. Tanda bahwa kita belajar untuk Allah bukan untuk maslahat pribadi adalah kita mengamalkan apa yang kita pelajari.
Baca Juga: Adab dan Humaniora dari Surau
Tidak banyak mungkin dari thalibul ilm (pelajar) yang mengenal Ma’ruf al-Kharqy dari karyanya, bahkan setahu saya, beliau tidak mempunyai karangan kitab. Kebanyakan mengenal beliau dari manaqib beliau yang ditulis oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, dan hampir semua tulisan tentang kesalehan beliau. Jarang yang berbicara tentang ilmu beliau. Dan seperti itulah sudut pandang anak muda yang baru belajar agama pada zamannya. Kebanyakan mereka menganggap bahwa beliau cuma orang saleh yang jauh dari ilmu.
Suatu hari ada sekelompok anak muda yang belajar, di depan Imam Agung Ahmad bin Hanbal berkata, Ma’ruf al-Kharqy ilmunya cetek (karena mereka melihat ilmu itu yaitu ilmu zahir seperti menghafal masalah fikih atau hadis). Lalu Imam Ahmad langsung menegurnya dengan mengatakan “berhentilah, kalian tidak paham dengan apa yang kalian katakan, sesungguhnya ilmu yang kita pelajari ini tujuannya satu, berada diposisi Ma’ruf al-Kharqy “. Maksudnya adalah kita belajar agar mencapai pemahaman dengan yang telah dicapai Ma’ruf, sehingga bisa beramal, seperti amalnya Ma’ruf. Inti penjelasan Imam Ahmad, kita masih belajar, dan Ma’ruf sudah paham itu semua dan telah mengamalkannya, sesungguhnya ilmunya jauh lebih luas dari kita.
Hal yang sama terulang ketika Abdullah anaknya Imam Ahmad bertanya pada ayahnya “wahai ayahada, apakah Ma’ruf mempunyai ilmu walau sedikit saja?” Imam Ahmad menjawab anaknya “wahai anakku, sesungguhnya pada dirinya punya inti dari ilmu, yaitu ketakutan pada Allah”. Begitulah Imam Ahmad mengajarkan murid dan anaknya tentang ilmu sejati. Mereka mengira bahwa ilmu itu didapat dengan menghafal hadis, mengajarkan tafsir, dan menjawab masalah fikih. Itu yang dipahami mereka sebagai inti dari ilmu. Tapi Imam Ahmad memberi tahu mereka bahwa orang yang berilmu sesungguhnya adalah yang mampu mengamalkan semua ilmu yang dipelajarinya yang melahirkan sebuah keadaan dalam hatinya yaitu ketakutan pada Allah.
Makanya, akhir-akhir ini saya sama sekali tidak iri pada orang yang menghafal ini dan itu, menguasai ini kitab A atau Z, bisa berdebat laksana para filsuf. Tapi yang membuat saya iri adalah ketika melihat seorang hamba Allah yang salat dua rakaat dan saya melihat ketakutan pada tuhan di dua matanya. Karena jalan ilmu itu beresiko, salah satu hisab paling ketat nanti diakhirat adalah ilmu, sama seperti harta, kekuasaan dan umur, jika harta hisab darimana kamu dapatkan dan kemana kamu belanjakan, maka ilmu bahkan lebih berat dari itu, apa yang kamu amalkan? Jadi buat apa kita bisa memberi masukan kepada seluruh manusia di dunia dan menyelamatkan mereka dengan ilmu kita, sedangkan kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri? balaha ya zalameh!!
Jangan-jangan kita termasuk golongan yang dikatakan oleh ulama dengan “bisa jadi tuhan memenangkan agama ini ditangan orang fasiq”, ini mengerikan bagi kita sendiri. Kita merasa bahwa kita sedang di jalan benar, dengan pakaian ilmu, tidak tahunya kita sedang berjalan menuju jurang jahannam, tanpa kita sadari. Jadi ilmu kita itu sebenarnya istidraj, ini hijab paling mengerikan, bukan hijab kegelapan, tapi hijab cahaya, yang sering tidak kita perhatikan.
Karena pentingnya mengingatkan masalah ini, makanya ulama dulu sebelum pelajar belajar ilmu lain, yang paling pertama diajarkan adalah adab belajar, dimana dimulai dengan membenarkan niat, sehingga ketika thalib (pelajar) berjalan di jalan ilmu tidak ada yang menjadi fokus utama seorang thalib selain membenarkan niat bahwa dia belajar karena Allah, dan seumur hidupnya dia terus dalam keadaan berusaha mengamalkan apa yang dia pelajari.
Rahimallah ulama dan guru kita, dalam memilih ilmu apa yang pertama kali harus dipahami santri pemula, ilmu adab belajar, ingatkan masa awal belajar kitab Adab Alim Mutalim?
Leave a Review