Kita semua mengenal Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i sebagai pioneer ilmu ushul fikih. Beliau sebenarnya juga dikenal pakar dalam bidang ilmu lain seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu sastra, dan banyak lagi ilmu lainnya. Kepakaran beliau benar-benar sampai level pakar luar biasa, bukan pakar-pakaran. Silahkan baca kitab-kitab sejarah atau kitab-kitab manaqib Imam Syafi’i yang sudah banyak tersebar.
Salah satu ilmu yang sangat dikuasai oleh Imam al-Syafi’i adalah ilmu sejarah dan ilmu nasab. Kepakaran beliau dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab ini pun diakui oleh banyak ulama, di antaranya oleh pakar sejarah bernama Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam atau yang dikenal dengan nama Ibn Hisyam, tokoh besar dalam ilmu sejarah dan maghazi, pengarang kitab Sirah Ibn Hisyam yang terkenal itu.
Al-Muzani (murid dekat Imam Syafi’i, penyusun Mukhtashar Muzani) pernah bercerita bahwa saat Imam Syafi’i baru datang ke Mesir, orang ramai datang belajar ke Imam Syafi’i. Sementara saat itu, Ibn Hisyam adalah tokoh hebat, besar, dan terkenal di Mesir. Orang-orang pun bilang ke Ibn Hisyam agar datang mengunjungi majelis Imam Syafi’i agar dapat mengambil faidah dan ilmu Imam Syafi’i yang waktu itu sudah terkenal pula dalam hadis dan ijtihad. Orang-orang menyampaikan bahwa Imam Syafi’i adalah orang alim hebat luar biasa pula. Akan tetapi, Ibn Hisyam awalnya enggan.
Hingga suatu ketika, akhirnya Ibn Hisyam mengikuti saran orang-orang dan datang ke Imam Syafi’i. Yang namanya orang alim ketemu orang alim, tentu ada pembicaraan tinggi penuh ilmu. Ibn Hisyam mengajak Imam Syafi’i untuk adu pengetahuan mengenai sejarah dan nasab. Imam Syafi’i dengan kepakarannya pun berhasil menandingi pengetahuan Ibn Hisyam. Hingga akhirnya Imam Syafi’i mengajak Ibn Hisyam untuk adu pengetahuan mengenai nasab perempuan dan istri (karena yang namanya nasab biasanya hanya mengenai tokoh laki-laki dan ayahnya ke atas). Ibn Hisyam pun kewalahan menandingi Imam Syafi’i. Ibn Hisyam mengakui kemampuan dan ketinggian ilmu Imam Syafi’i dan berkata “aku tidak pernah menyangka bahwa Allah akan menciptakan makhluk seperti Syafi’i.”
Baca Juga: Imam Syafi’i dan Bahasa Arab
***
Mengenai sejarah ini, kedalaman analisa kesejarahan imam Syafi’i pernah menjadi salah satu argumen beliau dalam menyatakan kesunnahan membaca qunut dalam salat subuh.
Dalil yang diajukan Imam Syafi’i panjang dan memerlukan ketelitian serta pemahaman yang tinggi. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca di kitab beliau al-Umm, juga kitab-kitab penunjang lainnya seperti kitab Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsar Imam Baihaqi.
Imam Syafi’i membahas persoalan qunut dalam salat subuh dengan hadis sahih riwayat sidna Anas bin Malik ra yang berkata, “Rasulullah SAW melakukan qunut selama satu bulan penuh lalu beliau meninggalkannya.” Riwayat ini sahih sebagaimana terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim.
Imam Syafi’i kemudian menjelaskan dari sisi sejarah bahwa qunut yang dimaksud dalam hadis di atas ini adalah qunut nazilah yang beliau lakukan pada tahun ke 3 hijriah, yaitu setelah terjadi peristiwa pembantaian qurra’ ahli al-Qur’an di Sumur (Bi’r) Ma’unah. Saking marahnya, Rasulullah SAW melakukan qunut di seluruh salat fardhu yang berisi doa kemusnahan dan kehancuran bagi kabilah Ra’l, Dzakwan, ’Ushayyah dan Bani Lahyan yang menjadi pelaku pembantaian tersebut.
Imam Syafi’i berkata, “Semua hadits yang menceritakan qunut di selain subuh (terjadi) setelah pembantaian di Bi’r Ma’unah.”, Jadi, untuk qunut nazilah memang dilakukan di semua salat.
Namun mengenai qunut di salat subuh, maka ada beberapa hadis menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah melakukannya sebelum peristiwa bi’r ma’unah tersebut terjadi. Imam al-Zuhri meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Abdullah bin Umar bin al-Khatthab bahwa ia mendengar Rasulullah Saw berkata ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ pada salat subuh, “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan.” Setelah mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah.” Lalu Allah menurunkan ayat 128 Surat Ali Imran yang berisi teguran bahwa hak menurunkan azab dan menerima taubat hanya milik Allah SWT. Hadis ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari.
Imam Syafi’i menjelaskan dari sisi sejarah bahwa qunut yang ini (riwayat dari Abdullah bin Umar ini) adalah berkenaan dengan perang Uhud sebagaimana riwayat Umar bin Hamzah dari al-Zuhri yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab ”Ma’rifat Al-Sunan Wal-Athar.” Dalil lain yang menunjukkan bahwa ayat 128 surat Ali Imran ini turun pada perang Uhud adalah hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik bahwa pada perang Uhud gigi depan Rasulullah SAW patah dan wajah beliau luka. Baginda lalu mengusap darah daripada mukanya dan bersabda, “Bagaimana beruntung suatu kaum yang melukai wajah Nabinya dan mematahkan giginya?” Rasulullah SAW lalu berdoa (dengan doa yang berisi untuk membinasakan) mereka sehingga turunlah ayat 128 surat Ali Imran ini.
Dari sisi sejarah juga kata Imam Syafi’i, perang Uhud itu terjadi sebelum terjadinya peristiwa Bi’r Ma’unah di atas tadi. Dan Qunut dalam perang Uhud ini hanya menjelaskan soal qunut pada salat Subuh saja. Jadi khusus untuk qunut subuh ternyata telah ada sebelum adanya qunut nazilah selama satu bulan yang Nabi Muhammad SAW lakukan pada semua salat (tidak khusus hanya salat subuh) karena pembantaian qurra’ ahli qiraat. Nabi Muhammad SAW kemudian meninggalkan semua qunut ini sebagaimana ucapan Anas bin Malik.
Namun pertanyaannya kemudian adalah apakah beliau meninggalkan qunut pada semua salat fardhu, ataukah meninggalkan semuanya kecuali subuh?
Imam Syafi’i menjawab, “Rasulullah meninggalkan qunut pada semua salat kecuali subuh.”
Kenapa Imam Syafi’i menjawab seperti itu ?
Itu karena ada riwayat dari Abu Hurairah yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tetap melakukan qunut setelah kejadian tersebut. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari jalur Sufyan bin ’Uyainah dari al-Zuhri dari Said bin al-Musayyab dan Abu Salamah dari Abu Hurairah RA katanya, “Ketika Rasulullah SAW mengangkat kepalanya dari ruku’ dalam salat subuh, beliau berkata: samiallahu liman hamidah. Lalu Rasulullah SAW berkata: Ya Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabiah dan orang-orang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, kuatkanlah tekanan-Mu kepada Mudhar, dan jadikanlah tahun-tahun mereka (kering) sebagaimana pada masa Nabi Yusuf.”
Yahya bin Abi Katsir juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, akan tetapi dalam riwayat Yahya bin Abi Katsir dengan redaksi, “Ketika Rasulullah SAW mengangkat kepalanya dari ruku’ dalam solat isya….”. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim. Hadis ini dikomentari oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar, “Boleh jadi Yahya bin Abi Katsir keliru menyebut isya dalam hadis ini. Begitu pula bahwa Imam al-Zuhri lebih hafiz daripada Yahya bin Abi Katsir. Lagi pula, riwayat Al-Zuhri dari Abu Salamah didukung oleh riwayatnya dari Said bin Al-Musayyab.”
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain, iaitu jalur Mughirah bin Abdurahman dari Abu al-Zinad dari Abu Hurairah. Imam al-Bukhari lalu berkata: Ibnu Abi al-Zinad berkata dari bapaknya : hadis ini semuanya adalah (qunut) di dalam salat subuh.
Pada akhir riwayatnya tersebut, Abu Hurairah berkata, “Pada suatu hari, saya tidak lagi melihat Rasulullah SAW mendoakan mereka (orang-orang yang tertindas di Mekah).” ketika ditanyakan tentang hal ini, maka dijawab, “Tidakkah kamu melihat mereka telah datang (ke Madinah)?”. Maknanya, bahwa Abu Hurairah masih melihat Rasulullah SAW melaksanakan qunut di salat subuh, akan tetapi tidak lagi dengan redaksi mendoakan mereka para sahabat yang tertindas di Mekah tersebut.
Kumpulan riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tetap melaksanakan qunut dalam salat subuh sejak perang Uhud hingga tahun-tahun terakhir kehidupan beliau di Madinah. Sebab sejarah mencatat bahwa Abu Hurairah masuk Islam setelah terjadinya perang Khaibar pada tahun ke 7 hijriah. Begitu pula sahabat al-Walid bin al-Walid bersama para sahabat Nabi Saw lainnya yang tertindas di Mekah berhasil melarikan diri dan bergabung bersama kaum muslimin di Madinah beberapa hari sebelum penundukan kota Mekah yang terjadi pada tahun ke 8 H.
Setelah itu, tidak ada satu dalilpun yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw meninggalkan qunut subuh hingga Rasulullah SAW wafat pada tahun ke 10 hijriah. Imam Syafi’i berkata, “Adapun qunut di salat subuh maka (perbuatan itu) sahih dilakukan Nabi Saw pada peristiwa Bi’r Ma’unah dan juga setelah peristiwa itu. Tidak ada seorangpun yang meriwayatkan bahwa beliau meninggalkannya setelah itu.”
Baca Juga: Ketika Imam Syafi’i Terdiam dalam Sebuah Perdebatan
Analisis sejarah Imam Syafi’i ini sangat indah sekali. Beliau mengatakan bahwa dalil-dalil sejarah menunjukkan Abu Hurairah misalnya melihat sendiri Rasulullah SAW membaca qunut subuh, padahal Sidna Abu Hurairah baru masuk Islam pada tahun ke 7 hijriah. Sementara hadis dari Anas bin Malik mengenai Rasulullah SAW qunut di semua salat itu adalah dalam peristiwa bi’r ma’unah pada tahun ke 3 hijriyah, yang lalu dihentikan beliau. Adapun qunut subuh sendiri, ternyata sudah pernah dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya yaitu pada tahun perang uhud sebelum peristiwa bi’r ma’unah. Rasulullah SAW ternyata juga pernah berdoa qunut untuk keselamatan al-Walid bin al-Walid bersama para sahabat Nabi Saw lainnya pada salat subuh, al-Walid bin al-Walid dan para sahabat Nabi SAW tersebut berhasil melarikan diri dan bergabung bersama kaum muslimin di Madinah beberapa hari sebelum penundukan kota Mekah yang terjadi pada tahun ke 8 H.
Setelah itu, tidak ditemukan dalil yang sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan qunut pada waktu salat subuh setelahnya, sampai beliau meninggal dunia. Oleh karena itu, kesimpulan hukumnya adalah disunnahkan qunut di waktu subuh pada rakaat kedua setelah ruku’.
Begitu kira-kira argumentasi beliau. Sangat indah dan penuh analisa sejarah yang kuat.[]
Leave a Review